Jumat, 03 April 2020

Bab 16 || Red velvet


Hari ini adalah hari di mana aku dan anak-anak akan mengunjungi sebuah taman bermain di daerah Bintaro. Kami berencana akan main salju buatan yang ada di sana. Sebenarnya aku sangat excited untuk mengajak anak-anak naik Gondola. Kereta gantung itu sudah mirip banget sama yang ada di Jepang.
“Kakak, sudah belum?” tanyaku kepada Netra yang baru saja turun. Disusul Imba dari belakang.
“Sudah, Bund. Ayah mana?”
“Ayah kali ini gak ikut, sama Bunda saja gak papa ya?”
“Kenapa ayah gak ikut?”
“Ayah lagi ada banyak hal untuk diurus. Kali ini ayah gak ikut dulu, gak papa ya?”
“Oke, Bunda. Tapi, aku mau kue nanti kalau pulang.”
“Boleh, Yuk!”
Aku keluar dengan menggandeng kanan kiri Netra dan Imba untuk masuk mobil inline. Pasalnya sudah sedari tadi abangnya nungguin untuk kami berangkat. Kami bukan orang kaya raya yang mobilnya berjejer memenuhi jalan komplek. Tapi, sudah punya satu adalah satu kenikmatan dari Tuhan yang wajib untuk disyukuri.
Perjalanan dari rumah kami ke venue hanya sepuluh menit. Memang sangat dekat, karena tempat tinggal kami termasuk tempat strategis yang ada banyak tempat menyenangkan untuk bisa dikunjungi. Walaupun biaya hidup di sini sangat mahal. Tapi cukup menyenangkan tinggal di sini karena banyak hal yang aku suka dekat dengan rumah. Hehehe...
Setelah membayar tiket sebesar tiga ratus ribu rupiah, kami masuk. Dengan boot dan jaket tebal yang sudah kami siapkan dari rumah, ini adalah piknik menyenangkan tanpa membayar tiket ke Jepang.
“Kak, Dik, ini namanya salju.”
“Salju datangnya dari mana Bunda?
“Sebenarnya salju itu dari uap air sayang, sama kaya hujan biasa. Bedanya, karena temperatur suhunya terlalu dingin makanya uap air nya jadi beku.”
“Salju bisa dimakan enggak, Bunda?”
“Gak boleh di makan sayang, karena ada bakterinya.”
“Ini kan gak ada langitnya, kenapa saljunya bisa masuk, Bunda?”
“Ini itu salju asli sayang, dibuat pakai mesin khusus. Makanya disebut salju buatan, karena turunnya bukan dari langit.”
“Oww...”
“Asyik, ya. Dingin, kaya di luar negeri.”
“Bunda, kenapa di rumah gak pernah ada salju?
“Karena negara kita terletak di daerah khatulistiwa yang membuat kita punya iklim tropis. Yang hanya punya dua musim, musim hujan dan musim kemarau.
“Bunda, tropis itu apa?”
“Daerah di permukaan bumi yang secara georafis terletak di sekitar ekuator atau garis khatulistiwa tadi.
“Ow... Bumi itu bulat ya, Bunda?”
“Katanya, sih bulat. Dulu, ada seorang pelaut yang berlayar di satu arah dan setelah beberapa lama dia tiba di tempat pertama kali berlayar. Makanya bumi disebut bulat.”
“Kaya di buku Abid ya, Bunda?”
“Kalau di gambar memang bulat.”
“Bunda, kita ini keluarga ya, Bunda?” celetuk Imba yang keluar dari jalur obrolan kami.
“Tentu saja.”
“Kaya di buku Abid, ada ayah, bunda, Kak Hakim, juga ada Abid. Tapi, kenapa sekarang ayah gak ikut?”
“Ayah kan lagi kerja. Jadi, gak bisa ikut. Adik kenapa? Sedih?”
“Aku kangen Ayah.”
“Nanti kita juga ketemu.”
“Tapi, gak asyik kalau ayah gak ada.”
“Kan ada Kakak!” seru Netra lalu menarik Imba lempar-lemparan salju. Menyenangkan sekali melihat mereka, selalu mengingat ayahnya kalau ayahnya gak ikut kita main gini.
“Naik kereta gantung berani?” tanyaku kepada mereka saat aku sudah ada di dekatmya.
“Berani!” jawab mereka serentak.
“Aku mengantar mereka menuju stationnya, dan mengantri. Walaupun cukup banyak mengantri, tapi gak sebanyak hari-hari libur sekolah.
“Bunda akan tunggu di sini. Kamu sama Kakak naik duluan, ya?”
“Oke bunda!” jawab Imba semangat. Dulu, pas umurnya masih dua tahun, aku mengajak mereka ke Bandung. Pas di Maribaya mereka sangat semangat sekali naik flying fox. Dan aku rasa, naik kereta gantung berdua mereka sudah cukup berani.
Coba saja Pega ada, aku akan naik ini sama Pega. Dan akan menjadi pasangan paling bahagia sedunia.
.
Setelah dua jam kami keluar dari salju. Kami akan pergi mencari kue, karena anak-anak sangat suka kue. Sayangnya, aku gak pernah bisa membuatkannya untuk mereka.
“Mau kue apa?” tanyaku saat kami sudah menemukan store kue.
“Aku mau yang coklat itu,” ucap Imba menunjuk satu kue....
“Aku mau yang merah,” tunjuk Netra pada kue red velvet yang dipajang di etalase.
“Bunda mau yang mana?” celetuk Imba saat aku sedang memilih kue yang lain.
“Bunda bingung mau yang mana?” akhirnya aku mengambil empat krisan original dan coklat. Aku tahu, Pega sangat suka ini. setelah menaruh semua belanjaan kami, aku membayar dan mencari tempat duduk untuk mereka istirahat.
Saat seperti ini biasanya aku membawa tumbler sendiri dan jarang sekali kami makan di restoran barat. Karena lidah anak-anak sama banget sama lidahnya Pega. Gak akan suka makan makanan jepang atau makan makanan wastern begitu.
Aku memang membeli apa yang mereka pilih double, ini adalah caraku menghindari mereka berebut karena apa yang mereka makan berbeda. Saat Netra menggigit kue red velvet, pikiranku jadi melanglang ke lapisan yang di kue tersebut, kelihatan lembut, dan menyenangkan. Aku merasa Netra sangat bahagia hanya karena satu gigitan yang masuk mulutnya.
Melihat ke arah Imba, dia juga sangat bahagia hanya dengan menggigit satu kue coklat kesukaannya. Menikmatinya dan mensyukuri apa yang ia dapatkan.
Saat kue Netra habis, dia masih melihat ke arah Imba. Merayu adik kembarnya itu untuk memberikan satu gigitan kue coklatnya kepadanya. Dengan bersungut akhirnya Imba memberikannya juga. Dan alhasil jatah untuk Imba berkurang.
Bukankah ini semua seperti kehidupan?
Katanya kue yang berlapis merah itu ada maknanya. Tapi, menurutku red velvet itu kaya kehidupan nyata. Kenapa begitu? Kau tahu, gak ada yang benar-benar tahu bagaimana dia bermula. Gak ada yang benar-benar tahu bagaimana dia bisa booming di tengah cerita. Gak ada yang benar-benar tahu dia di masa depan. Tapi yang jelas, tujuannya adalah membuat yang memakannya bahagia, merasakan kelembutan teksturnya, dan membuat lidahnya menari-nari karena kelezatannya.
Bukannya kehidupan nyata juga akan seperti itu? Gak akan tahu apapun yang akan terjadi besok, detik selanjutnya. Yang pasti mereka harus punya satu tujuan bagaimana dia akan hidup. Bukankah kita terlahir untuk berbagi kebermanfaat? Seenggaknya membuat dirimu sendiri bahagia?
Tapi, terkadang manusia adalah makhluk yang aneh. Makhluk rakus yang tidak jarang masih melihat ke sekitarnya dan menginginkan punya orang lain. Padahal apa yang mereka dapatkan sesungguhnya lebih banyak dan lebih berharga dari apa yang orang lain punya.
Ah indahnya hidup dengan bersyukur, dan tetap berusaha menjadi lebih baik dan baik lagi tanpa ngerecokin orang lain.


-----------------

Love,
Rina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar