Embun pagi terasa lebih melegakan dibanding kemeloanku kemarin sore. Tulis
sambil sesegukan membuat dua anak kembarku itu laporan sama ayahnya kalau
emaknya baru habis nangis. Dan Pega hanya melihatku yang kujawab dengan ‘hanya
terbawa suasana saja’ disertai cengiran khas yang semoga membuat suamiku itu
tambah cinta.
Anak-anak yang sepagian minta donat membuatku mau tak mau memantau aplikasi
ojek online yang akan bisa mengantarkan donat tanpa aku harus repot-repot
keluar rumah. Tapi tetap saja, sepagi ini gerai donat belum ada yang buka.
Mungkin ini waktunya mereka banyak mau, atau eksplorasi berbagai jenis
makanan yang akan masuk perut mereka. Pega yang sekarang masih berolahraga di
bawah membuatku punya space waktu buat memasak makanan berat ala Indonesia Raya
yang akan menghabiskan banyak nasi ini.
Masak apa yang gampang dan cepat? setelah kedatangan kang sayur yang ngetem
di depan rumah aku punya ide untuk membuat urapan sayur dan ayam goreng yang
yang seringnya ada di atas meja dibanding roti tawar atau selai coklat.
“Mbak Jingga suka urapan?” tanya Kang Asep tukang sayur komplek yang suka
cerewet katanya biar pembeli senang.
“Iya, kenapa, Kang?” tanyaku balik.
“Iya. Enak, Mbak. Resep kalau lihat orang suka sayuran, gak daging-dagingan
terus yang di makan.”
“Kang Asep suka juga kan dagangannya dibeli?”
“Suka atuh, Mbak.”
Aku hanya menggeleng saja. Tingkat kepo masyarakat Indonesia Raya memang
sangat tinggi. Entah tetangga, saudara, netizen, bahkan tukang sayur saja ingin
tahu makanan kesukaan orang. Mungkin biar dia bisa update status di wa grup
atau sebagai bahan diskusi saat bertemu dengan pelanggan lain.
Setelah selesai masak dan menyiapkannya di meja. Aku memanggil Pega dan
anak-anak untuk sarapan.
Di sinilah kami, di meja kecil yang muat hanya empat orang ini aku berniat
ingin merealisasikan apa yang sudah aku rancang kemarin.
Kebetulan juga, Pega akan pulang telat malam ini karena mau presentasi ke
calon kliennya.
"Yang, aku hari ini mau kerumah ibu sama anak-anak, boleh?"
Tanyaku kepada Pega.
"Tumben, ada apa?" Dia balik nanya.
"Ya pengen aja berkunjung. Kan ibu kamu juga ibu aku juga. Kalau aku
lagi kangen mama, emang aku boleh ke Bandung sendirian?"
"Ya aneh aja. Biasanya keringet dingin dulu pas mau ketemu. Ini, malah
mau nyamper. Sendirian lagi. Siapa coba yang gak curiga?"
"Ya ampun, Yang. Gitu banget. Aku beneran kangen mama, jadinya pengen
ke rumah ibu aja biar kangennya ilang. Boleh, ya?" Aku mengeluarkan kata
memelas supaya dikasih ijin.
"Kamu beneran lagi gak ngerencanain apapun, 'kan?"
"Gak usah berlebihan deh. Timbang ke ibu doang. Kalau gak boleh ya
udah tinggal bilang gak boleh."
"Iya boleh. Tapi, aku gak bisa anter."
"Gak papa."
"Jangan ngelakuin apapun yang kamu tahu sendiri akibatnya."
"Iya."
"Anak-anak diawasin beneran. Jangan sampai dilepas gitu aja. Rame lo
ditempat ibu."
"Tenang."
"Gak usah ngomong hal yang kiranya bikin ibu marah atau gak mau jawab
kamu."
"Siap."
"Jangan lupa bawa baju ganti punyaku, anak-anak, kamu juga. Takutnya
aku kemaeman. Jaga-jaga kalau kita bakal nginep."
"Beres."
"Ow iya, nanti cek obat ibu. Apa aja keperluan rumah kalau habis
beliin aja. Tapi, pas anak-anak lagi tidur aja. Biar ibu gak kesulitan harus
ngawasin mereka."
"Serahin sama aku."
Pega sempat kebingungan, dia tidak biasa melihat istrinya itu girang sekali
hanya karena dapat ijin buat ke rumah ibunya.
Dia tidak bisa membohongi dirinya kalau dia sangat bahagia. Dia gak mungkin
mau melihat dua wanita yang sangat dicintainya itu terus bersitegang.
Sebenarnya dia tahu, Jingga bukanlah perempuan yang tidak bisa menyayangi
ibunya. Dia sangat tahu kalau Jingga sangat menyayangi ibunya. Terkadang laptop
yang dia gunakan untuk menulis belum ditutup. Dia sering membaca tulisannya
yang memang kebanyakan ungkapan sayangnya kepada ibu.
Semoga ibu bisa sedikit memberi ruang untuk Jingga bisa melihat pembuktiannya.
.
Ada hari di mana keberanian terkumpul menjadi satu. Membentuk sebuah
kekuatan untuk menemui penolakan.
Jingga berdiri di depan rumah yang di depannya sudah banyak rumput liar
yang tumbuh, cat yang sedikit Sudah rusak, pagar yang sudah mengelupas
menampilkan karat yang menganggu keindahan rumah ini.
Aku menarik napas dalam-dalam, mengatakan pada diriku bahwa ibu akan
menerima kedatanganku, menyambutnya dengan hangat, dan kami akan ngobrol di
beranda sore ini dengan secangkir teh hangat dan sepotong kue lapis kesukaan
ibu yang aku tenteng dari runah.
"Bunda, nenek kemana? Kok gak dibuka-buka pintunya?"
"Mungkin ketiduran, sabar ya. Sebentar lagi pasti dibuka."
"Udah panas, Bunda."
"Iya, sabar dulu ya."
"Bu, assalamualaikum. Ini Jingga sama anak-anak, Bu."
Tidak lama kemudian, pintu rumah terbuka. Ibu muncul dengan daster warna
merah yang aku tahu itu dibelikan Sandy waktu dia ke Bandung beberapa waktu
lalu.
"Cucuku..." serunya sambil merentangkan tangannya.
Anak-anak langsung menghambur dan memeluknya seperti biasanya. Rumah ini
memang terlihat usang dari luar. Tapi, ketika sudah masuk rumah ada banyak guci
yang tersusun rapi. Keramik-keramik yang berlapis emas, juga barang-barang lain
yang dibeli entah siapa karena setelah menikah dengan Pega semua barang sudah
ada di sini.
"Ibu apakabar?" Ucapku saat sudah masuk ke dalam dalam.
"Baik. Di mana Pega?"
"Pega sudah berangkat, Bu."
"Ngapain kamu sendirian kesini?"
"Ada yang mau Jingga omongin, Bu."
"Ibu lagi masak puding. Kamu bisa lanjutin dulu."
"Baik, Bu." Jingga tidak bisa tidak tersenyum. Dia bahagia ibunya
mah menyuruhnya melakukan pekerjaan rumah. Entah bagaimana, ini adalah pertama
kalinya ibu menyuruhnya. Benar benar menyuruhnya.
Dia sedikit berdendang sambil mengaduk puding di atas panci.
"Bunda, baunya enak sekali," ucap Imba saat menghampirinya.
"Iya, kamu mau?"
"Mau, Imba suka puding."
"Iya?"
"Tapi lebih suka eskrim coklat."
"Kakak di mana, Dik?"
"Kakak lagi sama nenek di luar."
"Lagi apa mereka? kenapa Adik gak ikutan?”
“Lagi nonton Finn.”
“Memang nenek tahu?”
“Tahu.”
“Oh.”
“Bunda, kenapa masak itu lama banget?”
“Iya, ‘kan biar matang gak gampang basi.”
“Memang puding bisa basi, Bunda?”
“Bisa. Semua makanan bisa basi, Sayang. Apalagi ini ada santannya di
dalam.”
“Santan?” teriak Ibu dari belakangku. Jantungku mulai berdetum tak
beraturan.
“Iya, Bu.”
“Puding gak usah dikasih santan. Buat fla nya saja. puding kok dikasih
santan! Katanya mau makan sehat? Dikasih santan ya sama saja gak sehat juga!”
“Maaf, Bu. Biar Jingga ganti ya?”
“Gak perlu! Masak puding saja gak becus, apalagi suruh masak yang
susah-susah.”
Aku memejamkan mataku seolah ini adalah kesalahanku yang fatal, karena ini
ibu jadi lebih marah denganku. Tuhan, kenapa sulit sekali menerobos hati ibu?
Akhirnya aku membuat puding yang baru dan membuat fla bermodalkan google.
Aku memang tidak pandai banyak hal, tapi aku mau mencoba sampai ibu akan luluh
denganku.
Ini memang lebih sulit dari yang kuharapkan, aku jadi ingat apa yang Pega
katakan. Tapi, ini bukan hal buruk. Aku ingin memperbaiki hubunganku dengan
ibu. Supaya lebih berkah dan bahagia kehidupanku dengan Pega. Aku tidak bisa
terus berdiam diri seperti kemarin. Aku harus bisa bangkit untuk mendapatkan
ibu. Aku berpikir ibu gak mungkin luluh kalau aku terus diam tidak melakukan
rayuan apapun.
Ketika semua hal yang aku usahakan aku meyakini suatu saat akan berbuah
manis. Yang aku tidak tahu hanya kapan waktu yang tepat itu akan datang
kepadaku. Besok kah? Lusa? Bulan depan? Atau tahun depan? Bahkan mungkin
sepuluh tahun lagi?
Aku kira aku sudah melakukan hal baik. Tapi, dugaanku yang terlalu percaya diri ini belum sepenuhnya benar. Bahkan membuat semua yang dilakukan seakan ambyar tak bersisa.
Aku kira aku sudah melakukan hal baik. Tapi, dugaanku yang terlalu percaya diri ini belum sepenuhnya benar. Bahkan membuat semua yang dilakukan seakan ambyar tak bersisa.
Padahal mungkin ini menurut orang adalah hal yang mudah sekali, tapi aku
melakukannya dengan sangat buruk.
Ah... apa yang aku bisa sekarang? Ide apa yang aku punya di sini?
“Bunda! Bundaaaa!!!” seru Netra sambil merengek. Aku segera menghapus air
mataku.
“Iya. Ada apa, Kak?” aku mencoba menetralkan suaraku.
“Itu dedeknya, itu!”
“Kenapa?”
"Dia gak mau main sama aku.”
“Mungkin dia ingin main yang lain, kamu bisa ikutan main sama dedek?”
“Gak mau. Dia main sama nenek. Neneknya begitu-begitu, Kakak gak suka.”
“Begitu-begitu bagaimana?”
“Pokoknya Kakak gak mau!”
“Ya sudah, sini saja sama Bunda.”
“Bunda, pudingnya tadi sudah keras belum, ya?”
“Sudah kali, Kakak mau?”
“Mau.”
“Bunda ambilin, ya?”
Saat aku ingin beranjak, tiba-tiba hp ku berdering. Saat kuambil, trnyata
telepon dari Kak Rosi.
“Ya Kak,” sapaku setelah menggeser tombol hijau.
“Kamu di mana? Mas Sanusi mau ketemu Pega.”
“Mau ngapain, Kak?”
“Kamu nya di mana? Aku bentar lagi jalan.”
“Aku di rumah ibu, Kak.”
“Hah?”
“Di rumah Ibu.”
“Sama Pega?”
“Pega belum jemput. Tadi bilang mau jemput, sih.”
“Ya sudah, aku ke situ.
“Kak, bawain makanan dong, Kak.”
“Memang gak masak?”
“Ibu belum makan dari tadi, aku takut dia gak suka masakanku.”
“Ya sudah, nanti aku bawain. Ayam bakar saja, ya?”
“Iya, apa saja. Makasih, Kak.”
“Iya.”
Sambungan aku putuskan setelah mejawab salam dari Kak Rosi. Aku pun gak
tahu, kenapa tumbenan sekali Mas Sanusi ingin bertemu dengan Pega. Padahal aku
yakin, kalau hal biasa, mereka gak akan banyak ngobrol hal basa-basi.
.
Pega sudah datang menjemputku untuk pulang, tapi Mas Sanusi sepertinya
menyuruh kami untuk menginap saja. bukan dengan terang-terangan. Tapi, di
ruangan ini sepertinya perdebatan antar iparku dan suamiku ini semakin malam
semakin alot.
Aku hanya memakan kripik pisang dengan Kak Rosi sambil melihat adu urat di
anatara mereka berdua. Ibu yang sepertinya lebih longgar untuk membiarkan Pega
untuk mengambil keputusan. Tumben!
Kali ini aku berada di dalam ruangan yang entah sudah tiga jam yang lalu
sangat alot di sini. Pega yang sedari tadi sudah mengacak-acak rambutnya karena
dari tadi Mas Sanusi masih ngotot ingin ngelaporin Sentosa yang sudah nipu
rental alat nya Pega.
“Mas, ini bukan masalah apa-apa. Aku males saja urusan sama polisi,”
“Ga, duit kamu itu gak sedikit. Itu kalau ditotalin bisa empat ratusan juta
loh.”
“Gak guna juga lapor polisi, gak bakal balik juga uangnya.”
“Seenggaknya kamu kan usaha, bukan berdiam kaya gini.”
“Sudah lama juga, Mas. Udahlah!”
“Itu karena kamu gak cerita sama kita.”
“Gak papa, Mas. Mungkin bukan rejekinya, ‘kan?”
“Ga. Ini gak yang pertama loh. Ini sudah kesekian kalinya.”
“Ya namanya ditipu, aku juga gak mau kalau disuruh milih, Mas.”
Aku yang sedari tadi mendengarkan saja sudah panas kuping. Apalagi Pega
yang berdebat sedari tadi. Aku yakin kalau aku yang diajak berdebat pasti sudah
meledak.
Sekarang kami sedang ada di rumah Ibu. Ibu mengundang kami karena kakinya
kumat lagi. Ibu memang punya sakit lutut yang kata dokter pengapuran.
“Kenapa kalian berdebat terus. Ada
banyak hal kan yang kita bisa syukuri dibandingkan kehilangan uang itu.”
“Tetap saja, Ma-“
“Udahlah, biarkan saja adikmu membuat keputusannya sendiri. Mereka pasti
sudah memikirkan ini sebelum kita mengetahuinya.”
“Itu, Mas! Ibu saja gak papa. Bukannya aku gak sayang duit, Mas. Tapi,
sepertinya memang bukan rejekiku. Mau bagaimana lagi? Aku juga sudah usaha
sebenarnya buat ngobrol sama pihak Santosa.”
“Ga... Ga, mau sampai kapan kamu kaya gini terus?”
“Ya, Pega juga gak mau sebenarnya.”
“Kalau sampai kamu ditipu orang lagi, bukan kamu yang Mas push buat
ngelaporin kasus kaya gini, tapi biar saja Jingga, kalau enggak malah Mas
sendiri yang bakal ngelaporin.” Mas Sanusi bangkit dan keluar rumah. Kak Rosi
yang sedari tadi ngemil sama aku, segera menyusul suaminya. Mungkin Kak Rosi
bakalan menenangkan Mas Sanusi.
“Yang, mau minum?” tanyaku sambil mengikat rambutku.
“Boleh, anak-anak di mana?”
“Tidur.” Dia mengangguk sambil meminum airnyaa.”
“Kayaknya kita gak bakal bisa pulang. Sudah jam satu, kita tidur sini saja,
ya?” katanya meminta persetujuanku.
“Masa kamu mau pulang? Sudah jam segini loh?” sela Ibu dengan nada sedikit
tinggi, “memang Jingga kenapa gak mau tidur di rumah Ibu?”
“Bu, Jingga mau, kok!” kataku
sambil menggerak-gerakkan tanganku tanda tidak setuju atas ucapan Ibu.
“Cepetan tidur! Pulang besok!” Ibu bangkit meninggalkan kami yang hanya
menghela nafas bersama. Bytheway aku
kan tadi belum menyetujui atau tidak menyetujui apa yang Pega katakan. Lihat!
Betapa mengejutkannya ibuku?
Aku dan Pega masuk kamar, melihat anak-anak yang main dengan puas hari ini
membuat sudut bibirku tertarik. Rasanya aku ingin sekali menyemai hati ibu biar
tumbuh bunga-bunga di hatinya, biar dia bisa hapy bawaannya kalau ada aku.
“Kenapa?” tanya Pega sambil mengusap punggungku.
“Enggak.”
“Tadi bagaimana?”
“Menyenangkan sekali, memang kenapa?”
“Ibu-“
“Yang, aku ini mantunya, loh! Mau seperti apapun ibu, dia tetap ibu kamu
dan memang kan orang tua selalu benar, ‘kan?”
“Jangan bohong!”
“That’s all fun! Anak-anak main
puas hari ini sama ibu.”
“Iya? Main apa?”
“Tadi ibu ngerajut begitu, terus mereka mainin benang. Tapi, ibu gak marah tauk!”
“Iya?”
“Hmmm...”
“Ya sudah, tidur yuk!”
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur, memunggungi Pega yang sudah mencoba
menutup mata. Aku juga memejamkan mataku, berharap apa yang ibu lakukan hari
ini aku bisa segera melupakan dan mengingat semua kebaikannya lalu membuatku
tambah dan tambah menyayanginya tanpa tertinggal selipan kebencian di sana.
-----------------------
Stay safe semua, semoga pandemi segera berlalu :(
Tidak ada komentar:
Posting Komentar