Jumat, 03 April 2020

Bab 18 || Bersuara



Embun pagi terasa lebih melegakan dibanding kemeloanku kemarin sore. Tulis sambil sesegukan membuat dua anak kembarku itu laporan sama ayahnya kalau emaknya baru habis nangis. Dan Pega hanya melihatku yang kujawab dengan ‘hanya terbawa suasana saja’ disertai cengiran khas yang semoga membuat suamiku itu tambah cinta.
Anak-anak yang sepagian minta donat membuatku mau tak mau memantau aplikasi ojek online yang akan bisa mengantarkan donat tanpa aku harus repot-repot keluar rumah. Tapi tetap saja, sepagi ini gerai donat belum ada yang buka.
Mungkin ini waktunya mereka banyak mau, atau eksplorasi berbagai jenis makanan yang akan masuk perut mereka. Pega yang sekarang masih berolahraga di bawah membuatku punya space waktu buat memasak makanan berat ala Indonesia Raya yang akan menghabiskan banyak nasi ini.
Masak apa yang gampang dan cepat? setelah kedatangan kang sayur yang ngetem di depan rumah aku punya ide untuk membuat urapan sayur dan ayam goreng yang yang seringnya ada di atas meja dibanding roti tawar atau selai coklat.
“Mbak Jingga suka urapan?” tanya Kang Asep tukang sayur komplek yang suka cerewet katanya biar pembeli senang.
“Iya, kenapa, Kang?” tanyaku balik.
“Iya. Enak, Mbak. Resep kalau lihat orang suka sayuran, gak daging-dagingan terus yang di makan.”
“Kang Asep suka juga kan dagangannya dibeli?”
“Suka atuh, Mbak.”
Aku hanya menggeleng saja. Tingkat kepo masyarakat Indonesia Raya memang sangat tinggi. Entah tetangga, saudara, netizen, bahkan tukang sayur saja ingin tahu makanan kesukaan orang. Mungkin biar dia bisa update status di wa grup atau sebagai bahan diskusi saat bertemu dengan pelanggan lain.
Setelah selesai masak dan menyiapkannya di meja. Aku memanggil Pega dan anak-anak untuk sarapan.
Di sinilah kami, di meja kecil yang muat hanya empat orang ini aku berniat ingin merealisasikan apa yang sudah aku rancang kemarin.
Kebetulan juga, Pega akan pulang telat malam ini karena mau presentasi ke calon kliennya.
"Yang, aku hari ini mau kerumah ibu sama anak-anak, boleh?" Tanyaku kepada Pega.
"Tumben, ada apa?" Dia balik nanya.
"Ya pengen aja berkunjung. Kan ibu kamu juga ibu aku juga. Kalau aku lagi kangen mama, emang aku boleh ke Bandung sendirian?"
"Ya aneh aja. Biasanya keringet dingin dulu pas mau ketemu. Ini, malah mau nyamper. Sendirian lagi. Siapa coba yang gak curiga?"
"Ya ampun, Yang. Gitu banget. Aku beneran kangen mama, jadinya pengen ke rumah ibu aja biar kangennya ilang. Boleh, ya?" Aku mengeluarkan kata memelas supaya dikasih ijin.
"Kamu beneran lagi gak ngerencanain apapun, 'kan?"
"Gak usah berlebihan deh. Timbang ke ibu doang. Kalau gak boleh ya udah tinggal bilang gak boleh."
"Iya boleh. Tapi, aku gak bisa anter."
"Gak papa."
"Jangan ngelakuin apapun yang kamu tahu sendiri akibatnya."
"Iya."
"Anak-anak diawasin beneran. Jangan sampai dilepas gitu aja. Rame lo ditempat ibu."
"Tenang."
"Gak usah ngomong hal yang kiranya bikin ibu marah atau gak mau jawab kamu."
"Siap."
"Jangan lupa bawa baju ganti punyaku, anak-anak, kamu juga. Takutnya aku kemaeman. Jaga-jaga kalau kita bakal nginep."
"Beres."
"Ow iya, nanti cek obat ibu. Apa aja keperluan rumah kalau habis beliin aja. Tapi, pas anak-anak lagi tidur aja. Biar ibu gak kesulitan harus ngawasin mereka."
"Serahin sama aku."
Pega sempat kebingungan, dia tidak biasa melihat istrinya itu girang sekali hanya karena dapat ijin buat ke rumah ibunya.
Dia tidak bisa membohongi dirinya kalau dia sangat bahagia. Dia gak mungkin mau melihat dua wanita yang sangat dicintainya itu terus bersitegang.
Sebenarnya dia tahu, Jingga bukanlah perempuan yang tidak bisa menyayangi ibunya. Dia sangat tahu kalau Jingga sangat menyayangi ibunya. Terkadang laptop yang dia gunakan untuk menulis belum ditutup. Dia sering membaca tulisannya yang memang kebanyakan ungkapan sayangnya kepada ibu.
Semoga ibu bisa sedikit memberi ruang untuk Jingga bisa melihat pembuktiannya.
.
Ada hari di mana keberanian terkumpul menjadi satu. Membentuk sebuah kekuatan untuk menemui penolakan.
Jingga berdiri di depan rumah yang di depannya sudah banyak rumput liar yang tumbuh, cat yang sedikit Sudah rusak, pagar yang sudah mengelupas menampilkan karat yang menganggu keindahan rumah ini.
Aku menarik napas dalam-dalam, mengatakan pada diriku bahwa ibu akan menerima kedatanganku, menyambutnya dengan hangat, dan kami akan ngobrol di beranda sore ini dengan secangkir teh hangat dan sepotong kue lapis kesukaan ibu yang aku tenteng dari runah.
"Bunda, nenek kemana? Kok gak dibuka-buka pintunya?"
"Mungkin ketiduran, sabar ya. Sebentar lagi pasti dibuka."
"Udah panas, Bunda."
"Iya, sabar dulu ya."
"Bu, assalamualaikum. Ini Jingga sama anak-anak, Bu."
Tidak lama kemudian, pintu rumah terbuka. Ibu muncul dengan daster warna merah yang aku tahu itu dibelikan Sandy waktu dia ke Bandung beberapa waktu lalu.
"Cucuku..." serunya sambil merentangkan tangannya.
Anak-anak langsung menghambur dan memeluknya seperti biasanya. Rumah ini memang terlihat usang dari luar. Tapi, ketika sudah masuk rumah ada banyak guci yang tersusun rapi. Keramik-keramik yang berlapis emas, juga barang-barang lain yang dibeli entah siapa karena setelah menikah dengan Pega semua barang sudah ada di sini.
"Ibu apakabar?" Ucapku saat sudah masuk ke dalam dalam.
"Baik. Di mana Pega?"
"Pega sudah berangkat, Bu."
"Ngapain kamu sendirian kesini?"
"Ada yang mau Jingga omongin, Bu."
"Ibu lagi masak puding. Kamu bisa lanjutin dulu."
"Baik, Bu." Jingga tidak bisa tidak tersenyum. Dia bahagia ibunya mah menyuruhnya melakukan pekerjaan rumah. Entah bagaimana, ini adalah pertama kalinya ibu menyuruhnya. Benar benar menyuruhnya.
Dia sedikit berdendang sambil mengaduk puding di atas panci.
"Bunda, baunya enak sekali," ucap Imba saat menghampirinya.
"Iya, kamu mau?"
"Mau, Imba suka puding."
"Iya?"
"Tapi lebih suka eskrim coklat."
"Kakak di mana, Dik?"
"Kakak lagi sama nenek di luar."
"Lagi apa mereka? kenapa Adik gak ikutan?”
“Lagi nonton Finn.”
“Memang nenek tahu?”
“Tahu.”
“Oh.”
“Bunda, kenapa masak itu lama banget?”
“Iya, ‘kan biar matang gak gampang basi.”
“Memang puding bisa basi, Bunda?”
“Bisa. Semua makanan bisa basi, Sayang. Apalagi ini ada santannya di dalam.”
“Santan?” teriak Ibu dari belakangku. Jantungku mulai berdetum tak beraturan.
“Iya, Bu.”
“Puding gak usah dikasih santan. Buat fla nya saja. puding kok dikasih santan! Katanya mau makan sehat? Dikasih santan ya sama saja gak sehat juga!”
“Maaf, Bu. Biar Jingga ganti ya?”
“Gak perlu! Masak puding saja gak becus, apalagi suruh masak yang susah-susah.”
Aku memejamkan mataku seolah ini adalah kesalahanku yang fatal, karena ini ibu jadi lebih marah denganku. Tuhan, kenapa sulit sekali menerobos hati ibu?
Akhirnya aku membuat puding yang baru dan membuat fla bermodalkan google. Aku memang tidak pandai banyak hal, tapi aku mau mencoba sampai ibu akan luluh denganku.
Ini memang lebih sulit dari yang kuharapkan, aku jadi ingat apa yang Pega katakan. Tapi, ini bukan hal buruk. Aku ingin memperbaiki hubunganku dengan ibu. Supaya lebih berkah dan bahagia kehidupanku dengan Pega. Aku tidak bisa terus berdiam diri seperti kemarin. Aku harus bisa bangkit untuk mendapatkan ibu. Aku berpikir ibu gak mungkin luluh kalau aku terus diam tidak melakukan rayuan apapun.
Ketika semua hal yang aku usahakan aku meyakini suatu saat akan berbuah manis. Yang aku tidak tahu hanya kapan waktu yang tepat itu akan datang kepadaku. Besok kah? Lusa? Bulan depan? Atau tahun depan? Bahkan mungkin sepuluh tahun lagi?
            Aku kira aku sudah melakukan hal baik. Tapi, dugaanku yang terlalu percaya diri ini belum sepenuhnya benar. Bahkan membuat semua yang dilakukan seakan ambyar tak bersisa.
Padahal mungkin ini menurut orang adalah hal yang mudah sekali, tapi aku melakukannya dengan sangat buruk.
Ah... apa yang aku bisa sekarang? Ide apa yang aku punya di sini?
“Bunda! Bundaaaa!!!” seru Netra sambil merengek. Aku segera menghapus air mataku.
“Iya. Ada apa, Kak?” aku mencoba menetralkan suaraku.
“Itu dedeknya, itu!”
“Kenapa?”
"Dia gak mau main sama aku.”
“Mungkin dia ingin main yang lain, kamu bisa ikutan main sama dedek?”
“Gak mau. Dia main sama nenek. Neneknya begitu-begitu, Kakak gak suka.”
“Begitu-begitu bagaimana?”
“Pokoknya Kakak gak mau!”
“Ya sudah, sini saja sama Bunda.”
“Bunda, pudingnya tadi sudah keras belum, ya?”
“Sudah kali, Kakak mau?”
“Mau.”
“Bunda ambilin, ya?”
Saat aku ingin beranjak, tiba-tiba hp ku berdering. Saat kuambil, trnyata telepon dari Kak Rosi.
“Ya Kak,” sapaku setelah menggeser tombol hijau.
“Kamu di mana? Mas Sanusi mau ketemu Pega.”
“Mau ngapain, Kak?”
“Kamu nya di mana? Aku bentar lagi jalan.”
“Aku di rumah ibu, Kak.”
“Hah?”
“Di rumah Ibu.”
“Sama Pega?”
“Pega belum jemput. Tadi bilang mau jemput, sih.”
“Ya sudah, aku ke situ.
“Kak, bawain makanan dong, Kak.”
“Memang gak masak?”
“Ibu belum makan dari tadi, aku takut dia gak suka masakanku.”
“Ya sudah, nanti aku bawain. Ayam bakar saja, ya?”
“Iya, apa saja. Makasih, Kak.”
“Iya.”
Sambungan aku putuskan setelah mejawab salam dari Kak Rosi. Aku pun gak tahu, kenapa tumbenan sekali Mas Sanusi ingin bertemu dengan Pega. Padahal aku yakin, kalau hal biasa, mereka gak akan banyak ngobrol hal basa-basi.
.
Pega sudah datang menjemputku untuk pulang, tapi Mas Sanusi sepertinya menyuruh kami untuk menginap saja. bukan dengan terang-terangan. Tapi, di ruangan ini sepertinya perdebatan antar iparku dan suamiku ini semakin malam semakin alot.
Aku hanya memakan kripik pisang dengan Kak Rosi sambil melihat adu urat di anatara mereka berdua. Ibu yang sepertinya lebih longgar untuk membiarkan Pega untuk mengambil keputusan. Tumben!
Kali ini aku berada di dalam ruangan yang entah sudah tiga jam yang lalu sangat alot di sini. Pega yang sedari tadi sudah mengacak-acak rambutnya karena dari tadi Mas Sanusi masih ngotot ingin ngelaporin Sentosa yang sudah nipu rental alat nya Pega.
“Mas, ini bukan masalah apa-apa. Aku males saja urusan sama polisi,”
“Ga, duit kamu itu gak sedikit. Itu kalau ditotalin bisa empat ratusan juta loh.”
“Gak guna juga lapor polisi, gak bakal balik juga uangnya.”
“Seenggaknya kamu kan usaha, bukan berdiam kaya gini.”
“Sudah lama juga, Mas. Udahlah!”
“Itu karena kamu gak cerita sama kita.”
“Gak papa, Mas. Mungkin bukan rejekinya, ‘kan?”
“Ga. Ini gak yang pertama loh. Ini sudah kesekian kalinya.”
“Ya namanya ditipu, aku juga gak mau kalau disuruh milih, Mas.”
Aku yang sedari tadi mendengarkan saja sudah panas kuping. Apalagi Pega yang berdebat sedari tadi. Aku yakin kalau aku yang diajak berdebat pasti sudah meledak.
Sekarang kami sedang ada di rumah Ibu. Ibu mengundang kami karena kakinya kumat lagi. Ibu memang punya sakit lutut yang kata dokter pengapuran.
 “Kenapa kalian berdebat terus. Ada banyak hal kan yang kita bisa syukuri dibandingkan kehilangan uang itu.”
“Tetap saja, Ma-“
“Udahlah, biarkan saja adikmu membuat keputusannya sendiri. Mereka pasti sudah memikirkan ini sebelum kita mengetahuinya.”
“Itu, Mas! Ibu saja gak papa. Bukannya aku gak sayang duit, Mas. Tapi, sepertinya memang bukan rejekiku. Mau bagaimana lagi? Aku juga sudah usaha sebenarnya buat ngobrol sama pihak Santosa.”
“Ga... Ga, mau sampai kapan kamu kaya gini terus?”
“Ya, Pega juga gak mau sebenarnya.”
“Kalau sampai kamu ditipu orang lagi, bukan kamu yang Mas push buat ngelaporin kasus kaya gini, tapi biar saja Jingga, kalau enggak malah Mas sendiri yang bakal ngelaporin.” Mas Sanusi bangkit dan keluar rumah. Kak Rosi yang sedari tadi ngemil sama aku, segera menyusul suaminya. Mungkin Kak Rosi bakalan menenangkan Mas Sanusi.
“Yang, mau minum?” tanyaku sambil mengikat rambutku.
“Boleh, anak-anak di mana?”
“Tidur.” Dia mengangguk sambil meminum airnyaa.”
“Kayaknya kita gak bakal bisa pulang. Sudah jam satu, kita tidur sini saja, ya?” katanya meminta persetujuanku.
“Masa kamu mau pulang? Sudah jam segini loh?” sela Ibu dengan nada sedikit tinggi, “memang Jingga kenapa gak mau tidur di rumah Ibu?”
“Bu, Jingga mau, kok!” kataku sambil menggerak-gerakkan tanganku tanda tidak setuju atas ucapan Ibu.
“Cepetan tidur! Pulang besok!” Ibu bangkit meninggalkan kami yang hanya menghela nafas bersama. Bytheway aku kan tadi belum menyetujui atau tidak menyetujui apa yang Pega katakan. Lihat! Betapa mengejutkannya ibuku?
Aku dan Pega masuk kamar, melihat anak-anak yang main dengan puas hari ini membuat sudut bibirku tertarik. Rasanya aku ingin sekali menyemai hati ibu biar tumbuh bunga-bunga di hatinya, biar dia bisa hapy bawaannya kalau ada aku.
“Kenapa?” tanya Pega sambil mengusap punggungku.
“Enggak.”
“Tadi bagaimana?”
“Menyenangkan sekali, memang kenapa?”
“Ibu-“
“Yang, aku ini mantunya, loh! Mau seperti apapun ibu, dia tetap ibu kamu dan memang kan orang tua selalu benar, ‘kan?”
“Jangan bohong!”
That’s all fun! Anak-anak main puas hari ini sama ibu.”
“Iya? Main apa?”
“Tadi ibu ngerajut begitu, terus mereka mainin benang. Tapi, ibu gak marah tauk!”
“Iya?”
“Hmmm...”
“Ya sudah, tidur yuk!”
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur, memunggungi Pega yang sudah mencoba menutup mata. Aku juga memejamkan mataku, berharap apa yang ibu lakukan hari ini aku bisa segera melupakan dan mengingat semua kebaikannya lalu membuatku tambah dan tambah menyayanginya tanpa tertinggal selipan kebencian di sana.


-----------------------

Stay safe semua, semoga pandemi segera berlalu :(

Tidak ada komentar:

Posting Komentar