Jumat, 03 April 2020

Bab 17 || Berdamai dengan diri sendiri

Saat ini aku sedang duduk di beranda bersama kopi dan beberapa butir coklat biskuit yang aku beli online.
Aku sedang merenungkan, kenapa sampai sekarang aku masih sering merasakan takut ketika bertemu ibu mertuaku. Padahal ini sudah tahun ke tujuh pernikahanku. Otomatis ini juga tahun ke tujuh aku mengenalnya.
Dari sekian hal yang kutakutkan. Sebenarnya ada satu ketakutan yang ini memang aku merasakan sekali ketakutan yang melebihi orang pikirkan. Kamu tahu? Orang tua itu ucapannya sangat manjur dan mujarab. Aku hanya takut karena aku ibu sampai mengeluarkan kata yang tidak baik.
Walaupun sebenarnya banyak yang aku pikirkan ketika bertemu dengannya. Seperti aku sangat takut mengobrol dengannya karena takut menyinggung perasaannya sehingga aku membuat kesalahan yang membuat ibu lebih tidak menyukaiku.
Aku ingin sekali berkata jujur semua yang kupendam selama ini. tapi, ketika aku mencoba memulainya, mulutku seakan terkunci, tubuhku serta merta bergetar, dan ketakutan kembali mengurungku semakin erat.
Aku tidak pernah mengatakan ini kepada Pega. Aku gak mau dia berpikir aku tidak menyukai ibunya, atau membuat dia kebingungan dengan posisinya.
Aku hanya ingin menjadi anak dan istri yang berbakti. Tapi, terkadang aku merasa lelah memposisikan diriku. Memaafkan perkataan ibu yang sangat menyakiti hatiku. Aku merasa apapun yang kulakukan tidak ada benar-benarnya di mata ibu.
Aku tahu Pega tahu tentang ini, tapi dia hanya tidak mau memulai obrolan ini dan menyakiti hatiku. Aku mencintai Pega sepaket dengan apa yang ia punya. Aku menyayangi ibu seperti aku sayang ibuku. Aku hanya mempunyai perasaan takut berlebih atas ini.
Aku sebagai anak mantu yang gak begitu disayang mertua sudah mencoba merayu secara lembut. Seperti mengiriminya uang atau makanan. Juga sesekali aku membawakannya baju atau tas baru. Tetapi, seperti hanya angin lalu, itu semua tidak mempan buatnya.
Aku merasa aku ini kenapa? Kenapa banyak sekali orang yang gak menyukaiku. Atau aku punya selera humor yang buruk? Atau aku memang bukan tipe perempuan anggun, cantik, lemah lembut, dan bening? Atau aku tidak mempunyai tubuh yang langsing? Ideal layaknya model atau seperti Sandy atau Kak Rosi?
Ketika aku berpikir seperti ini, aku mulai tidak menyukai bentuk fisikku. Aku mulai membenci diriku di layar ponselku. Aku mulai tidak bersyukur, kenapa aku terlahir dengan tubuh seperti ini? kulit seperti ini? wajah seperti ini? atau selera sosial yang rendah.
Aku sekarang mulai menyalahkan Tuhan sang pemberi apapun yang sekarang kumiliki.  Kenapa banyak di antara manusia tidak bisa menerima apapun yang orang lain miliki? Padahal semua itu juga sama-sama pemberian Tuhan.
Entahlah, aku berpikir mereka seperti itu terhadapku. Walaupun entah mereka sengaja atau tidak sengaja melakukannya. Tanpa mereka sadari mereka sudah sering menyakiti orang-orang seperti diriku.
Ini bukan masalah, aku baper atau apa, tapi ini menyangkut kehidupan selanjutnya. Orang seperti aku yang sudah berkali-kali menjadi bahan olok-olokan teman-temanku merasa memunculkan rasa percaya diri sangat sulit.
Terkadang aku ingin berteriak kepada semua orang. Bahwa aku tidak mau diperlakukan seperti itu. Tapi, semua tertelan hingga di ujung tenggorokan. Dan yang dapat keluar hanyalah helaan nafas, dan bisikkan rendah dalam diriku bahwa aku harus lebih bersabar. Lebih menguatkan hati untuk terus melangkah maju sebagai pembuktian bahwa aku bukan lagi sebuah bahan olok-olokkan kalian semua.
Tapi, terkadang tanpa disadari yang menjadikanku bahan untuk target bullying secara non verbal adalah orang-orang terdekatku sendiri. Orang yang terang-terangan memalingkan wajahnya karena tidak akan percaya apapun yang akan terlontar dari mulutku. Bahkan mereka melepehkan semua mimpi yang ku bangun dengan susah payah dalam hatiku.
Aku menghargai apapun yang mereka pilih atau mereka katakan kepadaku. Tapi, kenapa harus banyak orang dengan terang-terangan membuat percaya diriku merosot ke dasar palung.
Aku memejamkan mataku seoalah menikmati sepoi-sepoi di sore hari. Padahal aku sedang mati-matian menahan sesak dan air mata yang ingin sekali segera keluar dan meluncur tanpa tahu situasi.
Ibu, kapan ibu bisa sayang sama aku selayaknya ibu sayang mantu ibu yang lain?
Kapan ibu akan memanggiku ‘nak’ lalu memelukku saat aku merasa lelah atau kesal dengan Pega?
Kapan ibu akan menerima pemberianku dan mengucapkan terima kasih sambil tersenyum?
Kapan ibu benar-benar menerimaku sebagai istri Pega yang seutuhnya?
Ibu, aku menyayangimu. Apakah ibu tidak pernah sedikitpun merasakan ini? apakah ibu tidak pernah melihatku menderita karena sikap ibu yang selalu acuh tak acuh? Apakah ibu tidak pernah merasakan betapa sedihnya aku saat ibu menolak pertolonganku? Apakah ibu tidak melihat takutnya aku saat aku sedang berhadapan dengan ibu? Padahal aku sangat ingin kita banyak ngobrol dengan teh dan kacang di kursi taman sore hari.
Bu, aku hanya ingin ibu tahu. Aku ingin sekali dipeluk oleh mu, merasakan kenyamanan dan kelembutan di setiap usapan di rambutku atau di punggungku.
Bu, apakah sulit untukmu bisa menerimaku sebagai seseorang yang ada di hidupmu? Apakah seburuk itu keluargaku di matamu? Apakah aku ini serendah itu di matamu? Apa tidak ada cara lagi untuk aku bisa diterima olehmu?
Bu, aku sangat takut kehilangan Pega. Sama seperti takutnya aku akan kehilanganmu di saat ibu belum bisa menerimaku. Aku sangat takut kehilanganmu di saat aku berada di titik lelah meminta maaf kepadamu dari kesalahan yang aku sendiri tidak tahu apa.
Bu, tolong katakan. Tolong katakan semua yang harus kuperbaiki. Katakan semua sebelah mana yang harus ku ubah. Apa saja yang mesti kulakukan agar membuatmu nyaman dan akhirnya ibu bisa menerimaku.
Bu, aku cukup tahu diri. Aku bukan orang nyaris sempurna yang bisa membuat semua orang senang. Tapi, Bu. Aku cukup tangguh untuk berusaha dan melakukan segala hal yang ibu minta. Tentu saja kecuali kehilangan Pega.
Bu, tolong jangan jadikan aku sebagai seseorang yang membuatmu tidak bahagia. Jangan jadikan aku sebagai alasan untukmu marah. Jangan jadikan aku sebagai alasan di banyak masalah yang datang.
Bu, akupun gak mau menjadi seperti itu. Akupun juga gak mau anak laki-lakimu itu sedih, kecewa, marah, bahkan masalah yang datang kepadanya, akupun tidak suka.
Bu, anakmu akan tetap menjadi anak laki-laki kesayanganmu. Anakmu akan memanjakanmu lebih dari yang kau bayangkan. Anakmu itu akan tetap menjadikanmu nomor satu sampai kapanpun.
Tapi, Bu. Jangan memberinya pilihan untuk memilih ibu atau diriku. Karena itu akan memberatkannya. Ibu adalah seseorang yang karenamu dia ada, karenamu dia seperti sekarang, dan karenamu dia juga menemukanku.
Aku tidak akan rakus sampai membuat anakmu menjauh darimu. Aku gak sejahat itu, Bu. Tapi, jika dia tetap mempertahankan aku sebagai bagian dari hidupnya. Aku minta tolong, jangan melarangnya lagi.
Bu, bagaimana kalau kita membuat kesepakatan untuk saling mengenal, saling berbicara, saling mendengarkan. Mungkin ibu belum mengenalku lebih jauh. Mungkin selama ini, ibu hanya belum memberi kesempatan kepada mata dan hati untuk melihatku lebih luas lagi.
Rasanya ingin sekali memuntahkan apapun yang terpendam. Ingin sekali di depan ibu aku melontarkan segala hal yang kusembunyikan dari semua orang. Tapi, lagi-lagi itu akan terkubur jauh di palung hati.
Kenapa berbicara sesulit ini? kenapa ingin mendengarkan jawaban atas semua pertanyaanku selama ini sangat sulit?
Aku hanya ingin ibu tahu dan tidak lagi membenciku. Apa ini satu dari banyak hal yang akan kuperjuangkan untuk kumiliki.
Ini bukan masalah aku akan berhasil atau gagal di akhir cerita. Ini adalah masalah aku mau berjuang atau tidak. Mau berusaha lebih keras lagi atau tidak. Mau lebih bersabar lagi atau tidak.
.
            Aku masuk ke dalam rumah mengambil laptop tersayangku yang sudah enam tahun terakhir menjadi temanku. Rasanya aku belum lega kalau belum bercerita dengannya.
            Aku menuliskannya dengan jujur. Menerawang semua kebaikan ibu agar tidak ada benci yang tumbuh di hatiku. Mengemasnya dengan diksi terbaik agar aku puas saat membacanya ulang. Bukankah ini juga dinamakan menikmati kesakitan?
            Aku harus melegakan setiap saat sesak tentang ibu datang. Aku harus mengontrol perasaanku. Bukan sebaliknya. Aku harus bisa punya mental kuat, dan tidak gampang sakit hati. Aku harus bisa menyalurkan kesenanganku demi mengurangi air mata yang aku yakin mau tidak mau akan keluar juga. Aku harus bisa tegar untuk mendampingi Pega. Bukankah aku sudah bilang. Sabar itu sudah ada di kamus besar mencintai Pega?
            Berada di samping Pega memang tidak mudah. Kehidupanku seperti roller coaster, naik turun cepat lambat, semua aku rasakan. Yang aku yakini, selama Pega masih di sampingku, support, dan terus menemaniku saat aku tidak butuh orang lain selain dirinya, aku akan maju paling depan untuk membuktikannya.

------------------------

Aku mencintaimu, juga mencintai diriku sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar