Selasa, 07 April 2020

Bab 19 || Mama

Hari ini hari kamis, seperti pagi yang biasanya aku menyiapkan sarapan ‘berat’ untuk Pega dan anak-anak. Oke, termasuk aku.
Nasi merah dengan sayur buncis berbumbu saos tiram dan daging yang sudah digiling menjadi campuran menu pagi ini. Kopi, dan dua gelas susu juga sudah nangkring di meja makan.
Sebenarnya apapun makanan yang aku masak, Pega akan memakannya. Hanya saja, dia terpaksa atau tidak terkadang dia juga tidak pernah mengatakannya. Jangan salah, nasi merah yang aku masak itu hanya untukku saja. Sedangkan tiga orang di sini mereka tidak menyuakainya. Bahkan Netra secara terang-terangan menolak suapanku saat aku mulai mengonsumsi nasi merah.
Kenapa? Badanku besar, tinggi, kalau misal aku tidak menjaga pola makanku bagaimana timbangan tiga sampai sepeuluh tahun mendatang? Aku masih sayang anak-anak juga suamiku. Bahkan Ibu belum takluk di tanganku.
“Mau?” tanyaku kepada Imba sambil mengacungkan secentong nasi merah di tanganku.
“Enggak, Bund. Aku pakai nasi putih saja,” ujarnya dengan hati-hati. Aku menghela nafas lelah untuk penolakan yang kesekian kalinya.
“Pada hobi banget nolak, ya?” gumamku pelan sambil memasukkan nasi putih ke dalam piring Imba.
“Terima kasih, Bunda,” ucap Imba sambil tersenyum.
“Bund, tadi papa telpon,” kata Pega menyela gerutuku.
“Papa? Nanyain Mas Dimas lagi?”
“Bukan.”
“Terus?”
“Katanya mama mau kemari.”
“Oh ya?” aku tersenyum lebar. Aku sangat kangen sama mama. Banyak hal yang akan aku ceritakan kepada mama. Banyak hal yang juga ingin kutanyakan kepadanya. “Kapan mau kesininya, Yang?”
“Hari ini katanya.”
“Ha? Hari ini?”
“Hm...”
“How lucky I’m!!” teriakku senang. Aku bahkan tidak sabar untuk bertemu dengan mama hari ini.
“Bunda, uti mau kesini?” tanya Netra sambil menyuapkan nasinya ke mulut.”
“Iya. Nanti kita ajak uti nonton Frozen, bagaimana?”
“Hore!!!” teriak Imba senang. Aku tersenyum melihat mereka excited dengan kedatangan mama.
“Yang, papa tadi bilang kenapa mama tiba-tiba datang?”
“Enggak, belum sempat tanya telponnya sudah dimatiin.”
“Oh.”
Aku mengambil gawaiku, mengetikkan sebuah pesan kepada Kak Wima.
Kak, mama mau datang. Memang Mas Dimas udah balik?
.
Pega sudah berangkat setengah jam setelah sarapan selesai. Sedangkan aku sedang mondar-mandir di teras rumah menunggu kedatangan mama sambil melihat Netra dan Imba yang sedang bermain sepeda.
Pega bilang mama sudah berangkat sekitar dua jam yang lalu. Tapi, kalau dihitung ini sudah tiga jam setengah. Tapi, mama belum juga datang. Aku khawatir mama bingung atau salah naik angkutan umum. Sedangkan handphonenya juga belum bisa dihubungi.
Dua jam kemudian sebuah taksi berwarna biru berhenti di depan rumah. Aku segera berlari keluar untuk memastikan itu adalah mama. Benar saja, wanita yang lebih kecil badannya denganku itu keluar dengan tas berwarna hitam.
Aku berlari dan memeluk mama dengan sukacita.
“Ma, kangen banget!” ucapku masih dipelukan mama. Dia hanya terkekeh saja karena tingkahku.
“Mama juga kangen banget,” balasnya sambil mengusap punggungku.
“Sudah dibayar belum?”
“Sudah,”
“Terima kasih ya, Pak,” ucapku kepada sopir taksi yang dibalas dengan senyum.
“Kakak! Dedek!” seru mama kepada Pega dan Imba.
“Uti!” seru mereka bersamaan sambil berlari menghambur ke pelukan mama.
Aku tidak bisa tidak tersenyum, coba saja ibu bisa seperti mama. Hangat dan sangat welcome kepadaku, memelukku dengan hangat, menyayangiku dengan tulus, dan tidak menolak apapun yang ingin kuusahakan. Ibu, kapan ibu mau menerimaku dengan tulus?
“Cucuku! Kakak, Adik sehat?” tanya mamaku saat sudah memeluk mereka.
“Sehat dong! Aku kan anak kuat,” jawab Imba semangat.
Lalu kami semua berjalan masuk ke dalam rumah, sambil mama yang sesekali menyahut celoteh dua anakku itu. Merayu sang nenek agar mau membelikan banyak es krim dan permen karena aku melarang mereka makan itu sering-sering.
“Mama sudah makan?” tanyaku saat mama sudah duduk di sofa tamu.
“Mama sudah makan tadi pagi mau berangkat. Beli nasi uduknya Teh Nuri,” jawabnya sambil merebahkan punggung rentanya di sofa.
“Masakan Teh Nuri masih juara ya, Ma?”
“Iya. Masih ramai. Tahun depan dia bakal pergi haji.”
“Wa... alhamdulillah. Seneng banget dengernya.”
“Iya.”
“Mama kok dadakan kesininya?”
“Papamu gak ngasih tahu?”
“Tadi Pega bilang kalau papa telpon dia, bilang kalau mama mau datang. Mama berantem sama papa?”
“Ngawur kamu! Enggak. Justru Mama kesini mau lihat kamu bagaimana?”
“Kok aku?”
“Papamu tahu, Ega abis ketipu, ‘kan?”
“Enggak, kok.”
“Gak usah bohong. Mertuamu telpon papa kemarin. Bilang kalau Ega rugi ratusan juta. Tapi, kami malah gak ngapa-ngapin.”
“Ibu ngomong begitu?”
“Iya,” kata mama membuat tenggorokanku tercekat. “Kamu gak usah konfirmasi apapun ke ibumu. Kamu hanya cukup tahu saja.”
“Ibu ngomong apa saja, Ma?”
“Kamu gak perlu tahu, Ga.”
“Maafin ibu ya, Ma,” pintaku tulus sambil melihat mata mama yang sendu.
“Ga, kapan?”
“Sebenarnya pas Mama telpon itu, aku gak langsung bilang ke Pega. Karena Pega saat itu pulang larut dan Aga gak berani ngomong. Akhirnya Kak Wima yang langsung telpon Pega lewat hp Aga. Pas itu, Aga lagi di kamar mandi. Pega marah. Aga tahu, saat itu Pega abis ketemu client yang nipu itu. Entah bagaimana pokoknya mereka akhirnya gak ketemu dan Pega yakin kalau dia sudah ditipu. Pega kalut banget, aku gak berani bilang kalau papa masuk rumah sakit.
Maafin Aga, Ma. Aga cuma gak mau kalau Mama kepikiran sama masalah Aga. Mama kan pasti sudah mikir papa masuk rumah sakit ditambah Mas Dimas yang pergi. Aga gak tega saja, Ma. Aga gak mau tambah-nambahin beban pikiran Mama. Aga gak mau Mama stress karena banyak pikiran.”
“Papa, Mama merasa bersalah dengan kamu dan Ega. Kami gak tahu kalau kalian memang sedang kena musibah. Ega malah ke Bandung buat jengukin papa. Mama minta maaf ya, Anak.”
Aku menghambur kepelukan mama, air mataku sudah tidak bisa dibendung lagi. Rasanya di depan dia aku tetap anak kecil manja, yang seringnya gagal untuk berbohong. Banyak hal yang memang mama gak tahu. Tapi, menangis di pelukan mama seperti ini rasanya aman, seakan tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Mama memang tempat saat masalahku dengan ibu kian merumit. Ibu sudah membawa mama dan papa atas ketidaksukaannya denganku. Sekarang, aku merasa lebih bersalah dibanding apa yang Mas Dimas lakukan dengan mereka.
“Ma, Mas Dimas apakabar?” tanyaku setelah tangisku mereda.
“Ga, bisa gak kalau jangan ngomongin dia dulu. Mama baru sampai loh,” jawabnya sambil tersenyum bohong. Aku mengangguk saja, mungkin mama belum siap menceritakan semuanya. Walaupun Kak Wima sudah sedikit bercerita, aku mau mendengar mama bisa bercerita apapun yang terjadi sebelum Mas Dimas ke Jogja.
“Ga, Mama istirahat dulu, ya? Capek Mama, maklum sudah tua. Perjalanan dari Bandung ke sini butuh tenaga banyak.”
“Iya, Ma. Aga anter yuk!” kami bangkit menuju kamar di lantai bawah. Aku membawa tas yang berisi pakaian ganti dan dompet mungkin.
“Terima kasih, Ga. Mama istirahat dulu, ya.”
“Iya, Ma.” Aku menutup pintu dan berjalan menuju sofa berwarna abu-abu itu. Sebenarnya aku masih sangat penasaran, hal yang begitu urgent yang membuat mama datang. Apa seburuk itu obrolan ibu?
Banyak hal yang bermukim di kepala, banyak hal yang minta untuk dikeluarkan, banyak hal yang ingin segera dapat jawaban. But all waiting the good time.
“Halo, Mama sudah datang?”
“Sudah, Kak.”
“Kenapa?”
“Kak, Mas Dimas masih di disitu?”
“Iya.”
“Ada yang aku gak tahu enggak?”
“Kenapa lo tanya begitu?”
“Ya kan aku ingin tahu saja.”
“Gak usah tahu. Urusin dulu urusan lo.”
“Kakak tahu?”
“Papa cerita.”
“Kak-“
“Maafin gue.”
“Gak begitu, Kak.”
“Gue kena omel papa kemarin.”
“Maaf.”
“Lo itu yang kebiasaan! Apa-apa gak mau cerita! Lo kira dengan lo gak cerita lo bisa nyembunyiin selamanya?!”
“Kakak kok malah marahin aku, sih?”
“Ya lo bikin gue dimarahin papa!” aku berdecih tidak terima. “Bagaimana? Sudah kelar urusannya?”
“Kelar apanya?”
“Ya sudah dilaporin polisi atau apa begitu?”
“Enggak, ya sudah kelar begitu saja. Ketipu uang gak balik ya begitu saja, gak ada yang lain. Pega juga gak mau urusannya tambah panjang.”
“Lah? Lo gak ngelporin ke polisi?”
“Enggak.”
“Lo ketipu gak cuma sekali lo, Ga!”
“Aku tahu, kak! Ya sudah, mungkin belum rejekinya, ‘kan?”
“Ya itu urusan kalian, sih. Tapi, kalau itu gue, amit-amit ya. Gue bakal ngelaporin itu ke polisi.”
“Kemarin juga Pega sempat diomelin sama Mas Sanusi tentang ini, tapi ya sudah lah ya, Pega nya juga gak mau.”
“Semoga cepat kelar urusannya. Lain kali jangan ceroboh, dong!”
“Iya. Makasih, kak!”
Setelah telpon dimatikan, aku hanya memejamkan mataku dan bersandar di punggung sofa. Sebenarnya bukan masalah Pega yang aku pikirkan. Tapi, masalah mama yang datang tiba-tiba dan ada apa sebenarnya dengan Mas Dimas sehingga mama dan Kak Wima gak mau ngasih tahu ini ke aku.
Setelah beberapa saat, sepertinya aku melupakan sesuatu. “Oh, God! Masak!”
Akhirnya aku memluai membuka kulkas dan mengeluarkan beberapa sayuran yang mama suka. Dan sementara melupakan apa yang otak ingin tahu. Mencoba memasak dengan bahagia.


-------------------------------

Rindu memang kadang segila ini. 
Selain jarak yang membentang, juga keadaan yang menutup kemungkinan bertemu.
Aku hanya berharap dirindukan di dalam setiap untaian doanya.
Mak, ini untukmu.

I miss you, so bad!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar