Selasa, 07 April 2020

Bab 19 || Mama

Hari ini hari kamis, seperti pagi yang biasanya aku menyiapkan sarapan ‘berat’ untuk Pega dan anak-anak. Oke, termasuk aku.
Nasi merah dengan sayur buncis berbumbu saos tiram dan daging yang sudah digiling menjadi campuran menu pagi ini. Kopi, dan dua gelas susu juga sudah nangkring di meja makan.
Sebenarnya apapun makanan yang aku masak, Pega akan memakannya. Hanya saja, dia terpaksa atau tidak terkadang dia juga tidak pernah mengatakannya. Jangan salah, nasi merah yang aku masak itu hanya untukku saja. Sedangkan tiga orang di sini mereka tidak menyuakainya. Bahkan Netra secara terang-terangan menolak suapanku saat aku mulai mengonsumsi nasi merah.
Kenapa? Badanku besar, tinggi, kalau misal aku tidak menjaga pola makanku bagaimana timbangan tiga sampai sepeuluh tahun mendatang? Aku masih sayang anak-anak juga suamiku. Bahkan Ibu belum takluk di tanganku.
“Mau?” tanyaku kepada Imba sambil mengacungkan secentong nasi merah di tanganku.
“Enggak, Bund. Aku pakai nasi putih saja,” ujarnya dengan hati-hati. Aku menghela nafas lelah untuk penolakan yang kesekian kalinya.
“Pada hobi banget nolak, ya?” gumamku pelan sambil memasukkan nasi putih ke dalam piring Imba.
“Terima kasih, Bunda,” ucap Imba sambil tersenyum.
“Bund, tadi papa telpon,” kata Pega menyela gerutuku.
“Papa? Nanyain Mas Dimas lagi?”
“Bukan.”
“Terus?”
“Katanya mama mau kemari.”
“Oh ya?” aku tersenyum lebar. Aku sangat kangen sama mama. Banyak hal yang akan aku ceritakan kepada mama. Banyak hal yang juga ingin kutanyakan kepadanya. “Kapan mau kesininya, Yang?”
“Hari ini katanya.”
“Ha? Hari ini?”
“Hm...”
“How lucky I’m!!” teriakku senang. Aku bahkan tidak sabar untuk bertemu dengan mama hari ini.
“Bunda, uti mau kesini?” tanya Netra sambil menyuapkan nasinya ke mulut.”
“Iya. Nanti kita ajak uti nonton Frozen, bagaimana?”
“Hore!!!” teriak Imba senang. Aku tersenyum melihat mereka excited dengan kedatangan mama.
“Yang, papa tadi bilang kenapa mama tiba-tiba datang?”
“Enggak, belum sempat tanya telponnya sudah dimatiin.”
“Oh.”
Aku mengambil gawaiku, mengetikkan sebuah pesan kepada Kak Wima.
Kak, mama mau datang. Memang Mas Dimas udah balik?
.
Pega sudah berangkat setengah jam setelah sarapan selesai. Sedangkan aku sedang mondar-mandir di teras rumah menunggu kedatangan mama sambil melihat Netra dan Imba yang sedang bermain sepeda.
Pega bilang mama sudah berangkat sekitar dua jam yang lalu. Tapi, kalau dihitung ini sudah tiga jam setengah. Tapi, mama belum juga datang. Aku khawatir mama bingung atau salah naik angkutan umum. Sedangkan handphonenya juga belum bisa dihubungi.
Dua jam kemudian sebuah taksi berwarna biru berhenti di depan rumah. Aku segera berlari keluar untuk memastikan itu adalah mama. Benar saja, wanita yang lebih kecil badannya denganku itu keluar dengan tas berwarna hitam.
Aku berlari dan memeluk mama dengan sukacita.
“Ma, kangen banget!” ucapku masih dipelukan mama. Dia hanya terkekeh saja karena tingkahku.
“Mama juga kangen banget,” balasnya sambil mengusap punggungku.
“Sudah dibayar belum?”
“Sudah,”
“Terima kasih ya, Pak,” ucapku kepada sopir taksi yang dibalas dengan senyum.
“Kakak! Dedek!” seru mama kepada Pega dan Imba.
“Uti!” seru mereka bersamaan sambil berlari menghambur ke pelukan mama.
Aku tidak bisa tidak tersenyum, coba saja ibu bisa seperti mama. Hangat dan sangat welcome kepadaku, memelukku dengan hangat, menyayangiku dengan tulus, dan tidak menolak apapun yang ingin kuusahakan. Ibu, kapan ibu mau menerimaku dengan tulus?
“Cucuku! Kakak, Adik sehat?” tanya mamaku saat sudah memeluk mereka.
“Sehat dong! Aku kan anak kuat,” jawab Imba semangat.
Lalu kami semua berjalan masuk ke dalam rumah, sambil mama yang sesekali menyahut celoteh dua anakku itu. Merayu sang nenek agar mau membelikan banyak es krim dan permen karena aku melarang mereka makan itu sering-sering.
“Mama sudah makan?” tanyaku saat mama sudah duduk di sofa tamu.
“Mama sudah makan tadi pagi mau berangkat. Beli nasi uduknya Teh Nuri,” jawabnya sambil merebahkan punggung rentanya di sofa.
“Masakan Teh Nuri masih juara ya, Ma?”
“Iya. Masih ramai. Tahun depan dia bakal pergi haji.”
“Wa... alhamdulillah. Seneng banget dengernya.”
“Iya.”
“Mama kok dadakan kesininya?”
“Papamu gak ngasih tahu?”
“Tadi Pega bilang kalau papa telpon dia, bilang kalau mama mau datang. Mama berantem sama papa?”
“Ngawur kamu! Enggak. Justru Mama kesini mau lihat kamu bagaimana?”
“Kok aku?”
“Papamu tahu, Ega abis ketipu, ‘kan?”
“Enggak, kok.”
“Gak usah bohong. Mertuamu telpon papa kemarin. Bilang kalau Ega rugi ratusan juta. Tapi, kami malah gak ngapa-ngapin.”
“Ibu ngomong begitu?”
“Iya,” kata mama membuat tenggorokanku tercekat. “Kamu gak usah konfirmasi apapun ke ibumu. Kamu hanya cukup tahu saja.”
“Ibu ngomong apa saja, Ma?”
“Kamu gak perlu tahu, Ga.”
“Maafin ibu ya, Ma,” pintaku tulus sambil melihat mata mama yang sendu.
“Ga, kapan?”
“Sebenarnya pas Mama telpon itu, aku gak langsung bilang ke Pega. Karena Pega saat itu pulang larut dan Aga gak berani ngomong. Akhirnya Kak Wima yang langsung telpon Pega lewat hp Aga. Pas itu, Aga lagi di kamar mandi. Pega marah. Aga tahu, saat itu Pega abis ketemu client yang nipu itu. Entah bagaimana pokoknya mereka akhirnya gak ketemu dan Pega yakin kalau dia sudah ditipu. Pega kalut banget, aku gak berani bilang kalau papa masuk rumah sakit.
Maafin Aga, Ma. Aga cuma gak mau kalau Mama kepikiran sama masalah Aga. Mama kan pasti sudah mikir papa masuk rumah sakit ditambah Mas Dimas yang pergi. Aga gak tega saja, Ma. Aga gak mau tambah-nambahin beban pikiran Mama. Aga gak mau Mama stress karena banyak pikiran.”
“Papa, Mama merasa bersalah dengan kamu dan Ega. Kami gak tahu kalau kalian memang sedang kena musibah. Ega malah ke Bandung buat jengukin papa. Mama minta maaf ya, Anak.”
Aku menghambur kepelukan mama, air mataku sudah tidak bisa dibendung lagi. Rasanya di depan dia aku tetap anak kecil manja, yang seringnya gagal untuk berbohong. Banyak hal yang memang mama gak tahu. Tapi, menangis di pelukan mama seperti ini rasanya aman, seakan tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Mama memang tempat saat masalahku dengan ibu kian merumit. Ibu sudah membawa mama dan papa atas ketidaksukaannya denganku. Sekarang, aku merasa lebih bersalah dibanding apa yang Mas Dimas lakukan dengan mereka.
“Ma, Mas Dimas apakabar?” tanyaku setelah tangisku mereda.
“Ga, bisa gak kalau jangan ngomongin dia dulu. Mama baru sampai loh,” jawabnya sambil tersenyum bohong. Aku mengangguk saja, mungkin mama belum siap menceritakan semuanya. Walaupun Kak Wima sudah sedikit bercerita, aku mau mendengar mama bisa bercerita apapun yang terjadi sebelum Mas Dimas ke Jogja.
“Ga, Mama istirahat dulu, ya? Capek Mama, maklum sudah tua. Perjalanan dari Bandung ke sini butuh tenaga banyak.”
“Iya, Ma. Aga anter yuk!” kami bangkit menuju kamar di lantai bawah. Aku membawa tas yang berisi pakaian ganti dan dompet mungkin.
“Terima kasih, Ga. Mama istirahat dulu, ya.”
“Iya, Ma.” Aku menutup pintu dan berjalan menuju sofa berwarna abu-abu itu. Sebenarnya aku masih sangat penasaran, hal yang begitu urgent yang membuat mama datang. Apa seburuk itu obrolan ibu?
Banyak hal yang bermukim di kepala, banyak hal yang minta untuk dikeluarkan, banyak hal yang ingin segera dapat jawaban. But all waiting the good time.
“Halo, Mama sudah datang?”
“Sudah, Kak.”
“Kenapa?”
“Kak, Mas Dimas masih di disitu?”
“Iya.”
“Ada yang aku gak tahu enggak?”
“Kenapa lo tanya begitu?”
“Ya kan aku ingin tahu saja.”
“Gak usah tahu. Urusin dulu urusan lo.”
“Kakak tahu?”
“Papa cerita.”
“Kak-“
“Maafin gue.”
“Gak begitu, Kak.”
“Gue kena omel papa kemarin.”
“Maaf.”
“Lo itu yang kebiasaan! Apa-apa gak mau cerita! Lo kira dengan lo gak cerita lo bisa nyembunyiin selamanya?!”
“Kakak kok malah marahin aku, sih?”
“Ya lo bikin gue dimarahin papa!” aku berdecih tidak terima. “Bagaimana? Sudah kelar urusannya?”
“Kelar apanya?”
“Ya sudah dilaporin polisi atau apa begitu?”
“Enggak, ya sudah kelar begitu saja. Ketipu uang gak balik ya begitu saja, gak ada yang lain. Pega juga gak mau urusannya tambah panjang.”
“Lah? Lo gak ngelporin ke polisi?”
“Enggak.”
“Lo ketipu gak cuma sekali lo, Ga!”
“Aku tahu, kak! Ya sudah, mungkin belum rejekinya, ‘kan?”
“Ya itu urusan kalian, sih. Tapi, kalau itu gue, amit-amit ya. Gue bakal ngelaporin itu ke polisi.”
“Kemarin juga Pega sempat diomelin sama Mas Sanusi tentang ini, tapi ya sudah lah ya, Pega nya juga gak mau.”
“Semoga cepat kelar urusannya. Lain kali jangan ceroboh, dong!”
“Iya. Makasih, kak!”
Setelah telpon dimatikan, aku hanya memejamkan mataku dan bersandar di punggung sofa. Sebenarnya bukan masalah Pega yang aku pikirkan. Tapi, masalah mama yang datang tiba-tiba dan ada apa sebenarnya dengan Mas Dimas sehingga mama dan Kak Wima gak mau ngasih tahu ini ke aku.
Setelah beberapa saat, sepertinya aku melupakan sesuatu. “Oh, God! Masak!”
Akhirnya aku memluai membuka kulkas dan mengeluarkan beberapa sayuran yang mama suka. Dan sementara melupakan apa yang otak ingin tahu. Mencoba memasak dengan bahagia.


-------------------------------

Rindu memang kadang segila ini. 
Selain jarak yang membentang, juga keadaan yang menutup kemungkinan bertemu.
Aku hanya berharap dirindukan di dalam setiap untaian doanya.
Mak, ini untukmu.

I miss you, so bad!

Jumat, 03 April 2020

Bab 18 || Bersuara



Embun pagi terasa lebih melegakan dibanding kemeloanku kemarin sore. Tulis sambil sesegukan membuat dua anak kembarku itu laporan sama ayahnya kalau emaknya baru habis nangis. Dan Pega hanya melihatku yang kujawab dengan ‘hanya terbawa suasana saja’ disertai cengiran khas yang semoga membuat suamiku itu tambah cinta.
Anak-anak yang sepagian minta donat membuatku mau tak mau memantau aplikasi ojek online yang akan bisa mengantarkan donat tanpa aku harus repot-repot keluar rumah. Tapi tetap saja, sepagi ini gerai donat belum ada yang buka.
Mungkin ini waktunya mereka banyak mau, atau eksplorasi berbagai jenis makanan yang akan masuk perut mereka. Pega yang sekarang masih berolahraga di bawah membuatku punya space waktu buat memasak makanan berat ala Indonesia Raya yang akan menghabiskan banyak nasi ini.
Masak apa yang gampang dan cepat? setelah kedatangan kang sayur yang ngetem di depan rumah aku punya ide untuk membuat urapan sayur dan ayam goreng yang yang seringnya ada di atas meja dibanding roti tawar atau selai coklat.
“Mbak Jingga suka urapan?” tanya Kang Asep tukang sayur komplek yang suka cerewet katanya biar pembeli senang.
“Iya, kenapa, Kang?” tanyaku balik.
“Iya. Enak, Mbak. Resep kalau lihat orang suka sayuran, gak daging-dagingan terus yang di makan.”
“Kang Asep suka juga kan dagangannya dibeli?”
“Suka atuh, Mbak.”
Aku hanya menggeleng saja. Tingkat kepo masyarakat Indonesia Raya memang sangat tinggi. Entah tetangga, saudara, netizen, bahkan tukang sayur saja ingin tahu makanan kesukaan orang. Mungkin biar dia bisa update status di wa grup atau sebagai bahan diskusi saat bertemu dengan pelanggan lain.
Setelah selesai masak dan menyiapkannya di meja. Aku memanggil Pega dan anak-anak untuk sarapan.
Di sinilah kami, di meja kecil yang muat hanya empat orang ini aku berniat ingin merealisasikan apa yang sudah aku rancang kemarin.
Kebetulan juga, Pega akan pulang telat malam ini karena mau presentasi ke calon kliennya.
"Yang, aku hari ini mau kerumah ibu sama anak-anak, boleh?" Tanyaku kepada Pega.
"Tumben, ada apa?" Dia balik nanya.
"Ya pengen aja berkunjung. Kan ibu kamu juga ibu aku juga. Kalau aku lagi kangen mama, emang aku boleh ke Bandung sendirian?"
"Ya aneh aja. Biasanya keringet dingin dulu pas mau ketemu. Ini, malah mau nyamper. Sendirian lagi. Siapa coba yang gak curiga?"
"Ya ampun, Yang. Gitu banget. Aku beneran kangen mama, jadinya pengen ke rumah ibu aja biar kangennya ilang. Boleh, ya?" Aku mengeluarkan kata memelas supaya dikasih ijin.
"Kamu beneran lagi gak ngerencanain apapun, 'kan?"
"Gak usah berlebihan deh. Timbang ke ibu doang. Kalau gak boleh ya udah tinggal bilang gak boleh."
"Iya boleh. Tapi, aku gak bisa anter."
"Gak papa."
"Jangan ngelakuin apapun yang kamu tahu sendiri akibatnya."
"Iya."
"Anak-anak diawasin beneran. Jangan sampai dilepas gitu aja. Rame lo ditempat ibu."
"Tenang."
"Gak usah ngomong hal yang kiranya bikin ibu marah atau gak mau jawab kamu."
"Siap."
"Jangan lupa bawa baju ganti punyaku, anak-anak, kamu juga. Takutnya aku kemaeman. Jaga-jaga kalau kita bakal nginep."
"Beres."
"Ow iya, nanti cek obat ibu. Apa aja keperluan rumah kalau habis beliin aja. Tapi, pas anak-anak lagi tidur aja. Biar ibu gak kesulitan harus ngawasin mereka."
"Serahin sama aku."
Pega sempat kebingungan, dia tidak biasa melihat istrinya itu girang sekali hanya karena dapat ijin buat ke rumah ibunya.
Dia tidak bisa membohongi dirinya kalau dia sangat bahagia. Dia gak mungkin mau melihat dua wanita yang sangat dicintainya itu terus bersitegang.
Sebenarnya dia tahu, Jingga bukanlah perempuan yang tidak bisa menyayangi ibunya. Dia sangat tahu kalau Jingga sangat menyayangi ibunya. Terkadang laptop yang dia gunakan untuk menulis belum ditutup. Dia sering membaca tulisannya yang memang kebanyakan ungkapan sayangnya kepada ibu.
Semoga ibu bisa sedikit memberi ruang untuk Jingga bisa melihat pembuktiannya.
.
Ada hari di mana keberanian terkumpul menjadi satu. Membentuk sebuah kekuatan untuk menemui penolakan.
Jingga berdiri di depan rumah yang di depannya sudah banyak rumput liar yang tumbuh, cat yang sedikit Sudah rusak, pagar yang sudah mengelupas menampilkan karat yang menganggu keindahan rumah ini.
Aku menarik napas dalam-dalam, mengatakan pada diriku bahwa ibu akan menerima kedatanganku, menyambutnya dengan hangat, dan kami akan ngobrol di beranda sore ini dengan secangkir teh hangat dan sepotong kue lapis kesukaan ibu yang aku tenteng dari runah.
"Bunda, nenek kemana? Kok gak dibuka-buka pintunya?"
"Mungkin ketiduran, sabar ya. Sebentar lagi pasti dibuka."
"Udah panas, Bunda."
"Iya, sabar dulu ya."
"Bu, assalamualaikum. Ini Jingga sama anak-anak, Bu."
Tidak lama kemudian, pintu rumah terbuka. Ibu muncul dengan daster warna merah yang aku tahu itu dibelikan Sandy waktu dia ke Bandung beberapa waktu lalu.
"Cucuku..." serunya sambil merentangkan tangannya.
Anak-anak langsung menghambur dan memeluknya seperti biasanya. Rumah ini memang terlihat usang dari luar. Tapi, ketika sudah masuk rumah ada banyak guci yang tersusun rapi. Keramik-keramik yang berlapis emas, juga barang-barang lain yang dibeli entah siapa karena setelah menikah dengan Pega semua barang sudah ada di sini.
"Ibu apakabar?" Ucapku saat sudah masuk ke dalam dalam.
"Baik. Di mana Pega?"
"Pega sudah berangkat, Bu."
"Ngapain kamu sendirian kesini?"
"Ada yang mau Jingga omongin, Bu."
"Ibu lagi masak puding. Kamu bisa lanjutin dulu."
"Baik, Bu." Jingga tidak bisa tidak tersenyum. Dia bahagia ibunya mah menyuruhnya melakukan pekerjaan rumah. Entah bagaimana, ini adalah pertama kalinya ibu menyuruhnya. Benar benar menyuruhnya.
Dia sedikit berdendang sambil mengaduk puding di atas panci.
"Bunda, baunya enak sekali," ucap Imba saat menghampirinya.
"Iya, kamu mau?"
"Mau, Imba suka puding."
"Iya?"
"Tapi lebih suka eskrim coklat."
"Kakak di mana, Dik?"
"Kakak lagi sama nenek di luar."
"Lagi apa mereka? kenapa Adik gak ikutan?”
“Lagi nonton Finn.”
“Memang nenek tahu?”
“Tahu.”
“Oh.”
“Bunda, kenapa masak itu lama banget?”
“Iya, ‘kan biar matang gak gampang basi.”
“Memang puding bisa basi, Bunda?”
“Bisa. Semua makanan bisa basi, Sayang. Apalagi ini ada santannya di dalam.”
“Santan?” teriak Ibu dari belakangku. Jantungku mulai berdetum tak beraturan.
“Iya, Bu.”
“Puding gak usah dikasih santan. Buat fla nya saja. puding kok dikasih santan! Katanya mau makan sehat? Dikasih santan ya sama saja gak sehat juga!”
“Maaf, Bu. Biar Jingga ganti ya?”
“Gak perlu! Masak puding saja gak becus, apalagi suruh masak yang susah-susah.”
Aku memejamkan mataku seolah ini adalah kesalahanku yang fatal, karena ini ibu jadi lebih marah denganku. Tuhan, kenapa sulit sekali menerobos hati ibu?
Akhirnya aku membuat puding yang baru dan membuat fla bermodalkan google. Aku memang tidak pandai banyak hal, tapi aku mau mencoba sampai ibu akan luluh denganku.
Ini memang lebih sulit dari yang kuharapkan, aku jadi ingat apa yang Pega katakan. Tapi, ini bukan hal buruk. Aku ingin memperbaiki hubunganku dengan ibu. Supaya lebih berkah dan bahagia kehidupanku dengan Pega. Aku tidak bisa terus berdiam diri seperti kemarin. Aku harus bisa bangkit untuk mendapatkan ibu. Aku berpikir ibu gak mungkin luluh kalau aku terus diam tidak melakukan rayuan apapun.
Ketika semua hal yang aku usahakan aku meyakini suatu saat akan berbuah manis. Yang aku tidak tahu hanya kapan waktu yang tepat itu akan datang kepadaku. Besok kah? Lusa? Bulan depan? Atau tahun depan? Bahkan mungkin sepuluh tahun lagi?
            Aku kira aku sudah melakukan hal baik. Tapi, dugaanku yang terlalu percaya diri ini belum sepenuhnya benar. Bahkan membuat semua yang dilakukan seakan ambyar tak bersisa.
Padahal mungkin ini menurut orang adalah hal yang mudah sekali, tapi aku melakukannya dengan sangat buruk.
Ah... apa yang aku bisa sekarang? Ide apa yang aku punya di sini?
“Bunda! Bundaaaa!!!” seru Netra sambil merengek. Aku segera menghapus air mataku.
“Iya. Ada apa, Kak?” aku mencoba menetralkan suaraku.
“Itu dedeknya, itu!”
“Kenapa?”
"Dia gak mau main sama aku.”
“Mungkin dia ingin main yang lain, kamu bisa ikutan main sama dedek?”
“Gak mau. Dia main sama nenek. Neneknya begitu-begitu, Kakak gak suka.”
“Begitu-begitu bagaimana?”
“Pokoknya Kakak gak mau!”
“Ya sudah, sini saja sama Bunda.”
“Bunda, pudingnya tadi sudah keras belum, ya?”
“Sudah kali, Kakak mau?”
“Mau.”
“Bunda ambilin, ya?”
Saat aku ingin beranjak, tiba-tiba hp ku berdering. Saat kuambil, trnyata telepon dari Kak Rosi.
“Ya Kak,” sapaku setelah menggeser tombol hijau.
“Kamu di mana? Mas Sanusi mau ketemu Pega.”
“Mau ngapain, Kak?”
“Kamu nya di mana? Aku bentar lagi jalan.”
“Aku di rumah ibu, Kak.”
“Hah?”
“Di rumah Ibu.”
“Sama Pega?”
“Pega belum jemput. Tadi bilang mau jemput, sih.”
“Ya sudah, aku ke situ.
“Kak, bawain makanan dong, Kak.”
“Memang gak masak?”
“Ibu belum makan dari tadi, aku takut dia gak suka masakanku.”
“Ya sudah, nanti aku bawain. Ayam bakar saja, ya?”
“Iya, apa saja. Makasih, Kak.”
“Iya.”
Sambungan aku putuskan setelah mejawab salam dari Kak Rosi. Aku pun gak tahu, kenapa tumbenan sekali Mas Sanusi ingin bertemu dengan Pega. Padahal aku yakin, kalau hal biasa, mereka gak akan banyak ngobrol hal basa-basi.
.
Pega sudah datang menjemputku untuk pulang, tapi Mas Sanusi sepertinya menyuruh kami untuk menginap saja. bukan dengan terang-terangan. Tapi, di ruangan ini sepertinya perdebatan antar iparku dan suamiku ini semakin malam semakin alot.
Aku hanya memakan kripik pisang dengan Kak Rosi sambil melihat adu urat di anatara mereka berdua. Ibu yang sepertinya lebih longgar untuk membiarkan Pega untuk mengambil keputusan. Tumben!
Kali ini aku berada di dalam ruangan yang entah sudah tiga jam yang lalu sangat alot di sini. Pega yang sedari tadi sudah mengacak-acak rambutnya karena dari tadi Mas Sanusi masih ngotot ingin ngelaporin Sentosa yang sudah nipu rental alat nya Pega.
“Mas, ini bukan masalah apa-apa. Aku males saja urusan sama polisi,”
“Ga, duit kamu itu gak sedikit. Itu kalau ditotalin bisa empat ratusan juta loh.”
“Gak guna juga lapor polisi, gak bakal balik juga uangnya.”
“Seenggaknya kamu kan usaha, bukan berdiam kaya gini.”
“Sudah lama juga, Mas. Udahlah!”
“Itu karena kamu gak cerita sama kita.”
“Gak papa, Mas. Mungkin bukan rejekinya, ‘kan?”
“Ga. Ini gak yang pertama loh. Ini sudah kesekian kalinya.”
“Ya namanya ditipu, aku juga gak mau kalau disuruh milih, Mas.”
Aku yang sedari tadi mendengarkan saja sudah panas kuping. Apalagi Pega yang berdebat sedari tadi. Aku yakin kalau aku yang diajak berdebat pasti sudah meledak.
Sekarang kami sedang ada di rumah Ibu. Ibu mengundang kami karena kakinya kumat lagi. Ibu memang punya sakit lutut yang kata dokter pengapuran.
 “Kenapa kalian berdebat terus. Ada banyak hal kan yang kita bisa syukuri dibandingkan kehilangan uang itu.”
“Tetap saja, Ma-“
“Udahlah, biarkan saja adikmu membuat keputusannya sendiri. Mereka pasti sudah memikirkan ini sebelum kita mengetahuinya.”
“Itu, Mas! Ibu saja gak papa. Bukannya aku gak sayang duit, Mas. Tapi, sepertinya memang bukan rejekiku. Mau bagaimana lagi? Aku juga sudah usaha sebenarnya buat ngobrol sama pihak Santosa.”
“Ga... Ga, mau sampai kapan kamu kaya gini terus?”
“Ya, Pega juga gak mau sebenarnya.”
“Kalau sampai kamu ditipu orang lagi, bukan kamu yang Mas push buat ngelaporin kasus kaya gini, tapi biar saja Jingga, kalau enggak malah Mas sendiri yang bakal ngelaporin.” Mas Sanusi bangkit dan keluar rumah. Kak Rosi yang sedari tadi ngemil sama aku, segera menyusul suaminya. Mungkin Kak Rosi bakalan menenangkan Mas Sanusi.
“Yang, mau minum?” tanyaku sambil mengikat rambutku.
“Boleh, anak-anak di mana?”
“Tidur.” Dia mengangguk sambil meminum airnyaa.”
“Kayaknya kita gak bakal bisa pulang. Sudah jam satu, kita tidur sini saja, ya?” katanya meminta persetujuanku.
“Masa kamu mau pulang? Sudah jam segini loh?” sela Ibu dengan nada sedikit tinggi, “memang Jingga kenapa gak mau tidur di rumah Ibu?”
“Bu, Jingga mau, kok!” kataku sambil menggerak-gerakkan tanganku tanda tidak setuju atas ucapan Ibu.
“Cepetan tidur! Pulang besok!” Ibu bangkit meninggalkan kami yang hanya menghela nafas bersama. Bytheway aku kan tadi belum menyetujui atau tidak menyetujui apa yang Pega katakan. Lihat! Betapa mengejutkannya ibuku?
Aku dan Pega masuk kamar, melihat anak-anak yang main dengan puas hari ini membuat sudut bibirku tertarik. Rasanya aku ingin sekali menyemai hati ibu biar tumbuh bunga-bunga di hatinya, biar dia bisa hapy bawaannya kalau ada aku.
“Kenapa?” tanya Pega sambil mengusap punggungku.
“Enggak.”
“Tadi bagaimana?”
“Menyenangkan sekali, memang kenapa?”
“Ibu-“
“Yang, aku ini mantunya, loh! Mau seperti apapun ibu, dia tetap ibu kamu dan memang kan orang tua selalu benar, ‘kan?”
“Jangan bohong!”
That’s all fun! Anak-anak main puas hari ini sama ibu.”
“Iya? Main apa?”
“Tadi ibu ngerajut begitu, terus mereka mainin benang. Tapi, ibu gak marah tauk!”
“Iya?”
“Hmmm...”
“Ya sudah, tidur yuk!”
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur, memunggungi Pega yang sudah mencoba menutup mata. Aku juga memejamkan mataku, berharap apa yang ibu lakukan hari ini aku bisa segera melupakan dan mengingat semua kebaikannya lalu membuatku tambah dan tambah menyayanginya tanpa tertinggal selipan kebencian di sana.


-----------------------

Stay safe semua, semoga pandemi segera berlalu :(