Saat ini aku sedang duduk di beranda bersama kopi dan beberapa butir coklat
biskuit yang aku beli online.
Aku sedang merenungkan, kenapa sampai sekarang aku masih sering merasakan
takut ketika bertemu ibu mertuaku. Padahal ini sudah tahun ke tujuh
pernikahanku. Otomatis ini juga tahun ke tujuh aku mengenalnya.
Dari sekian hal yang kutakutkan. Sebenarnya ada satu ketakutan yang ini
memang aku merasakan sekali ketakutan yang melebihi orang pikirkan. Kamu tahu?
Orang tua itu ucapannya sangat manjur dan mujarab. Aku hanya takut karena aku
ibu sampai mengeluarkan kata yang tidak baik.
Walaupun sebenarnya banyak yang aku pikirkan ketika bertemu dengannya.
Seperti aku sangat takut mengobrol dengannya karena takut menyinggung perasaannya
sehingga aku membuat kesalahan yang membuat ibu lebih tidak menyukaiku.
Aku ingin sekali berkata jujur semua yang kupendam selama ini. tapi, ketika
aku mencoba memulainya, mulutku seakan terkunci, tubuhku serta merta bergetar,
dan ketakutan kembali mengurungku semakin erat.
Aku tidak pernah mengatakan ini kepada Pega. Aku gak mau dia berpikir aku
tidak menyukai ibunya, atau membuat dia kebingungan dengan posisinya.
Aku hanya ingin menjadi anak dan istri yang berbakti. Tapi, terkadang aku
merasa lelah memposisikan diriku. Memaafkan perkataan ibu yang sangat menyakiti
hatiku. Aku merasa apapun yang kulakukan tidak ada benar-benarnya di mata ibu.
Aku tahu Pega tahu tentang ini, tapi dia hanya tidak mau memulai obrolan
ini dan menyakiti hatiku. Aku mencintai Pega sepaket dengan apa yang ia punya.
Aku menyayangi ibu seperti aku sayang ibuku. Aku hanya mempunyai perasaan takut
berlebih atas ini.
Aku sebagai anak mantu yang gak begitu disayang mertua sudah mencoba merayu
secara lembut. Seperti mengiriminya uang atau makanan. Juga sesekali aku
membawakannya baju atau tas baru. Tetapi, seperti hanya angin lalu, itu semua
tidak mempan buatnya.
Aku merasa aku ini kenapa? Kenapa banyak sekali orang yang gak menyukaiku.
Atau aku punya selera humor yang buruk? Atau aku memang bukan tipe perempuan
anggun, cantik, lemah lembut, dan bening? Atau aku tidak mempunyai tubuh yang
langsing? Ideal layaknya model atau seperti Sandy atau Kak Rosi?
Ketika aku berpikir seperti ini, aku mulai tidak menyukai bentuk fisikku.
Aku mulai membenci diriku di layar ponselku. Aku mulai tidak bersyukur, kenapa
aku terlahir dengan tubuh seperti ini? kulit seperti ini? wajah seperti ini?
atau selera sosial yang rendah.
Aku sekarang mulai menyalahkan Tuhan sang pemberi apapun yang sekarang kumiliki. Kenapa banyak di antara manusia tidak bisa
menerima apapun yang orang lain miliki? Padahal semua itu juga sama-sama
pemberian Tuhan.
Entahlah, aku berpikir mereka seperti itu terhadapku. Walaupun entah mereka
sengaja atau tidak sengaja melakukannya. Tanpa mereka sadari mereka sudah
sering menyakiti orang-orang seperti diriku.
Ini bukan masalah, aku baper atau apa, tapi ini menyangkut kehidupan
selanjutnya. Orang seperti aku yang sudah berkali-kali menjadi bahan
olok-olokan teman-temanku merasa memunculkan rasa percaya diri sangat sulit.
Terkadang aku ingin berteriak kepada semua orang. Bahwa aku tidak mau
diperlakukan seperti itu. Tapi, semua tertelan hingga di ujung tenggorokan. Dan
yang dapat keluar hanyalah helaan nafas, dan bisikkan rendah dalam diriku bahwa
aku harus lebih bersabar. Lebih menguatkan hati untuk terus melangkah maju
sebagai pembuktian bahwa aku bukan lagi sebuah bahan olok-olokkan kalian semua.
Tapi, terkadang tanpa disadari yang menjadikanku bahan untuk target
bullying secara non verbal adalah orang-orang terdekatku sendiri. Orang yang
terang-terangan memalingkan wajahnya karena tidak akan percaya apapun yang akan
terlontar dari mulutku. Bahkan mereka melepehkan semua mimpi yang ku bangun dengan
susah payah dalam hatiku.
Aku menghargai apapun yang mereka pilih atau mereka katakan kepadaku. Tapi,
kenapa harus banyak orang dengan terang-terangan membuat percaya diriku merosot
ke dasar palung.
Aku memejamkan mataku seoalah menikmati sepoi-sepoi di sore hari. Padahal
aku sedang mati-matian menahan sesak dan air mata yang ingin sekali segera
keluar dan meluncur tanpa tahu situasi.
Ibu, kapan ibu bisa sayang sama aku selayaknya ibu sayang mantu ibu yang
lain?
Kapan ibu akan memanggiku ‘nak’ lalu memelukku saat aku merasa lelah atau kesal
dengan Pega?
Kapan ibu akan menerima pemberianku dan mengucapkan terima kasih sambil
tersenyum?
Kapan ibu benar-benar menerimaku sebagai istri Pega yang seutuhnya?
Ibu, aku menyayangimu. Apakah ibu tidak pernah sedikitpun merasakan ini?
apakah ibu tidak pernah melihatku menderita karena sikap ibu yang selalu acuh
tak acuh? Apakah ibu tidak pernah merasakan betapa sedihnya aku saat ibu
menolak pertolonganku? Apakah ibu tidak melihat takutnya aku saat aku sedang
berhadapan dengan ibu? Padahal aku sangat ingin kita banyak ngobrol dengan teh
dan kacang di kursi taman sore hari.
Bu, aku hanya ingin ibu tahu. Aku ingin sekali dipeluk oleh mu, merasakan
kenyamanan dan kelembutan di setiap usapan di rambutku atau di punggungku.
Bu, apakah sulit untukmu bisa menerimaku sebagai seseorang yang ada di
hidupmu? Apakah seburuk itu keluargaku di matamu? Apakah aku ini serendah itu
di matamu? Apa tidak ada cara lagi untuk aku bisa diterima olehmu?
Bu, aku sangat takut kehilangan Pega. Sama seperti takutnya aku akan kehilanganmu
di saat ibu belum bisa menerimaku. Aku sangat takut kehilanganmu di saat aku
berada di titik lelah meminta maaf kepadamu dari kesalahan yang aku sendiri
tidak tahu apa.
Bu, tolong katakan. Tolong katakan semua yang harus kuperbaiki. Katakan
semua sebelah mana yang harus ku ubah. Apa saja yang mesti kulakukan agar
membuatmu nyaman dan akhirnya ibu bisa menerimaku.
Bu, aku cukup tahu diri. Aku bukan orang nyaris sempurna yang bisa membuat
semua orang senang. Tapi, Bu. Aku cukup tangguh untuk berusaha dan melakukan
segala hal yang ibu minta. Tentu saja kecuali kehilangan Pega.
Bu, tolong jangan jadikan aku sebagai seseorang yang membuatmu tidak
bahagia. Jangan jadikan aku sebagai alasan untukmu marah. Jangan jadikan aku
sebagai alasan di banyak masalah yang datang.
Bu, akupun gak mau menjadi seperti itu. Akupun juga gak mau anak
laki-lakimu itu sedih, kecewa, marah, bahkan masalah yang datang kepadanya,
akupun tidak suka.
Bu, anakmu akan tetap menjadi anak laki-laki kesayanganmu. Anakmu akan
memanjakanmu lebih dari yang kau bayangkan. Anakmu itu akan tetap menjadikanmu
nomor satu sampai kapanpun.
Tapi, Bu. Jangan memberinya pilihan untuk memilih ibu atau diriku. Karena
itu akan memberatkannya. Ibu adalah seseorang yang karenamu dia ada, karenamu
dia seperti sekarang, dan karenamu dia juga menemukanku.
Aku tidak akan rakus sampai membuat anakmu menjauh darimu. Aku gak sejahat
itu, Bu. Tapi, jika dia tetap mempertahankan aku sebagai bagian dari hidupnya.
Aku minta tolong, jangan melarangnya lagi.
Bu, bagaimana kalau kita membuat kesepakatan untuk saling mengenal, saling
berbicara, saling mendengarkan. Mungkin ibu belum mengenalku lebih jauh.
Mungkin selama ini, ibu hanya belum memberi kesempatan kepada mata dan hati
untuk melihatku lebih luas lagi.
Rasanya ingin sekali memuntahkan apapun yang terpendam. Ingin sekali di
depan ibu aku melontarkan segala hal yang kusembunyikan dari semua orang. Tapi,
lagi-lagi itu akan terkubur jauh di palung hati.
Kenapa berbicara sesulit ini? kenapa ingin mendengarkan jawaban atas semua
pertanyaanku selama ini sangat sulit?
Aku hanya ingin ibu tahu dan tidak lagi membenciku. Apa ini satu dari
banyak hal yang akan kuperjuangkan untuk kumiliki.
Ini bukan masalah aku akan berhasil atau gagal di akhir cerita. Ini adalah masalah
aku mau berjuang atau tidak. Mau berusaha lebih keras lagi atau tidak. Mau
lebih bersabar lagi atau tidak.
.
Aku masuk ke dalam rumah mengambil
laptop tersayangku yang sudah enam tahun terakhir menjadi temanku. Rasanya aku
belum lega kalau belum bercerita dengannya.
Aku menuliskannya dengan jujur.
Menerawang semua kebaikan ibu agar tidak ada benci yang tumbuh di hatiku.
Mengemasnya dengan diksi terbaik agar aku puas saat membacanya ulang. Bukankah
ini juga dinamakan menikmati kesakitan?
Aku harus melegakan setiap saat
sesak tentang ibu datang. Aku harus mengontrol perasaanku. Bukan sebaliknya.
Aku harus bisa punya mental kuat, dan tidak gampang sakit hati. Aku harus bisa
menyalurkan kesenanganku demi mengurangi air mata yang aku yakin mau tidak mau
akan keluar juga. Aku harus bisa tegar untuk mendampingi Pega. Bukankah aku
sudah bilang. Sabar itu sudah ada di kamus besar mencintai Pega?
Berada di samping Pega memang tidak
mudah. Kehidupanku seperti roller coaster, naik turun cepat lambat, semua aku
rasakan. Yang aku yakini, selama Pega masih di sampingku, support, dan terus
menemaniku saat aku tidak butuh orang lain selain dirinya, aku akan maju paling
depan untuk membuktikannya.
------------------------
Aku mencintaimu, juga mencintai diriku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar