Jumat, 27 Maret 2020

Bab 15 || Sakit


Hari ini adalah hari di mana aku dan Pega harus bekerja keras, tahan melek juga harus sabar. Kenapa? Karena anak-anak kami sedang tidak sehat.
Anak kembar kami memang sering sakit. Setiap sakit kami memang sangat ketakutan. Pasalnya Netra kalau lagi sakit dia akan lemas dan tidur terus.
“Netra, Kakak mau apa sayang? Makan, ya?” bujukku sambil mengusap rambutnya lembut. “Kakak mau kue?” sambungku lagi, dan hanya dihadiahi dengan gelengan kepala saja.
“Bunda, Dedek mau makan ayam goreng kaya di tv!” pinta Imba tiba-tiba.
“Dedek mau makan? Bunda beliin tapi harus dimakan, ya?” tanyaku memastikan.
“Iya, Bunda.” Aku mengambil gawaiku dan memesan makanan di aplikasi online. Di saat seperti ini, rasanya aku tidak bergairah untuk sekedar memasak.
Pega yang masih tertidur, karena semalaman Kakak rewel dan hanya mau digendong Pega. Anak kembarku memang sangat dekat dengan Pega. Saat seperti ini yang akan lebih lelah adalah dia, bukan aku. Aku hanya membantu dia untuk mengambilkan apapun yang diminta anak-anak. Tapi, tetap saja kami begadang sama-sama.
Secangkir kopi yang sangat membantuku bisa melek sampai jam segini. Sungguh, tiap mereka sakit dalam sehari mungkin kami hanya tidur dua sampai tiga jam saja.
“Yang, kamu gak mau mandi dulu?” ucapku pada Pega sambil menepuk punggungnya.
“Nanti, Bund,” gumamnya dengan masih merem.
“Ya sudah.”
“Anak-anak mana?”
“Itu, lagi pada tiduran saja sambil lihat tv.”
“Sudah pada makan?”
“Aku lagi pesan, adik minta ayam goreng katanya.”
“Kasih bubur saja.”
“Mereka kan gak doyan bubur, Yank.”
“Ya sudah, aku mau mandi dulu.” Pega bangkit dari tidurnya, bukannya langsung ke kamar mandi, dia malah melipir ke kasur anaknya dan memeluk Netra yang yang wajahnya masih merah karena panas. Dengan ditempel baby vever kami berharap panasnya akan segera turun.
“Kakak, cepet sembuh dong!” kata Pega di dekat telinga anaknya. “Nanti kalau sudah sembuh kita beli donat. Mau rasa apa? Coklat, keju, green tea, atau mocca?” sambungnya lagi. Yang ditanya hanya diam saja tanpa memperdulikan ucapan Pega.
“Adik mau yang coklat sama strawberry, Ayah,” sahut Imba pelan.
Kalau Imba memang dia lebih mau ngomong saat sakit daripada Netra. Bukan memandingkan, tapi, memang mereka itu punya sesuatu yang lain. Bukannya kembar, langsung sama semua.
“Boleh, Adik cepetan sembuh, ya?”
“Aku mau makan kalau sakit.”
“Anak baik. Biar cepet smebuh, ya?”
“Iya. Aku gak mau minum obat terus. Kata Bunda obatnya strawberry, tapi pas diminum pahit banget, Ya. Adik gak mau obat pahit.”
“Makanya adik juga jangan sakit. Yang kuat, yang sehat.”
“Aku kuat! Aku kan bisa lawan monsternya.”
“Iya? Wah... hebat anak Ayah.”
“Iya dong!”
“Nanti makan, ya?”
“Aku mau ayam goreng.”
“Bunda sudah pesan. Sabar, ya?”
“Ayah mau ngapain?”
“Mau mandi.”
“Ayah, jangan kerja, ya!”
“Kenapa gak boleh kerja?”
“Aku mau gendong Ayah. Aku gak mau Ayah gendong Kakak terus.”
Sontak Pega dan aku saling menatap. Beginilah kalau punya anak kembar. Walaupun kami tidak pernah membedakan di antara mereka, ternyata mereka sudah bisa berpikir akan sebuah keadilan yang menurut pemikiran mereka. Pega semalam memang sama Netra terus, karena Netra nangis terus gak mau kugendong atau gantian sama adiknnya.
Melihat mereka sakit adalah mendatangkan kekhawatiran yang berlipat-lipat. Walaupun kita gak langsung ke dokter, tapi tetap saja. Apa yang kita kasih ke anak-anak atas rekomendasi seorang dokter anak bernama dokter Yanti.
Dulu, kami sempat pindah-pindah dokter karena anak-anak gak sembuh-sembuh. Bukan karena kami mengandalkan mereka, tapi, kami yakin Allah belum mempertemukan kami kepada dokter yang memang belum pas saja.
Bel rumah kami berbunyi, aku yakin itu dari abang ojol yang mengantar pesanan ayam gorengku.
Aku segera turun untuk menemui bapak yang ngantar makanan kami. Sekilas aku melihat ke arahnya. Mungkin umurnya sudah enam puluh tahunan, kulitnya hitam legam, peluh mengalir di pipi, juga lingkar hitam di sekitar mata. Aku jadi teringat papa yang sekarang masih masa recovery karena sakit kemarin.
“Terima kasih ya, Pak,” ucapku kepada Pak Jamawi nama yang ada di aplikasi.
“Sama-sama, Bu. Jangan lupa bintang limanya, Bu,” ucapnya sambil tersenyum senang. Aku memang menambahkan tip di pembayaran non tunai.
Sesederhana itu seorang driver ojek online memberikan senyum tulusnya. Aku jadi teringat kasus kemarin di rentalan suamiku. Walaupun kami sudah ikhlas akan itu, tapi betapa aku merasa dzolim akan nikmat yang sudah selama ini aku dapatkan. Kami sangat tidak kekurangan, dan bisa makan enak tanpa perlu keluar rumah.
Ya Allah... rasanya malu sekali.
Tidak sadar aku berdiri di depan pintu terlalu lama, bahkan aku tidak merasa menangis tapi, air mataku sudah luruh tanpa bisa dicegah.
“Bund,” ucap Pega membuyarkan lamunanku.
“Ya,” jawabku gugup sambil mengusap air mataku.
“Kenapa?”
“Enggak kenapa-kenapa, yuk!”
“Beli berapa?”
“Empat.”
“Iya.”
Pega naik lagi ke atas. Sedangkan aku masih di bawah untuk menyiapkan makan untuk dimakan di kamar. Ya beginilah kami, anak sakit semua aktivitas yang kita lakukan sama-sama seperti makan atau Pega yang mengerjakan apa yang aku gak tahu, atau aku menulis blog di waktu anak-anak tidur semua dilakukan di kamar. Karen selain khawatir kalau anak-anak mencari atau tiba-tiba nangis. Bahkan seringnya aku tidak masak atau tidak melakukan banyak hal yang menyita banyak waktu demi merawat anak-anak yang lagi sakit.
Aku rasa semua ibu di dunia ini punya cara mereka sendiri untuk merawat anak-anak mereka. Memang gak ada pakemnya, tapi semua hal yang mereka lakukan adalah yang terbaik untuk anak dan keluarga mereka.
Ah, jadi ibu memang semenyenangkan ini. Aku bahkan bisa menulis banyak hal di blog ku, atau menulis draft novelku. Tahu, kan? aku memang gak mudah untuk bercerita.
Menulis memang satu dari banyak hal yang aku tidak akan bosan. Walaupun aku seorang yang biasa-biasa saja. Aku bahkan tidak banyak hal yang aku kuasai, tapi mungkin aku bisa mencoba banyak hal di sini.
Pega tidak pernah melarang hobiku ini, dia hanya mengingatkan untuk tidak tidur terlalu malam. Wajar, sih. Karena kalau kesiangan dia gak dapat sarapan nasi.
Just I think.
Aku membawa nampan berisi nasi, lauk, lalapan, sambal, piring kosong yang aku tumpuk-tumpuk biar gak bolak-balik naik turun tangga.
“Makanan datang!” seruku saat aku masuk kamar.
“Waw ayam goreng. Baunya enak, Bunda,” ujar Imba sambil berusaha duduk. Netra yang masih lemas juga berusaha untuk duduk. Aku tahu mereka lapar, walaupun mungkin mulutnya pahit, mereka akan maksa untuk masuk makanan walaupun hanya beberapa sendok saja.
Mereka anakku, aku tahu mereka juga sedang berusaha sembuh. Bahkan Imba sering protes kalau waktunya minum obat. Mungkin mereka bosan karena seringnya minum obat.
“Eh, ada daun jambu,” ucap Pega tiba-tiba.
“Iya, itu kan sudah kemarin lupa ngeluarin dari kulkas,” jawabku sambil masih menyuapi Imba. Sedangkan Pega menyuapi Netra.
Ah, betapa beruntungnya aku.
Hari ini adalah hari di mana aku dan Pega harus bekerja keras, tahan melek juga harus sabar. Kenapa? Karena anak-anak kami sedang tidak sehat.
Anak kembar kami memang sering sakit. Setiap sakit kami memang sangat ketakutan. Pasalnya Netra kalau lagi sakit dia akan lemas dan tidur terus.
“Netra, Kakak mau apa sayang? Makan, ya?” bujukku sambil mengusap rambutnya lembut. “Kakak mau kue?” sambungku lagi, dan hanya dihadiahi dengan gelengan kepala saja.
“Bunda, Dedek mau makan ayam goreng kaya di tv!” pinta Imba tiba-tiba.
“Dedek mau makan? Bunda beliin tapi harus dimakan, ya?” tanyaku memastikan.
“Iya, Bunda.” Aku mengambil gawaiku dan memesan makanan di aplikasi online. Di saat seperti ini, rasanya aku tidak bergairah untuk sekedar memasak.
Pega yang masih tertidur, karena semalaman Kakak rewel dan hanya mau digendong Pega. Anak kembarku memang sangat dekat dengan Pega. Saat seperti ini yang akan lebih lelah adalah dia, bukan aku. Aku hanya membantu dia untuk mengambilkan apapun yang diminta anak-anak. Tapi, tetap saja kami begadang sama-sama.
Secangkir kopi yang sangat membantuku bisa melek sampai jam segini. Sungguh, tiap mereka sakit dalam sehari mungkin kami hanya tidur dua sampai tiga jam saja.
“Yang, kamu gak mau mandi dulu?” ucapku pada Pega sambil menepuk punggungnya.
“Nanti, Bund,” gumamnya dengan masih merem.
“Ya sudah.”
“Anak-anak mana?”
“Itu, lagi pada tiduran saja sambil lihat tv.”
“Sudah pada makan?”
“Aku lagi pesan, adik minta ayam goreng katanya.”
“Kasih bubur saja.”
“Mereka kan gak doyan bubur, Yank.”
“Ya sudah, aku mau mandi dulu.” Pega bangkit dari tidurnya, bukannya langsung ke kamar mandi, dia malah melipir ke kasur anaknya dan memeluk Netra yang yang wajahnya masih merah karena panas. Dengan ditempel baby vever kami berharap panasnya akan segera turun.
“Kakak, cepet sembuh dong!” kata Pega di dekat telinga anaknya. “Nanti kalau sudah sembuh kita beli donat. Mau rasa apa? Coklat, keju, green tea, atau mocca?” sambungnya lagi. Yang ditanya hanya diam saja tanpa memperdulikan ucapan Pega.
“Adik mau yang coklat sama strawberry, Ayah,” sahut Imba pelan.
Kalau Imba memang dia lebih mau ngomong saat sakit daripada Netra. Bukan memandingkan, tapi, memang mereka itu punya sesuatu yang lain. Bukannya kembar, langsung sama semua.
“Boleh, Adik cepetan sembuh, ya?”
“Aku mau makan kalau sakit.”
“Anak baik. Biar cepet smebuh, ya?”
“Iya. Aku gak mau minum obat terus. Kata Bunda obatnya strawberry, tapi pas diminum pahit banget, Ya. Adik gak mau obat pahit.”
“Makanya adik juga jangan sakit. Yang kuat, yang sehat.”
“Aku kuat! Aku kan bisa lawan monsternya.”
“Iya? Wah... hebat anak Ayah.”
“Iya dong!”
“Nanti makan, ya?”
“Aku mau ayam goreng.”
“Bunda sudah pesan. Sabar, ya?”
“Ayah mau ngapain?”
“Mau mandi.”
“Ayah, jangan kerja, ya!”
“Kenapa gak boleh kerja?”
“Aku mau gendong Ayah. Aku gak mau Ayah gendong Kakak terus.”
Sontak Pega dan aku saling menatap. Beginilah kalau punya anak kembar. Walaupun kami tidak pernah membedakan di antara mereka, ternyata mereka sudah bisa berpikir akan sebuah keadilan yang menurut pemikiran mereka. Pega semalam memang sama Netra terus, karena Netra nangis terus gak mau kugendong atau gantian sama adiknnya.
Melihat mereka sakit adalah mendatangkan kekhawatiran yang berlipat-lipat. Walaupun kita gak langsung ke dokter, tapi tetap saja. Apa yang kita kasih ke anak-anak atas rekomendasi seorang dokter anak bernama dokter Yanti.
Dulu, kami sempat pindah-pindah dokter karena anak-anak gak sembuh-sembuh. Bukan karena kami mengandalkan mereka, tapi, kami yakin Allah belum mempertemukan kami kepada dokter yang memang belum pas saja.
Bel rumah kami berbunyi, aku yakin itu dari abang ojol yang mengantar pesanan ayam gorengku.
Aku segera turun untuk menemui bapak yang ngantar makanan kami. Sekilas aku melihat ke arahnya. Mungkin umurnya sudah enam puluh tahunan, kulitnya hitam legam, peluh mengalir di pipi, juga lingkar hitam di sekitar mata. Aku jadi teringat papa yang sekarang masih masa recovery karena sakit kemarin.
“Terima kasih ya, Pak,” ucapku kepada Pak Jamawi nama yang ada di aplikasi.
“Sama-sama, Bu. Jangan lupa bintang limanya, Bu,” ucapnya sambil tersenyum senang. Aku memang menambahkan tip di pembayaran non tunai.
Sesederhana itu seorang driver ojek online memberikan senyum tulusnya. Aku jadi teringat kasus kemarin di rentalan suamiku. Walaupun kami sudah ikhlas akan itu, tapi betapa aku merasa dzolim akan nikmat yang sudah selama ini aku dapatkan. Kami sangat tidak kekurangan, dan bisa makan enak tanpa perlu keluar rumah.
Ya Allah... rasanya malu sekali.
Tidak sadar aku berdiri di depan pintu terlalu lama, bahkan aku tidak merasa menangis tapi, air mataku sudah luruh tanpa bisa dicegah.
“Bund,” ucap Pega membuyarkan lamunanku.
“Ya,” jawabku gugup sambil mengusap air mataku.
“Kenapa?”
“Enggak kenapa-kenapa, yuk!”
“Beli berapa?”
“Empat.”
“Iya.”
Pega naik lagi ke atas. Sedangkan aku masih di bawah untuk menyiapkan makan untuk dimakan di kamar. Ya beginilah kami, anak sakit semua aktivitas yang kita lakukan sama-sama seperti makan atau Pega yang mengerjakan apa yang aku gak tahu, atau aku menulis blog di waktu anak-anak tidur semua dilakukan di kamar. Karen selain khawatir kalau anak-anak mencari atau tiba-tiba nangis. Bahkan seringnya aku tidak masak atau tidak melakukan banyak hal yang menyita banyak waktu demi merawat anak-anak yang lagi sakit.
Aku rasa semua ibu di dunia ini punya cara mereka sendiri untuk merawat anak-anak mereka. Memang gak ada pakemnya, tapi semua hal yang mereka lakukan adalah yang terbaik untuk anak dan keluarga mereka.
Ah, jadi ibu memang semenyenangkan ini. Aku bahkan bisa menulis banyak hal di blog ku, atau menulis draft novelku. Tahu, kan? aku memang gak mudah untuk bercerita.
Menulis memang satu dari banyak hal yang aku tidak akan bosan. Walaupun aku seorang yang biasa-biasa saja. Aku bahkan tidak banyak hal yang aku kuasai, tapi mungkin aku bisa mencoba banyak hal di sini.
Pega tidak pernah melarang hobiku ini, dia hanya mengingatkan untuk tidak tidur terlalu malam. Wajar, sih. Karena kalau kesiangan dia gak dapat sarapan nasi.
Just I think.
Aku membawa nampan berisi nasi, lauk, lalapan, sambal, piring kosong yang aku tumpuk-tumpuk biar gak bolak-balik naik turun tangga.
“Makanan datang!” seruku saat aku masuk kamar.
“Waw ayam goreng. Baunya enak, Bunda,” ujar Imba sambil berusaha duduk. Netra yang masih lemas juga berusaha untuk duduk. Aku tahu mereka lapar, walaupun mungkin mulutnya pahit, mereka akan maksa untuk masuk makanan walaupun hanya beberapa sendok saja.
Mereka anakku, aku tahu mereka juga sedang berusaha sembuh. Bahkan Imba sering protes kalau waktunya minum obat. Mungkin mereka bosan karena seringnya minum obat.
“Eh, ada daun jambu,” ucap Pega tiba-tiba.
“Iya, itu kan sudah kemarin lupa ngeluarin dari kulkas,” jawabku sambil masih menyuapi Imba. Sedangkan Pega menyuapi Netra.
Ah, betapa beruntungnya aku.



---------------------

Satu keberuntungan yang kudapatkan dan merasa ini adalah keberuntungan yang tidak bisa  orang rasakan adalah hidup dengan kalian ber tiga. 
#DiRumahAja 
Love,
Rina Setyaningsih
--------------------

Minggu, 22 Maret 2020

Bab 14 || Rumah sakit


Setiap manusia pasti punya titik di mana mereka jenuh dengan keadaan. Mau dia kaya raya atau miskin sekali, mereka akan melihat banyak hal di depannya sangat membosankan. Walaupun sudah berpikir bahwa ia akan menemukan semua sesuai usahanya, sesuai apa yang diharapkan, sesuai apa yang dia rencanakan. Tapi, ternyata banyak takdir yang membuat banyak manusia malah berpikir kenapa semua tidak sesuai dengan yang dia tulis di list pencapaian.
Walaupun dia sudah berpikir bahwa semua yang dia usahakan harusnya sudah ia capai dengan baik, minim kesalahan, minim hambatan, dan kemungkinanan gagalnya sangat sedikit.
Tapi, nyatanya yang ia temukan adalah sebuah kemungkinan kecil yang ia pikir tidak akan menemui itu karena usahanya sudah mati-matian. Mereka kira mereka semua akan masuk ke dalam hal sebenarnya sudah ia prediksi untuk mendapatkannya.
Tapi, Tuhan punya banyak rencana yang menakjubkan. Kita memang diciptakan olehnya untuk nurut saja apa yang menjadi ketentuannya. Lagi-lagi siapa kita? Mampu mendahului apa yang Tuhan sudah gariskan bahkan saat kita mau diciptakan.
Tetapi, untuk banyak hal memang kita butuh memperjuangkan untuk mendapatkan apa yang sudah kita inginkan. Mungkin yang lebih baik adalah, kita usahakan dulu semua hal baru terserah Tuhan saja yang memberikan hasilnya. Karena sungguh, kita tidak punya sedikitpun kemampuan untuk hal itu.
Seperti saat ini, aku berencana untuk tidak menginap di Bandung. Tapi, dari subuh aku berangkat jalanan sangat macet sekali. Bahkan sekarang sudah jam dua siang, tapi belum juga sampai karena memang sangat padat. Serasa ingin berlari daripada mengendarai mobil.
Dari tadi bahkan Jingga sudah menelepon puluhan kali menanyakan bagaimana keadaan papanya. Sedangkan aku masih di sini menunggu keberuntungan jalanan yang tadi sempat tidak bergerak sama sekali. Setelah jam setengah empat sore aku baru tiba di rumah sakit.
Keadaan papa memang sudah membaik. Tapi, ada raut yang sulit dijelaskan. Aku gak tahu, seperti ada yang mau papa bicarakan denganku. Aku bahkan tidak tahu seperti apa tatapan dari papa ini.
“Papa, assalamualaikum,” ucapku saat papa menatapku. Aku meraih tangannya dan mengecupnya pelan. Aku hanya sebentar merasakan punya ayah. Sejak kecil ayah sudah meninggal, aku hanya diasuh oleh ibu. Aku bahkan lupa rasanya pelukannya atau hal-hal yang sering kami lakukan bersama.
Aku hanya ingat kalau ayah pernah mengajakku ke kebun binatang sama Kak Rosi. Itu juga aku masih kecil. Aku juga ingat pernah disuruh berantem sama Toni temanku saat SD dan itu adalah anak teman ayah. Atau dikasih uang jajan pas sekolah, di saat teman-temanku tidak mendapatkannya.
Ah... aku rindu sekali dengan ayahku.
“Ega...” ucap papa lirih. Papa, mama mertuaku ini memang memanggilku dengan sebutan ini. “Terima kasih sudah mau datang.”
“Iya, Pa. Aga gak saya ijinin kesini karena anak-anak kan gak boleh masuk rumah sakit. Kalau mesti di rumah bakalan repot. Gak papa ya, Pa. Ega yang kesini.”
“Gak papa, Papa seneng kamu datang.”
“Papa cepet sembuh. Aga khawatir banget, dia gak berenti-berenti nangis. Nanti kalau papa sudah pulang, Ega akan ajak mereka mengunjungi Papa.”
“Iya.”
“Papa perlu sesuatu?”
“Mamamu mana?”
“Tadi mama bilang mau beli makan dulu.”
“Papa mau bicara sama kamu, Ga.”
“Ada apa, Pa?”
“Apa kamu tahu Dimas di mana?”
“Mas Dimas?”
“Sebelum Papa masuk rumah sakit, Papa berantem sama Dimas. Papa gak sengaja lihat dia sama seorang perempuan lain lagi. Papa gak tahu mesti bagaimana lagi buat ngasih tahu dia. Dia pergi begitu saja dari rumah. Papa sempat bersitegang dengan mama mu karena Dimas. Tapi, papa juga khawatir kalau dia ngelakuin banyak hal diluar batas.”
“Ega gak tahu mereka di mana, Pa.”
“Apa istrimu gak cerita sesuatu?” dia teringat lagi bagaimana istrinya tadi malam. Dia yang gelisah karena hal yang aku tidak tahu. Apa mungkin dia tahu Mas Dimas di mana, tapi dia gak mau cerita ke aku, ya?
“Aga belum cerita apapun, Pa.”
“Ga, kamu bisa bantu Papa?”
“Iya, Pa. Bantu apa?”
“Kamu cari tahu Dimas di mana? Papa hanya khawatir saja sama dia. Papa gak nyuruh dia pulang. Tapi, Papa ingin tahu saja dia di mana? Kamu mau?”
Aku gak langsung menjawabnya. Ini adalah bab di mana aku dan Jingga akan sering bertengkar hanya karena Mas Dimas. Bukan hanya papa mama saja yang sering dibuat kesal atau pusing karena dia. Tapi, bahkan Jingga dan Kak Wima juga sering bertengkar hanya karena Mas Dimas.
Aku paham, mereka adalah saudara. Tapi, menurutku selingkuh adalah habit yang kalau bukan mereka sendiri yang bertekad mau berubah gak akan bisa diubah banyak.
Tapi, sekarang apa? Papa sendiri yang memintaku mencari Mas Dimas. Walaupun aku sebenarnya malas sekali, tapi aku tetap saja menganggukkan kepalaku. Berharap Jingga mau jujur da mengatakan di mana Dimas agar pekerjaanku gak terlalu berat.
“Iya, Pa. Ega akan bantu cari.”
“Terima kasih ya, Ga.”
“Papa cepat sembuh, ya. Ega yakin Mas Dimas akan baik-baik saja.”
“Papa gak ngerti lagi mau bagaimana, Ga. Masmu itu kenapa sulit sekali diatur.”
“Yang penting sekarang, Papa sehat dulu. Gak usah mikir yang lain. Fokus sama kesehatan dulu. Ega yakin, Aga tahu Mas Dimas di mana. Jadi, Papa jangan khawatirin ini lagi, ya.”
“Terima kasih, Ga.”
“Papa mau apel? Ega kupasin, ya?”
“Boleh.”
Aku tersenyum ke arah papa. Di balik sifatnya yang diam, papa mertuaku ini adalah seorang yang sangat keras kepala. Juga banyak hal yang ia pendam sendiri. Ini membuatnya sesak napas kalau sedang memikirkan hal yang menyita pikirannya.
Aku belum pernah merwat papaku seperti ini. pada saat ayah sakit, aku masih duduk di bangku kelas tiga SD. Aku bahkan belum mengerti banyak hal saat itu. Sekarang, aku sedang mengupas apel untuk papa mertuaku. Walaupun dia bukan ayah kandungku, tapi aku sangat menyayanginya.
Hal sederhana dengan papa mengajakku ngobrol adalah hal yang sangat menyenangkan. Aku selalu merindukan hal ini, hal sederhana yang aku gak akan pernah bisa dapatkan dari ayah.
Papa memang baik. Karena itu mungkin Jingga sangat sayang sama papa. Aku bisa merasakan setulus apa dia kepada anak-anaknya.
“Ga, kamu makan dulu, ya!” pinta mama yang sudah ada di dalam, bahkan aku tidak menyadarinya kapan datangnya.
“Iya, Ma. Mama beli apa?” jawabku sambil mendekat.
“Mama beli ayam pop padang, tapi mama gak tahu kamu mau enggak?”
“Ega mau, Ma. Yang penting ada nasi Ega mau.”
Aku mengambil satu bungkusan nasi padang dengan ayam pop. Melihatnya saja sudah menggugah selera. Aku memang sangat lapar sekali, karena sedari pagi belum makan. Sekarang sudah pukul lima sore. Sudah terlalu terlambat untuk makan.
“Ga, ibumu apakabar?” tanya mama tiba-tiba.
“Ibu baik, Ma.”
“Syukurlah kalau baik-baik saja. Mama cuma khawatir dengan sikap Aga. Maafin dia ya kalau banyak hal yang salah. Aga baik, ‘kan sama ibumu?”
Ega khawatir kalau ibu malah yang gak bersikap baik dengan Jingga, Ma.
“Baik banget, Ma. Jangan khawatirin dia, Ma. Jingga baik sama semua keluarga Ega. Dia terlalu baik, Ma. Kadang Ega yang merasa belum mampu baik sama Jingga.”
“Dia memang sedikit berbeda dari kakak-kakaknya. Dia mau orang di sekitarnya tidak tahu apa yang sedang terjadi sama dia. Dia menjaga perasaan kami supaya kami tidak sedih. Banyak hal yang ia pendam sendiri, banyak hal yang sebenarnya Mama pun juga tidak tahu. Dia benar-benar tahu bagaimana kami, tapi kami jarang tahu bagaimana dia. Kamu harus lebih sabar memahami dia, ya.”
“Ega tahu, Ma.”
“Terima kasih ya, Nak. Sudah menjaga dia dengan baik.”
“Cerobohnya di rumah melebihi anaknya, tapi itu malah yang membuat rame rumah. Kalau malam suka nyalain lagu sambil dia nulis, itulah yang membuat rumah kami berbeda dari yang lain. Dia yang seringnya berdiam diri di pinggir kolam sambil baca buku, malah itu menjadi pemandangan yang indah buat kami di rumah. Banyak paket yang datang bukannya dia beli baju atau sepatu, dia malah beli banyak buku yang Ega menyentuhnya saja enggak. Saat ditanya, katanya supaya anak-anak rajin baca. Walaupun gak terlalu pintar, Ega suka Jingga sepaket dengan apapun yang ia miliki, Ma,”
“Jingga beruntung punya kamu.”
“Ega lebih beruntung dapat Jingga.”
Mama tersenyum memandangku, aku membalas senyum mama hangat. Aku tahu mereka sangat mengkhawatirkan kebahagiaan Jingga. Aku tahu, walaupun aku jarang mengungkapkan kebahagiaanku mendapatkan dia, tapi aku sangat merasa beruntung mendapatkan dia. Gadis kecil yang kutemukan gak sengaja, yang bisa berubah dengan banyak hal sampai bisa sedewasa sekarang dan mampu mendampingiku dengan baik.
Mengungkapan banyak hal kepadanya tentang perasaanku bukan hal yang sering kulakukan. Ini adalah salah satu dan banyak hal yang belum aku bisa lakukan dengan baik. Ini yang membuat istri kecilku itu ngambek. Ah, aku jadi merindukannya.
Tiba-tiba hpku berdering, ternyata dari seseorang yang sedari tadi jadi bahan bincang-bincang kami.
“Iya, Bund,” jawabku saat sambungan telpon kami terhubung.
“Bagaimana papa?” tanyanya dengan tidak sabaran.
“Papa sudah baikan, katanya besok sudah boleh pulang. Jangan khawatir berlebihan.”
“Ya bagaimana gak khawatir orang aku saja gak bisa tahu.”
“Kalau sudah di rumah kita ke Bandung, ya?”
“Beneran?”
“Iya, aku sudah ngomong sama papa mau ajak kamu kalau sudah di rumah.”
“Makasih.”
“Anak-anak lagi apa?”
“Habis mandi. Kamu sudah makan?”
“Sudah, dibeliin mama tadi.”
“Ya sudah kalau begitu. Aku tutup, ya.”
“Bentar, aku mau tanya.
“Apa?”
“Kamu tahu, ‘kan Mas Dimas di mana?”
“Kamu sudah tahu?
“Papa yang cerita.”
“Papa?”
“Hmm...”
“Jadi, kamu tahu di mana?”
“Di Jogja, di tempat Kak Wima. Tapi, jangan dikasih tahu papa mama ya. Nanti mereka khawatir. Sudah tenang kalau di tempat Kak Wima.”
“Ya sudah, aku gak boleh pulang sama mama. Mungkin besok subuh baru pulang.”
“Iya. Terima kasih ya, Yang.”
Setelah mengatakan itu, sambungan telpon terputus. Aku gak menyangka sebenarnya kenapa Mas Dimas bisa-bisa nya malah ke Jogja. Tapi, ini lebih baik daripada kami semua akan kebingungan mencarinya.
Hari ini begitu melelahkan. Setelah sholat isya, aku merebahkan tubuhku sebentar di beranda masjid. Aku memejamkan mataku sebentar.
Di sini, di rumah sakit. Aku bisa banyak belajar. Di sini semua orang sedih, sedang mendapatkan musibah atau kesusahan dengan levelnya masing-masing. Bukannya aku harus sangat bersyukur karena masih diberikan kesempatan sehat sampai saat ini. Anak-anak sehat, istri sehat, ibu sehat, adik, kakak sehat. Papa walaupun masih sakit, kondisinya tidak terlalu parah. Betapa berartinya mereka dibanding dengan uang yang melayang kemarin.


------------------

Hai!

Gimana? Semua sehat?

Pokoknya di rumah aja dulu, ya. Jangan keluyuran! Olahraga!

Love dari jauh,
Rina Setyaningsih

Kamis, 19 Maret 2020

Bab 13 || Mas Dimas


Malam ini, aku duduk di balkon rumahku, duduk sendiri, termangu menatap rembulan yang cahanya kian meredup karena tertutup awan. Bercahayakan lampu temaram, berhembuskan angin yang terkadang menyapu wajahku.
Aku sedang berpikir di sini. Mengapa aku tidak merasa baik-baik saja, padahal aku pikir semua sudah sesuai rencana dan tidak ada kekurangan apapun. Rasanya marah sekali dengan diriku sendiri.
Kamu tahu? Ternyata untuk jadi benar, jujur, dan bersih itu sulit, berat, dan penuh tantangan.
Untuk menjadi itu rasanya tekanan ada di mana-mana. Semakin mendekat rasanya semakin terhina. Semakin ingin baik semakin sakit juga yang harus dihadapi. Aku tahu, Tuhan tidak membiarkan kita sulit. Ini mungkin hanya perasaan transisi atau ujian sebelum Tuhan memberiku kata pantas naik level. Ya, gimana? Ini butuh efort untuk menjalaninya.
Aku merasa saat ini sedang merindu. Merindukan pelukan hangat ibu dan usapan lembutnya yang biasa ia lakukan di kepalaku. Saat kemarin Kak Wima menelpon dan terang-terangan memarahiku karena aku tidak bisa datang ke rumah sakit buat menemani ibu, rasanya jantungku seperti dihunus pedang yang panjang.
Bagaimana? Situasinya tidak mengenakkan saat itu. Dan sekarang Pega gentian yang memarahiku karena aku tidak ngomong kalau papa dirawat. Ya gimana, melihat mata lelah Pega saat ada kabar kalau alat yang disewakan hilang gak tahu kemana saja membuatku sudah sedih berantakan. Gimana aku mesti nambahin dengan kabar dari papa.
Kak Wima benar, aku memang gak bisa diandalkan. Aku gak pernah mau sedikit berkorban untuk papa atau mama. Aku yang selalu disalahkan jika saat-saat seperti ini. Padahal, Mas Dimas yang rumahnya dekat aja gak datang buat bantuin mama.
Oke, aku gak akan menyalahkan siapapun atau mengkambing hitamkan siapapun. Karena memang aku juga sedang salah. Walaupun aku gak bisa menyampaikan pembelaanku.
Saat itu aku ingin mengatakan pada Kak Wima, ‘Kak, suamiku lagi kena musibah. Usahanya ditipu orang, dan dia benar-benar kalut saat itu untuk ngomong papa sakit aja aku gak tega. Apalagi aku harus pamit buat ke Bandung.’ Tapi, yang terlontar hanya kata ‘maaf,
Dan Kak.’ Dan akhirnya Kakak perempuanku itu marah meledak-ledak.
Saat ini memang Kak Wima tidak bisa datang. Dan aku sudah diomeli karena tidak bisa datang ke rumah sakit. Besok Pega akan jalan ke Bandung buat jengukin papa.
Aku ingat betul bagaimana Kakakku tadi menelponku. Bahkan aku memejamkan mataku saat Kak Wima berkeluh dengan nada sedih.
Aga!”
“Iya, Kak.”
“Lo itu sebenarnya masih ingat punya papa gak, sih?”
“Kak, kok ngomong begitu, sih?”
“Lo tahu papa ke rumah sakit. Tapi, malah diam saja gak ke Bandung. Apa saja lo?”
“Kak-“
“Lo itu kenapa sih gak bisa diandalkan banget? Keluarga kita lagi butuh lo. Tapi, lo malah gak peduli begitu?”
“Kak, maaf.”
“Lo yakin gak nyesel kalau sampai papa kenapa-napa?”
“Kak gak begitu?”
“Terus bagaimana?”
“Maafin Aga, Kak.”
“Maaf gak ada gunanya, datang ke Bandung karena kali ini gue gak bisa.”
“Iya. Aga besok mau kesana.”
“Ya sudah, sana lo istirahat!”
“Kakak juga.”
“Iya.”
Belum sampai telpon dimatikan, Kak Wima menahanku.
“Ga,”
“Ya?”
“Lo sudah ngantuk?”
“Belum.”
“Lo sudah tahu kalau Mas Dimas lagi ada di Jogja?”
“Ngapain?”
“Dia di rumah gue. Tapi, sekarag lagi pergi sama cewek.”
“Cewek siapa?”
“Belum tahu, Ga. Gue pusing banget. Masmu marah-marah terus sama gue. Ini ceweknya beda lagi, Ga. Gue pusing banget mesti bagaimana? Mama memang belum nelpon gue. Tapi, mama sudah nelpon Mas Dimas kalau papa lagi dirawat. Gue juga belum berani nelpon mama. Kepala gue rasanya mau pecah, Ga.”
“Kak, tenang dulu.”
“Bagaimana bisa tenang, gue?”
“Kakak sudah pernah tanya Mas Dimas belum?”
“Tanya apa?”
“Maunya Mas Dimas apa?”
“Gak mau jawab. Diem saja kaya patung kayu.”
“Kak, maafin Aga, ya?”
“Gue sudah bilang sama lo. Maaf itu gak guna, Ga. Yang penting lo urusin dulu mama sama papa, ya. Maafin gue sudah marah-marah sama lo.”
“Gak papa. Kok, Kak.”
“Ya sudah sana lo istirahat. Besok kabarin gue, ya.”
“Iya, Kak.”
Saat sambungan telpon terputus, aku tahu seberapa besar beban yang harus kakakku itu tanggung. Mas Dimas yang tidak segera sadar akan tingkahnya membuat kesehatannya terganggu. Bukan tanpa alasan, karena papa yang terus berdebat dengan Mas Dimas membuat papa sering sekali sesak napas.
Rasanya sekarang aku tidak bisa mengusahakan apapun untuk keluargaku. Walaupun Pega akan ke Bandung, tetap saja aku merasa belum melakukan apapun kepada keluargaku. Bahkan, hal semacam ini saja aku tidak bisa diandalkan. What a pity!
Tiba-tiba ada selimut yang menutupi punggungku.
“Kenapa gak masuk?” tanya Pega sambil menyeret kursinya mendekat.
“Belum ngantuk,” jawabku masih menyembunyikan mata merahku.
“Angin malam gak baik. Ayo, masuk.”
“Iya,” aku bangkit dan menutup pintu. “Yang,” Pega menoleh sambil mengankat satu alisnya. “Maafin aku, ya.”
“Sudah, kamu cepetan istirahat.” Aku menghambur kepelukannya.
“Aku khawatir banget sama papa. Aku gak bisa diandalkan, Yang. Aku takut papa pergi. Aku gak mau menyesal seumur hidupku.”
“Kamu ngomong apaan, sih?”
“Aku takut banget.”
“Jangan ngomong begitu. Aku besok kesana, jadi kamu tenang saja. lihat besok, ya.”
“Aku beneran gak boleh ikut?”
“Anak-anak sama siapa?”
“Iya.”
“Sepakat, ya. Gak boleh sedih lagi. Sekarang istirahat.” Aku mengangguk tanda mengiyakan permintaan Pega. Yang tidak aku mengerti adalah seorang Pega Kalih Rahmadipraja  tahu bahwa istrinya sedang tidak baik-baik saja. Bahwa ada hal yang tidak nau ia bagi di saat seperti ini. Dia tetap tidak akan menceritakan apapun kalau belum dia yang memulainya.


------------------

Hai kalian!
Bagaimana? Semua sehat, 'kan?
Sehat-sehat ya di manapun kalian berada.