Hari ini adalah hari di mana aku dan Pega harus bekerja keras, tahan melek
juga harus sabar. Kenapa? Karena anak-anak kami sedang tidak sehat.
Anak kembar kami memang sering sakit. Setiap sakit kami memang sangat
ketakutan. Pasalnya Netra kalau lagi sakit dia akan lemas dan tidur terus.
“Netra, Kakak mau apa sayang? Makan, ya?” bujukku sambil mengusap rambutnya
lembut. “Kakak mau kue?” sambungku lagi, dan hanya dihadiahi dengan gelengan
kepala saja.
“Bunda, Dedek mau makan ayam goreng kaya di tv!” pinta Imba tiba-tiba.
“Dedek mau makan? Bunda beliin tapi harus dimakan, ya?” tanyaku memastikan.
“Iya, Bunda.” Aku mengambil gawaiku dan memesan makanan di aplikasi online.
Di saat seperti ini, rasanya aku tidak bergairah untuk sekedar memasak.
Pega yang masih tertidur, karena semalaman Kakak rewel dan hanya mau
digendong Pega. Anak kembarku memang sangat dekat dengan Pega. Saat seperti ini
yang akan lebih lelah adalah dia, bukan aku. Aku hanya membantu dia untuk
mengambilkan apapun yang diminta anak-anak. Tapi, tetap saja kami begadang
sama-sama.
Secangkir kopi yang sangat membantuku bisa melek sampai jam segini.
Sungguh, tiap mereka sakit dalam sehari mungkin kami hanya tidur dua sampai
tiga jam saja.
“Yang, kamu gak mau mandi dulu?” ucapku pada Pega sambil menepuk
punggungnya.
“Nanti, Bund,” gumamnya dengan masih merem.
“Ya sudah.”
“Anak-anak mana?”
“Itu, lagi pada tiduran saja sambil lihat tv.”
“Sudah pada makan?”
“Aku lagi pesan, adik minta ayam goreng katanya.”
“Kasih bubur saja.”
“Mereka kan gak doyan bubur, Yank.”
“Ya sudah, aku mau mandi dulu.” Pega bangkit dari tidurnya, bukannya
langsung ke kamar mandi, dia malah melipir ke kasur anaknya dan memeluk Netra
yang yang wajahnya masih merah karena panas. Dengan ditempel baby vever kami
berharap panasnya akan segera turun.
“Kakak, cepet sembuh dong!” kata Pega di dekat telinga anaknya. “Nanti
kalau sudah sembuh kita beli donat. Mau rasa apa? Coklat, keju, green tea, atau
mocca?” sambungnya lagi. Yang ditanya hanya diam saja tanpa memperdulikan
ucapan Pega.
“Adik mau yang coklat sama strawberry, Ayah,” sahut Imba pelan.
Kalau Imba memang dia lebih mau ngomong saat sakit daripada Netra. Bukan
memandingkan, tapi, memang mereka itu punya sesuatu yang lain. Bukannya kembar,
langsung sama semua.
“Boleh, Adik cepetan sembuh, ya?”
“Aku mau makan kalau sakit.”
“Anak baik. Biar cepet smebuh, ya?”
“Iya. Aku gak mau minum obat terus. Kata Bunda obatnya strawberry, tapi pas
diminum pahit banget, Ya. Adik gak mau obat pahit.”
“Makanya adik juga jangan sakit. Yang kuat, yang sehat.”
“Aku kuat! Aku kan bisa lawan monsternya.”
“Iya? Wah... hebat anak Ayah.”
“Iya dong!”
“Nanti makan, ya?”
“Aku mau ayam goreng.”
“Bunda sudah pesan. Sabar, ya?”
“Ayah mau ngapain?”
“Mau mandi.”
“Ayah, jangan kerja, ya!”
“Kenapa gak boleh kerja?”
“Aku mau gendong Ayah. Aku gak mau Ayah gendong Kakak terus.”
Sontak Pega dan aku saling menatap. Beginilah kalau punya anak kembar.
Walaupun kami tidak pernah membedakan di antara mereka, ternyata mereka sudah
bisa berpikir akan sebuah keadilan yang menurut pemikiran mereka. Pega semalam
memang sama Netra terus, karena Netra nangis terus gak mau kugendong atau
gantian sama adiknnya.
Melihat mereka sakit adalah mendatangkan kekhawatiran yang berlipat-lipat.
Walaupun kita gak langsung ke dokter, tapi tetap saja. Apa yang kita kasih ke
anak-anak atas rekomendasi seorang dokter anak bernama dokter Yanti.
Dulu, kami sempat pindah-pindah dokter karena anak-anak gak sembuh-sembuh. Bukan
karena kami mengandalkan mereka, tapi, kami yakin Allah belum mempertemukan
kami kepada dokter yang memang belum pas saja.
Bel rumah kami berbunyi, aku yakin itu dari abang ojol yang mengantar
pesanan ayam gorengku.
Aku segera turun untuk menemui bapak yang ngantar makanan kami. Sekilas aku
melihat ke arahnya. Mungkin umurnya sudah enam puluh tahunan, kulitnya hitam
legam, peluh mengalir di pipi, juga lingkar hitam di sekitar mata. Aku jadi
teringat papa yang sekarang masih masa recovery karena sakit kemarin.
“Terima kasih ya, Pak,” ucapku kepada Pak Jamawi nama yang ada di aplikasi.
“Sama-sama, Bu. Jangan lupa bintang limanya, Bu,” ucapnya sambil tersenyum
senang. Aku memang menambahkan tip di pembayaran non tunai.
Sesederhana itu seorang driver ojek online memberikan senyum tulusnya. Aku
jadi teringat kasus kemarin di rentalan suamiku. Walaupun kami sudah ikhlas
akan itu, tapi betapa aku merasa dzolim akan nikmat yang sudah selama ini aku
dapatkan. Kami sangat tidak kekurangan, dan bisa makan enak tanpa perlu keluar
rumah.
Ya Allah... rasanya malu sekali.
Tidak sadar aku berdiri di depan pintu terlalu lama, bahkan aku tidak
merasa menangis tapi, air mataku sudah luruh tanpa bisa dicegah.
“Bund,” ucap Pega membuyarkan lamunanku.
“Ya,” jawabku gugup sambil mengusap air mataku.
“Kenapa?”
“Enggak kenapa-kenapa, yuk!”
“Beli berapa?”
“Empat.”
“Iya.”
Pega naik lagi ke atas. Sedangkan aku masih di bawah untuk menyiapkan makan
untuk dimakan di kamar. Ya beginilah kami, anak sakit semua aktivitas yang kita
lakukan sama-sama seperti makan atau Pega yang mengerjakan apa yang aku gak
tahu, atau aku menulis blog di waktu anak-anak tidur semua dilakukan di kamar.
Karen selain khawatir kalau anak-anak mencari atau tiba-tiba nangis. Bahkan
seringnya aku tidak masak atau tidak melakukan banyak hal yang menyita banyak
waktu demi merawat anak-anak yang lagi sakit.
Aku rasa semua ibu di dunia ini punya cara mereka sendiri untuk merawat
anak-anak mereka. Memang gak ada pakemnya, tapi semua hal yang mereka lakukan
adalah yang terbaik untuk anak dan keluarga mereka.
Ah, jadi ibu memang semenyenangkan ini. Aku bahkan bisa menulis banyak hal
di blog ku, atau menulis draft novelku. Tahu, kan? aku memang gak mudah untuk
bercerita.
Menulis memang satu dari banyak hal yang aku tidak akan bosan. Walaupun aku
seorang yang biasa-biasa saja. Aku bahkan tidak banyak hal yang aku kuasai,
tapi mungkin aku bisa mencoba banyak hal di sini.
Pega tidak pernah melarang hobiku ini, dia hanya mengingatkan untuk tidak
tidur terlalu malam. Wajar, sih. Karena kalau kesiangan dia gak dapat sarapan
nasi.
Just I think.
Aku membawa nampan berisi nasi, lauk, lalapan, sambal, piring kosong yang
aku tumpuk-tumpuk biar gak bolak-balik naik turun tangga.
“Makanan datang!” seruku saat aku masuk kamar.
“Waw ayam goreng. Baunya enak, Bunda,” ujar Imba sambil berusaha duduk.
Netra yang masih lemas juga berusaha untuk duduk. Aku tahu mereka lapar,
walaupun mungkin mulutnya pahit, mereka akan maksa untuk masuk makanan walaupun
hanya beberapa sendok saja.
Mereka anakku, aku tahu mereka juga sedang berusaha sembuh. Bahkan Imba
sering protes kalau waktunya minum obat. Mungkin mereka bosan karena seringnya
minum obat.
“Eh, ada daun jambu,” ucap Pega tiba-tiba.
“Iya, itu kan sudah kemarin lupa ngeluarin dari kulkas,” jawabku sambil
masih menyuapi Imba. Sedangkan Pega menyuapi Netra.
Ah, betapa beruntungnya aku.
Hari ini adalah hari di mana aku dan Pega harus bekerja keras, tahan melek
juga harus sabar. Kenapa? Karena anak-anak kami sedang tidak sehat.
Anak kembar kami memang sering sakit. Setiap sakit kami memang sangat
ketakutan. Pasalnya Netra kalau lagi sakit dia akan lemas dan tidur terus.
“Netra, Kakak mau apa sayang? Makan, ya?” bujukku sambil mengusap rambutnya
lembut. “Kakak mau kue?” sambungku lagi, dan hanya dihadiahi dengan gelengan
kepala saja.
“Bunda, Dedek mau makan ayam goreng kaya di tv!” pinta Imba tiba-tiba.
“Dedek mau makan? Bunda beliin tapi harus dimakan, ya?” tanyaku memastikan.
“Iya, Bunda.” Aku mengambil gawaiku dan memesan makanan di aplikasi online.
Di saat seperti ini, rasanya aku tidak bergairah untuk sekedar memasak.
Pega yang masih tertidur, karena semalaman Kakak rewel dan hanya mau
digendong Pega. Anak kembarku memang sangat dekat dengan Pega. Saat seperti ini
yang akan lebih lelah adalah dia, bukan aku. Aku hanya membantu dia untuk
mengambilkan apapun yang diminta anak-anak. Tapi, tetap saja kami begadang
sama-sama.
Secangkir kopi yang sangat membantuku bisa melek sampai jam segini.
Sungguh, tiap mereka sakit dalam sehari mungkin kami hanya tidur dua sampai
tiga jam saja.
“Yang, kamu gak mau mandi dulu?” ucapku pada Pega sambil menepuk
punggungnya.
“Nanti, Bund,” gumamnya dengan masih merem.
“Ya sudah.”
“Anak-anak mana?”
“Itu, lagi pada tiduran saja sambil lihat tv.”
“Sudah pada makan?”
“Aku lagi pesan, adik minta ayam goreng katanya.”
“Kasih bubur saja.”
“Mereka kan gak doyan bubur, Yank.”
“Ya sudah, aku mau mandi dulu.” Pega bangkit dari tidurnya, bukannya
langsung ke kamar mandi, dia malah melipir ke kasur anaknya dan memeluk Netra
yang yang wajahnya masih merah karena panas. Dengan ditempel baby vever kami
berharap panasnya akan segera turun.
“Kakak, cepet sembuh dong!” kata Pega di dekat telinga anaknya. “Nanti
kalau sudah sembuh kita beli donat. Mau rasa apa? Coklat, keju, green tea, atau
mocca?” sambungnya lagi. Yang ditanya hanya diam saja tanpa memperdulikan
ucapan Pega.
“Adik mau yang coklat sama strawberry, Ayah,” sahut Imba pelan.
Kalau Imba memang dia lebih mau ngomong saat sakit daripada Netra. Bukan
memandingkan, tapi, memang mereka itu punya sesuatu yang lain. Bukannya kembar,
langsung sama semua.
“Boleh, Adik cepetan sembuh, ya?”
“Aku mau makan kalau sakit.”
“Anak baik. Biar cepet smebuh, ya?”
“Iya. Aku gak mau minum obat terus. Kata Bunda obatnya strawberry, tapi pas
diminum pahit banget, Ya. Adik gak mau obat pahit.”
“Makanya adik juga jangan sakit. Yang kuat, yang sehat.”
“Aku kuat! Aku kan bisa lawan monsternya.”
“Iya? Wah... hebat anak Ayah.”
“Iya dong!”
“Nanti makan, ya?”
“Aku mau ayam goreng.”
“Bunda sudah pesan. Sabar, ya?”
“Ayah mau ngapain?”
“Mau mandi.”
“Ayah, jangan kerja, ya!”
“Kenapa gak boleh kerja?”
“Aku mau gendong Ayah. Aku gak mau Ayah gendong Kakak terus.”
Sontak Pega dan aku saling menatap. Beginilah kalau punya anak kembar.
Walaupun kami tidak pernah membedakan di antara mereka, ternyata mereka sudah
bisa berpikir akan sebuah keadilan yang menurut pemikiran mereka. Pega semalam
memang sama Netra terus, karena Netra nangis terus gak mau kugendong atau
gantian sama adiknnya.
Melihat mereka sakit adalah mendatangkan kekhawatiran yang berlipat-lipat.
Walaupun kita gak langsung ke dokter, tapi tetap saja. Apa yang kita kasih ke
anak-anak atas rekomendasi seorang dokter anak bernama dokter Yanti.
Dulu, kami sempat pindah-pindah dokter karena anak-anak gak sembuh-sembuh. Bukan
karena kami mengandalkan mereka, tapi, kami yakin Allah belum mempertemukan
kami kepada dokter yang memang belum pas saja.
Bel rumah kami berbunyi, aku yakin itu dari abang ojol yang mengantar
pesanan ayam gorengku.
Aku segera turun untuk menemui bapak yang ngantar makanan kami. Sekilas aku
melihat ke arahnya. Mungkin umurnya sudah enam puluh tahunan, kulitnya hitam
legam, peluh mengalir di pipi, juga lingkar hitam di sekitar mata. Aku jadi
teringat papa yang sekarang masih masa recovery karena sakit kemarin.
“Terima kasih ya, Pak,” ucapku kepada Pak Jamawi nama yang ada di aplikasi.
“Sama-sama, Bu. Jangan lupa bintang limanya, Bu,” ucapnya sambil tersenyum
senang. Aku memang menambahkan tip di pembayaran non tunai.
Sesederhana itu seorang driver ojek online memberikan senyum tulusnya. Aku
jadi teringat kasus kemarin di rentalan suamiku. Walaupun kami sudah ikhlas
akan itu, tapi betapa aku merasa dzolim akan nikmat yang sudah selama ini aku
dapatkan. Kami sangat tidak kekurangan, dan bisa makan enak tanpa perlu keluar
rumah.
Ya Allah... rasanya malu sekali.
Tidak sadar aku berdiri di depan pintu terlalu lama, bahkan aku tidak
merasa menangis tapi, air mataku sudah luruh tanpa bisa dicegah.
“Bund,” ucap Pega membuyarkan lamunanku.
“Ya,” jawabku gugup sambil mengusap air mataku.
“Kenapa?”
“Enggak kenapa-kenapa, yuk!”
“Beli berapa?”
“Empat.”
“Iya.”
Pega naik lagi ke atas. Sedangkan aku masih di bawah untuk menyiapkan makan
untuk dimakan di kamar. Ya beginilah kami, anak sakit semua aktivitas yang kita
lakukan sama-sama seperti makan atau Pega yang mengerjakan apa yang aku gak
tahu, atau aku menulis blog di waktu anak-anak tidur semua dilakukan di kamar.
Karen selain khawatir kalau anak-anak mencari atau tiba-tiba nangis. Bahkan
seringnya aku tidak masak atau tidak melakukan banyak hal yang menyita banyak
waktu demi merawat anak-anak yang lagi sakit.
Aku rasa semua ibu di dunia ini punya cara mereka sendiri untuk merawat
anak-anak mereka. Memang gak ada pakemnya, tapi semua hal yang mereka lakukan
adalah yang terbaik untuk anak dan keluarga mereka.
Ah, jadi ibu memang semenyenangkan ini. Aku bahkan bisa menulis banyak hal
di blog ku, atau menulis draft novelku. Tahu, kan? aku memang gak mudah untuk
bercerita.
Menulis memang satu dari banyak hal yang aku tidak akan bosan. Walaupun aku
seorang yang biasa-biasa saja. Aku bahkan tidak banyak hal yang aku kuasai,
tapi mungkin aku bisa mencoba banyak hal di sini.
Pega tidak pernah melarang hobiku ini, dia hanya mengingatkan untuk tidak
tidur terlalu malam. Wajar, sih. Karena kalau kesiangan dia gak dapat sarapan
nasi.
Just I think.
Aku membawa nampan berisi nasi, lauk, lalapan, sambal, piring kosong yang
aku tumpuk-tumpuk biar gak bolak-balik naik turun tangga.
“Makanan datang!” seruku saat aku masuk kamar.
“Waw ayam goreng. Baunya enak, Bunda,” ujar Imba sambil berusaha duduk.
Netra yang masih lemas juga berusaha untuk duduk. Aku tahu mereka lapar,
walaupun mungkin mulutnya pahit, mereka akan maksa untuk masuk makanan walaupun
hanya beberapa sendok saja.
Mereka anakku, aku tahu mereka juga sedang berusaha sembuh. Bahkan Imba
sering protes kalau waktunya minum obat. Mungkin mereka bosan karena seringnya
minum obat.
“Eh, ada daun jambu,” ucap Pega tiba-tiba.
“Iya, itu kan sudah kemarin lupa ngeluarin dari kulkas,” jawabku sambil
masih menyuapi Imba. Sedangkan Pega menyuapi Netra.
Ah, betapa beruntungnya aku.
---------------------
Satu keberuntungan yang kudapatkan dan merasa ini adalah keberuntungan yang tidak bisa orang rasakan adalah hidup dengan kalian ber tiga.
#DiRumahAja
Love,
Rina Setyaningsih
--------------------