Jumat, 03 April 2020

Bab 17 || Berdamai dengan diri sendiri

Saat ini aku sedang duduk di beranda bersama kopi dan beberapa butir coklat biskuit yang aku beli online.
Aku sedang merenungkan, kenapa sampai sekarang aku masih sering merasakan takut ketika bertemu ibu mertuaku. Padahal ini sudah tahun ke tujuh pernikahanku. Otomatis ini juga tahun ke tujuh aku mengenalnya.
Dari sekian hal yang kutakutkan. Sebenarnya ada satu ketakutan yang ini memang aku merasakan sekali ketakutan yang melebihi orang pikirkan. Kamu tahu? Orang tua itu ucapannya sangat manjur dan mujarab. Aku hanya takut karena aku ibu sampai mengeluarkan kata yang tidak baik.
Walaupun sebenarnya banyak yang aku pikirkan ketika bertemu dengannya. Seperti aku sangat takut mengobrol dengannya karena takut menyinggung perasaannya sehingga aku membuat kesalahan yang membuat ibu lebih tidak menyukaiku.
Aku ingin sekali berkata jujur semua yang kupendam selama ini. tapi, ketika aku mencoba memulainya, mulutku seakan terkunci, tubuhku serta merta bergetar, dan ketakutan kembali mengurungku semakin erat.
Aku tidak pernah mengatakan ini kepada Pega. Aku gak mau dia berpikir aku tidak menyukai ibunya, atau membuat dia kebingungan dengan posisinya.
Aku hanya ingin menjadi anak dan istri yang berbakti. Tapi, terkadang aku merasa lelah memposisikan diriku. Memaafkan perkataan ibu yang sangat menyakiti hatiku. Aku merasa apapun yang kulakukan tidak ada benar-benarnya di mata ibu.
Aku tahu Pega tahu tentang ini, tapi dia hanya tidak mau memulai obrolan ini dan menyakiti hatiku. Aku mencintai Pega sepaket dengan apa yang ia punya. Aku menyayangi ibu seperti aku sayang ibuku. Aku hanya mempunyai perasaan takut berlebih atas ini.
Aku sebagai anak mantu yang gak begitu disayang mertua sudah mencoba merayu secara lembut. Seperti mengiriminya uang atau makanan. Juga sesekali aku membawakannya baju atau tas baru. Tetapi, seperti hanya angin lalu, itu semua tidak mempan buatnya.
Aku merasa aku ini kenapa? Kenapa banyak sekali orang yang gak menyukaiku. Atau aku punya selera humor yang buruk? Atau aku memang bukan tipe perempuan anggun, cantik, lemah lembut, dan bening? Atau aku tidak mempunyai tubuh yang langsing? Ideal layaknya model atau seperti Sandy atau Kak Rosi?
Ketika aku berpikir seperti ini, aku mulai tidak menyukai bentuk fisikku. Aku mulai membenci diriku di layar ponselku. Aku mulai tidak bersyukur, kenapa aku terlahir dengan tubuh seperti ini? kulit seperti ini? wajah seperti ini? atau selera sosial yang rendah.
Aku sekarang mulai menyalahkan Tuhan sang pemberi apapun yang sekarang kumiliki.  Kenapa banyak di antara manusia tidak bisa menerima apapun yang orang lain miliki? Padahal semua itu juga sama-sama pemberian Tuhan.
Entahlah, aku berpikir mereka seperti itu terhadapku. Walaupun entah mereka sengaja atau tidak sengaja melakukannya. Tanpa mereka sadari mereka sudah sering menyakiti orang-orang seperti diriku.
Ini bukan masalah, aku baper atau apa, tapi ini menyangkut kehidupan selanjutnya. Orang seperti aku yang sudah berkali-kali menjadi bahan olok-olokan teman-temanku merasa memunculkan rasa percaya diri sangat sulit.
Terkadang aku ingin berteriak kepada semua orang. Bahwa aku tidak mau diperlakukan seperti itu. Tapi, semua tertelan hingga di ujung tenggorokan. Dan yang dapat keluar hanyalah helaan nafas, dan bisikkan rendah dalam diriku bahwa aku harus lebih bersabar. Lebih menguatkan hati untuk terus melangkah maju sebagai pembuktian bahwa aku bukan lagi sebuah bahan olok-olokkan kalian semua.
Tapi, terkadang tanpa disadari yang menjadikanku bahan untuk target bullying secara non verbal adalah orang-orang terdekatku sendiri. Orang yang terang-terangan memalingkan wajahnya karena tidak akan percaya apapun yang akan terlontar dari mulutku. Bahkan mereka melepehkan semua mimpi yang ku bangun dengan susah payah dalam hatiku.
Aku menghargai apapun yang mereka pilih atau mereka katakan kepadaku. Tapi, kenapa harus banyak orang dengan terang-terangan membuat percaya diriku merosot ke dasar palung.
Aku memejamkan mataku seoalah menikmati sepoi-sepoi di sore hari. Padahal aku sedang mati-matian menahan sesak dan air mata yang ingin sekali segera keluar dan meluncur tanpa tahu situasi.
Ibu, kapan ibu bisa sayang sama aku selayaknya ibu sayang mantu ibu yang lain?
Kapan ibu akan memanggiku ‘nak’ lalu memelukku saat aku merasa lelah atau kesal dengan Pega?
Kapan ibu akan menerima pemberianku dan mengucapkan terima kasih sambil tersenyum?
Kapan ibu benar-benar menerimaku sebagai istri Pega yang seutuhnya?
Ibu, aku menyayangimu. Apakah ibu tidak pernah sedikitpun merasakan ini? apakah ibu tidak pernah melihatku menderita karena sikap ibu yang selalu acuh tak acuh? Apakah ibu tidak pernah merasakan betapa sedihnya aku saat ibu menolak pertolonganku? Apakah ibu tidak melihat takutnya aku saat aku sedang berhadapan dengan ibu? Padahal aku sangat ingin kita banyak ngobrol dengan teh dan kacang di kursi taman sore hari.
Bu, aku hanya ingin ibu tahu. Aku ingin sekali dipeluk oleh mu, merasakan kenyamanan dan kelembutan di setiap usapan di rambutku atau di punggungku.
Bu, apakah sulit untukmu bisa menerimaku sebagai seseorang yang ada di hidupmu? Apakah seburuk itu keluargaku di matamu? Apakah aku ini serendah itu di matamu? Apa tidak ada cara lagi untuk aku bisa diterima olehmu?
Bu, aku sangat takut kehilangan Pega. Sama seperti takutnya aku akan kehilanganmu di saat ibu belum bisa menerimaku. Aku sangat takut kehilanganmu di saat aku berada di titik lelah meminta maaf kepadamu dari kesalahan yang aku sendiri tidak tahu apa.
Bu, tolong katakan. Tolong katakan semua yang harus kuperbaiki. Katakan semua sebelah mana yang harus ku ubah. Apa saja yang mesti kulakukan agar membuatmu nyaman dan akhirnya ibu bisa menerimaku.
Bu, aku cukup tahu diri. Aku bukan orang nyaris sempurna yang bisa membuat semua orang senang. Tapi, Bu. Aku cukup tangguh untuk berusaha dan melakukan segala hal yang ibu minta. Tentu saja kecuali kehilangan Pega.
Bu, tolong jangan jadikan aku sebagai seseorang yang membuatmu tidak bahagia. Jangan jadikan aku sebagai alasan untukmu marah. Jangan jadikan aku sebagai alasan di banyak masalah yang datang.
Bu, akupun gak mau menjadi seperti itu. Akupun juga gak mau anak laki-lakimu itu sedih, kecewa, marah, bahkan masalah yang datang kepadanya, akupun tidak suka.
Bu, anakmu akan tetap menjadi anak laki-laki kesayanganmu. Anakmu akan memanjakanmu lebih dari yang kau bayangkan. Anakmu itu akan tetap menjadikanmu nomor satu sampai kapanpun.
Tapi, Bu. Jangan memberinya pilihan untuk memilih ibu atau diriku. Karena itu akan memberatkannya. Ibu adalah seseorang yang karenamu dia ada, karenamu dia seperti sekarang, dan karenamu dia juga menemukanku.
Aku tidak akan rakus sampai membuat anakmu menjauh darimu. Aku gak sejahat itu, Bu. Tapi, jika dia tetap mempertahankan aku sebagai bagian dari hidupnya. Aku minta tolong, jangan melarangnya lagi.
Bu, bagaimana kalau kita membuat kesepakatan untuk saling mengenal, saling berbicara, saling mendengarkan. Mungkin ibu belum mengenalku lebih jauh. Mungkin selama ini, ibu hanya belum memberi kesempatan kepada mata dan hati untuk melihatku lebih luas lagi.
Rasanya ingin sekali memuntahkan apapun yang terpendam. Ingin sekali di depan ibu aku melontarkan segala hal yang kusembunyikan dari semua orang. Tapi, lagi-lagi itu akan terkubur jauh di palung hati.
Kenapa berbicara sesulit ini? kenapa ingin mendengarkan jawaban atas semua pertanyaanku selama ini sangat sulit?
Aku hanya ingin ibu tahu dan tidak lagi membenciku. Apa ini satu dari banyak hal yang akan kuperjuangkan untuk kumiliki.
Ini bukan masalah aku akan berhasil atau gagal di akhir cerita. Ini adalah masalah aku mau berjuang atau tidak. Mau berusaha lebih keras lagi atau tidak. Mau lebih bersabar lagi atau tidak.
.
            Aku masuk ke dalam rumah mengambil laptop tersayangku yang sudah enam tahun terakhir menjadi temanku. Rasanya aku belum lega kalau belum bercerita dengannya.
            Aku menuliskannya dengan jujur. Menerawang semua kebaikan ibu agar tidak ada benci yang tumbuh di hatiku. Mengemasnya dengan diksi terbaik agar aku puas saat membacanya ulang. Bukankah ini juga dinamakan menikmati kesakitan?
            Aku harus melegakan setiap saat sesak tentang ibu datang. Aku harus mengontrol perasaanku. Bukan sebaliknya. Aku harus bisa punya mental kuat, dan tidak gampang sakit hati. Aku harus bisa menyalurkan kesenanganku demi mengurangi air mata yang aku yakin mau tidak mau akan keluar juga. Aku harus bisa tegar untuk mendampingi Pega. Bukankah aku sudah bilang. Sabar itu sudah ada di kamus besar mencintai Pega?
            Berada di samping Pega memang tidak mudah. Kehidupanku seperti roller coaster, naik turun cepat lambat, semua aku rasakan. Yang aku yakini, selama Pega masih di sampingku, support, dan terus menemaniku saat aku tidak butuh orang lain selain dirinya, aku akan maju paling depan untuk membuktikannya.

------------------------

Aku mencintaimu, juga mencintai diriku sendiri.

Bab 16 || Red velvet


Hari ini adalah hari di mana aku dan anak-anak akan mengunjungi sebuah taman bermain di daerah Bintaro. Kami berencana akan main salju buatan yang ada di sana. Sebenarnya aku sangat excited untuk mengajak anak-anak naik Gondola. Kereta gantung itu sudah mirip banget sama yang ada di Jepang.
“Kakak, sudah belum?” tanyaku kepada Netra yang baru saja turun. Disusul Imba dari belakang.
“Sudah, Bund. Ayah mana?”
“Ayah kali ini gak ikut, sama Bunda saja gak papa ya?”
“Kenapa ayah gak ikut?”
“Ayah lagi ada banyak hal untuk diurus. Kali ini ayah gak ikut dulu, gak papa ya?”
“Oke, Bunda. Tapi, aku mau kue nanti kalau pulang.”
“Boleh, Yuk!”
Aku keluar dengan menggandeng kanan kiri Netra dan Imba untuk masuk mobil inline. Pasalnya sudah sedari tadi abangnya nungguin untuk kami berangkat. Kami bukan orang kaya raya yang mobilnya berjejer memenuhi jalan komplek. Tapi, sudah punya satu adalah satu kenikmatan dari Tuhan yang wajib untuk disyukuri.
Perjalanan dari rumah kami ke venue hanya sepuluh menit. Memang sangat dekat, karena tempat tinggal kami termasuk tempat strategis yang ada banyak tempat menyenangkan untuk bisa dikunjungi. Walaupun biaya hidup di sini sangat mahal. Tapi cukup menyenangkan tinggal di sini karena banyak hal yang aku suka dekat dengan rumah. Hehehe...
Setelah membayar tiket sebesar tiga ratus ribu rupiah, kami masuk. Dengan boot dan jaket tebal yang sudah kami siapkan dari rumah, ini adalah piknik menyenangkan tanpa membayar tiket ke Jepang.
“Kak, Dik, ini namanya salju.”
“Salju datangnya dari mana Bunda?
“Sebenarnya salju itu dari uap air sayang, sama kaya hujan biasa. Bedanya, karena temperatur suhunya terlalu dingin makanya uap air nya jadi beku.”
“Salju bisa dimakan enggak, Bunda?”
“Gak boleh di makan sayang, karena ada bakterinya.”
“Ini kan gak ada langitnya, kenapa saljunya bisa masuk, Bunda?”
“Ini itu salju asli sayang, dibuat pakai mesin khusus. Makanya disebut salju buatan, karena turunnya bukan dari langit.”
“Oww...”
“Asyik, ya. Dingin, kaya di luar negeri.”
“Bunda, kenapa di rumah gak pernah ada salju?
“Karena negara kita terletak di daerah khatulistiwa yang membuat kita punya iklim tropis. Yang hanya punya dua musim, musim hujan dan musim kemarau.
“Bunda, tropis itu apa?”
“Daerah di permukaan bumi yang secara georafis terletak di sekitar ekuator atau garis khatulistiwa tadi.
“Ow... Bumi itu bulat ya, Bunda?”
“Katanya, sih bulat. Dulu, ada seorang pelaut yang berlayar di satu arah dan setelah beberapa lama dia tiba di tempat pertama kali berlayar. Makanya bumi disebut bulat.”
“Kaya di buku Abid ya, Bunda?”
“Kalau di gambar memang bulat.”
“Bunda, kita ini keluarga ya, Bunda?” celetuk Imba yang keluar dari jalur obrolan kami.
“Tentu saja.”
“Kaya di buku Abid, ada ayah, bunda, Kak Hakim, juga ada Abid. Tapi, kenapa sekarang ayah gak ikut?”
“Ayah kan lagi kerja. Jadi, gak bisa ikut. Adik kenapa? Sedih?”
“Aku kangen Ayah.”
“Nanti kita juga ketemu.”
“Tapi, gak asyik kalau ayah gak ada.”
“Kan ada Kakak!” seru Netra lalu menarik Imba lempar-lemparan salju. Menyenangkan sekali melihat mereka, selalu mengingat ayahnya kalau ayahnya gak ikut kita main gini.
“Naik kereta gantung berani?” tanyaku kepada mereka saat aku sudah ada di dekatmya.
“Berani!” jawab mereka serentak.
“Aku mengantar mereka menuju stationnya, dan mengantri. Walaupun cukup banyak mengantri, tapi gak sebanyak hari-hari libur sekolah.
“Bunda akan tunggu di sini. Kamu sama Kakak naik duluan, ya?”
“Oke bunda!” jawab Imba semangat. Dulu, pas umurnya masih dua tahun, aku mengajak mereka ke Bandung. Pas di Maribaya mereka sangat semangat sekali naik flying fox. Dan aku rasa, naik kereta gantung berdua mereka sudah cukup berani.
Coba saja Pega ada, aku akan naik ini sama Pega. Dan akan menjadi pasangan paling bahagia sedunia.
.
Setelah dua jam kami keluar dari salju. Kami akan pergi mencari kue, karena anak-anak sangat suka kue. Sayangnya, aku gak pernah bisa membuatkannya untuk mereka.
“Mau kue apa?” tanyaku saat kami sudah menemukan store kue.
“Aku mau yang coklat itu,” ucap Imba menunjuk satu kue....
“Aku mau yang merah,” tunjuk Netra pada kue red velvet yang dipajang di etalase.
“Bunda mau yang mana?” celetuk Imba saat aku sedang memilih kue yang lain.
“Bunda bingung mau yang mana?” akhirnya aku mengambil empat krisan original dan coklat. Aku tahu, Pega sangat suka ini. setelah menaruh semua belanjaan kami, aku membayar dan mencari tempat duduk untuk mereka istirahat.
Saat seperti ini biasanya aku membawa tumbler sendiri dan jarang sekali kami makan di restoran barat. Karena lidah anak-anak sama banget sama lidahnya Pega. Gak akan suka makan makanan jepang atau makan makanan wastern begitu.
Aku memang membeli apa yang mereka pilih double, ini adalah caraku menghindari mereka berebut karena apa yang mereka makan berbeda. Saat Netra menggigit kue red velvet, pikiranku jadi melanglang ke lapisan yang di kue tersebut, kelihatan lembut, dan menyenangkan. Aku merasa Netra sangat bahagia hanya karena satu gigitan yang masuk mulutnya.
Melihat ke arah Imba, dia juga sangat bahagia hanya dengan menggigit satu kue coklat kesukaannya. Menikmatinya dan mensyukuri apa yang ia dapatkan.
Saat kue Netra habis, dia masih melihat ke arah Imba. Merayu adik kembarnya itu untuk memberikan satu gigitan kue coklatnya kepadanya. Dengan bersungut akhirnya Imba memberikannya juga. Dan alhasil jatah untuk Imba berkurang.
Bukankah ini semua seperti kehidupan?
Katanya kue yang berlapis merah itu ada maknanya. Tapi, menurutku red velvet itu kaya kehidupan nyata. Kenapa begitu? Kau tahu, gak ada yang benar-benar tahu bagaimana dia bermula. Gak ada yang benar-benar tahu bagaimana dia bisa booming di tengah cerita. Gak ada yang benar-benar tahu dia di masa depan. Tapi yang jelas, tujuannya adalah membuat yang memakannya bahagia, merasakan kelembutan teksturnya, dan membuat lidahnya menari-nari karena kelezatannya.
Bukannya kehidupan nyata juga akan seperti itu? Gak akan tahu apapun yang akan terjadi besok, detik selanjutnya. Yang pasti mereka harus punya satu tujuan bagaimana dia akan hidup. Bukankah kita terlahir untuk berbagi kebermanfaat? Seenggaknya membuat dirimu sendiri bahagia?
Tapi, terkadang manusia adalah makhluk yang aneh. Makhluk rakus yang tidak jarang masih melihat ke sekitarnya dan menginginkan punya orang lain. Padahal apa yang mereka dapatkan sesungguhnya lebih banyak dan lebih berharga dari apa yang orang lain punya.
Ah indahnya hidup dengan bersyukur, dan tetap berusaha menjadi lebih baik dan baik lagi tanpa ngerecokin orang lain.


-----------------

Love,
Rina

Jumat, 27 Maret 2020

Bab 15 || Sakit


Hari ini adalah hari di mana aku dan Pega harus bekerja keras, tahan melek juga harus sabar. Kenapa? Karena anak-anak kami sedang tidak sehat.
Anak kembar kami memang sering sakit. Setiap sakit kami memang sangat ketakutan. Pasalnya Netra kalau lagi sakit dia akan lemas dan tidur terus.
“Netra, Kakak mau apa sayang? Makan, ya?” bujukku sambil mengusap rambutnya lembut. “Kakak mau kue?” sambungku lagi, dan hanya dihadiahi dengan gelengan kepala saja.
“Bunda, Dedek mau makan ayam goreng kaya di tv!” pinta Imba tiba-tiba.
“Dedek mau makan? Bunda beliin tapi harus dimakan, ya?” tanyaku memastikan.
“Iya, Bunda.” Aku mengambil gawaiku dan memesan makanan di aplikasi online. Di saat seperti ini, rasanya aku tidak bergairah untuk sekedar memasak.
Pega yang masih tertidur, karena semalaman Kakak rewel dan hanya mau digendong Pega. Anak kembarku memang sangat dekat dengan Pega. Saat seperti ini yang akan lebih lelah adalah dia, bukan aku. Aku hanya membantu dia untuk mengambilkan apapun yang diminta anak-anak. Tapi, tetap saja kami begadang sama-sama.
Secangkir kopi yang sangat membantuku bisa melek sampai jam segini. Sungguh, tiap mereka sakit dalam sehari mungkin kami hanya tidur dua sampai tiga jam saja.
“Yang, kamu gak mau mandi dulu?” ucapku pada Pega sambil menepuk punggungnya.
“Nanti, Bund,” gumamnya dengan masih merem.
“Ya sudah.”
“Anak-anak mana?”
“Itu, lagi pada tiduran saja sambil lihat tv.”
“Sudah pada makan?”
“Aku lagi pesan, adik minta ayam goreng katanya.”
“Kasih bubur saja.”
“Mereka kan gak doyan bubur, Yank.”
“Ya sudah, aku mau mandi dulu.” Pega bangkit dari tidurnya, bukannya langsung ke kamar mandi, dia malah melipir ke kasur anaknya dan memeluk Netra yang yang wajahnya masih merah karena panas. Dengan ditempel baby vever kami berharap panasnya akan segera turun.
“Kakak, cepet sembuh dong!” kata Pega di dekat telinga anaknya. “Nanti kalau sudah sembuh kita beli donat. Mau rasa apa? Coklat, keju, green tea, atau mocca?” sambungnya lagi. Yang ditanya hanya diam saja tanpa memperdulikan ucapan Pega.
“Adik mau yang coklat sama strawberry, Ayah,” sahut Imba pelan.
Kalau Imba memang dia lebih mau ngomong saat sakit daripada Netra. Bukan memandingkan, tapi, memang mereka itu punya sesuatu yang lain. Bukannya kembar, langsung sama semua.
“Boleh, Adik cepetan sembuh, ya?”
“Aku mau makan kalau sakit.”
“Anak baik. Biar cepet smebuh, ya?”
“Iya. Aku gak mau minum obat terus. Kata Bunda obatnya strawberry, tapi pas diminum pahit banget, Ya. Adik gak mau obat pahit.”
“Makanya adik juga jangan sakit. Yang kuat, yang sehat.”
“Aku kuat! Aku kan bisa lawan monsternya.”
“Iya? Wah... hebat anak Ayah.”
“Iya dong!”
“Nanti makan, ya?”
“Aku mau ayam goreng.”
“Bunda sudah pesan. Sabar, ya?”
“Ayah mau ngapain?”
“Mau mandi.”
“Ayah, jangan kerja, ya!”
“Kenapa gak boleh kerja?”
“Aku mau gendong Ayah. Aku gak mau Ayah gendong Kakak terus.”
Sontak Pega dan aku saling menatap. Beginilah kalau punya anak kembar. Walaupun kami tidak pernah membedakan di antara mereka, ternyata mereka sudah bisa berpikir akan sebuah keadilan yang menurut pemikiran mereka. Pega semalam memang sama Netra terus, karena Netra nangis terus gak mau kugendong atau gantian sama adiknnya.
Melihat mereka sakit adalah mendatangkan kekhawatiran yang berlipat-lipat. Walaupun kita gak langsung ke dokter, tapi tetap saja. Apa yang kita kasih ke anak-anak atas rekomendasi seorang dokter anak bernama dokter Yanti.
Dulu, kami sempat pindah-pindah dokter karena anak-anak gak sembuh-sembuh. Bukan karena kami mengandalkan mereka, tapi, kami yakin Allah belum mempertemukan kami kepada dokter yang memang belum pas saja.
Bel rumah kami berbunyi, aku yakin itu dari abang ojol yang mengantar pesanan ayam gorengku.
Aku segera turun untuk menemui bapak yang ngantar makanan kami. Sekilas aku melihat ke arahnya. Mungkin umurnya sudah enam puluh tahunan, kulitnya hitam legam, peluh mengalir di pipi, juga lingkar hitam di sekitar mata. Aku jadi teringat papa yang sekarang masih masa recovery karena sakit kemarin.
“Terima kasih ya, Pak,” ucapku kepada Pak Jamawi nama yang ada di aplikasi.
“Sama-sama, Bu. Jangan lupa bintang limanya, Bu,” ucapnya sambil tersenyum senang. Aku memang menambahkan tip di pembayaran non tunai.
Sesederhana itu seorang driver ojek online memberikan senyum tulusnya. Aku jadi teringat kasus kemarin di rentalan suamiku. Walaupun kami sudah ikhlas akan itu, tapi betapa aku merasa dzolim akan nikmat yang sudah selama ini aku dapatkan. Kami sangat tidak kekurangan, dan bisa makan enak tanpa perlu keluar rumah.
Ya Allah... rasanya malu sekali.
Tidak sadar aku berdiri di depan pintu terlalu lama, bahkan aku tidak merasa menangis tapi, air mataku sudah luruh tanpa bisa dicegah.
“Bund,” ucap Pega membuyarkan lamunanku.
“Ya,” jawabku gugup sambil mengusap air mataku.
“Kenapa?”
“Enggak kenapa-kenapa, yuk!”
“Beli berapa?”
“Empat.”
“Iya.”
Pega naik lagi ke atas. Sedangkan aku masih di bawah untuk menyiapkan makan untuk dimakan di kamar. Ya beginilah kami, anak sakit semua aktivitas yang kita lakukan sama-sama seperti makan atau Pega yang mengerjakan apa yang aku gak tahu, atau aku menulis blog di waktu anak-anak tidur semua dilakukan di kamar. Karen selain khawatir kalau anak-anak mencari atau tiba-tiba nangis. Bahkan seringnya aku tidak masak atau tidak melakukan banyak hal yang menyita banyak waktu demi merawat anak-anak yang lagi sakit.
Aku rasa semua ibu di dunia ini punya cara mereka sendiri untuk merawat anak-anak mereka. Memang gak ada pakemnya, tapi semua hal yang mereka lakukan adalah yang terbaik untuk anak dan keluarga mereka.
Ah, jadi ibu memang semenyenangkan ini. Aku bahkan bisa menulis banyak hal di blog ku, atau menulis draft novelku. Tahu, kan? aku memang gak mudah untuk bercerita.
Menulis memang satu dari banyak hal yang aku tidak akan bosan. Walaupun aku seorang yang biasa-biasa saja. Aku bahkan tidak banyak hal yang aku kuasai, tapi mungkin aku bisa mencoba banyak hal di sini.
Pega tidak pernah melarang hobiku ini, dia hanya mengingatkan untuk tidak tidur terlalu malam. Wajar, sih. Karena kalau kesiangan dia gak dapat sarapan nasi.
Just I think.
Aku membawa nampan berisi nasi, lauk, lalapan, sambal, piring kosong yang aku tumpuk-tumpuk biar gak bolak-balik naik turun tangga.
“Makanan datang!” seruku saat aku masuk kamar.
“Waw ayam goreng. Baunya enak, Bunda,” ujar Imba sambil berusaha duduk. Netra yang masih lemas juga berusaha untuk duduk. Aku tahu mereka lapar, walaupun mungkin mulutnya pahit, mereka akan maksa untuk masuk makanan walaupun hanya beberapa sendok saja.
Mereka anakku, aku tahu mereka juga sedang berusaha sembuh. Bahkan Imba sering protes kalau waktunya minum obat. Mungkin mereka bosan karena seringnya minum obat.
“Eh, ada daun jambu,” ucap Pega tiba-tiba.
“Iya, itu kan sudah kemarin lupa ngeluarin dari kulkas,” jawabku sambil masih menyuapi Imba. Sedangkan Pega menyuapi Netra.
Ah, betapa beruntungnya aku.
Hari ini adalah hari di mana aku dan Pega harus bekerja keras, tahan melek juga harus sabar. Kenapa? Karena anak-anak kami sedang tidak sehat.
Anak kembar kami memang sering sakit. Setiap sakit kami memang sangat ketakutan. Pasalnya Netra kalau lagi sakit dia akan lemas dan tidur terus.
“Netra, Kakak mau apa sayang? Makan, ya?” bujukku sambil mengusap rambutnya lembut. “Kakak mau kue?” sambungku lagi, dan hanya dihadiahi dengan gelengan kepala saja.
“Bunda, Dedek mau makan ayam goreng kaya di tv!” pinta Imba tiba-tiba.
“Dedek mau makan? Bunda beliin tapi harus dimakan, ya?” tanyaku memastikan.
“Iya, Bunda.” Aku mengambil gawaiku dan memesan makanan di aplikasi online. Di saat seperti ini, rasanya aku tidak bergairah untuk sekedar memasak.
Pega yang masih tertidur, karena semalaman Kakak rewel dan hanya mau digendong Pega. Anak kembarku memang sangat dekat dengan Pega. Saat seperti ini yang akan lebih lelah adalah dia, bukan aku. Aku hanya membantu dia untuk mengambilkan apapun yang diminta anak-anak. Tapi, tetap saja kami begadang sama-sama.
Secangkir kopi yang sangat membantuku bisa melek sampai jam segini. Sungguh, tiap mereka sakit dalam sehari mungkin kami hanya tidur dua sampai tiga jam saja.
“Yang, kamu gak mau mandi dulu?” ucapku pada Pega sambil menepuk punggungnya.
“Nanti, Bund,” gumamnya dengan masih merem.
“Ya sudah.”
“Anak-anak mana?”
“Itu, lagi pada tiduran saja sambil lihat tv.”
“Sudah pada makan?”
“Aku lagi pesan, adik minta ayam goreng katanya.”
“Kasih bubur saja.”
“Mereka kan gak doyan bubur, Yank.”
“Ya sudah, aku mau mandi dulu.” Pega bangkit dari tidurnya, bukannya langsung ke kamar mandi, dia malah melipir ke kasur anaknya dan memeluk Netra yang yang wajahnya masih merah karena panas. Dengan ditempel baby vever kami berharap panasnya akan segera turun.
“Kakak, cepet sembuh dong!” kata Pega di dekat telinga anaknya. “Nanti kalau sudah sembuh kita beli donat. Mau rasa apa? Coklat, keju, green tea, atau mocca?” sambungnya lagi. Yang ditanya hanya diam saja tanpa memperdulikan ucapan Pega.
“Adik mau yang coklat sama strawberry, Ayah,” sahut Imba pelan.
Kalau Imba memang dia lebih mau ngomong saat sakit daripada Netra. Bukan memandingkan, tapi, memang mereka itu punya sesuatu yang lain. Bukannya kembar, langsung sama semua.
“Boleh, Adik cepetan sembuh, ya?”
“Aku mau makan kalau sakit.”
“Anak baik. Biar cepet smebuh, ya?”
“Iya. Aku gak mau minum obat terus. Kata Bunda obatnya strawberry, tapi pas diminum pahit banget, Ya. Adik gak mau obat pahit.”
“Makanya adik juga jangan sakit. Yang kuat, yang sehat.”
“Aku kuat! Aku kan bisa lawan monsternya.”
“Iya? Wah... hebat anak Ayah.”
“Iya dong!”
“Nanti makan, ya?”
“Aku mau ayam goreng.”
“Bunda sudah pesan. Sabar, ya?”
“Ayah mau ngapain?”
“Mau mandi.”
“Ayah, jangan kerja, ya!”
“Kenapa gak boleh kerja?”
“Aku mau gendong Ayah. Aku gak mau Ayah gendong Kakak terus.”
Sontak Pega dan aku saling menatap. Beginilah kalau punya anak kembar. Walaupun kami tidak pernah membedakan di antara mereka, ternyata mereka sudah bisa berpikir akan sebuah keadilan yang menurut pemikiran mereka. Pega semalam memang sama Netra terus, karena Netra nangis terus gak mau kugendong atau gantian sama adiknnya.
Melihat mereka sakit adalah mendatangkan kekhawatiran yang berlipat-lipat. Walaupun kita gak langsung ke dokter, tapi tetap saja. Apa yang kita kasih ke anak-anak atas rekomendasi seorang dokter anak bernama dokter Yanti.
Dulu, kami sempat pindah-pindah dokter karena anak-anak gak sembuh-sembuh. Bukan karena kami mengandalkan mereka, tapi, kami yakin Allah belum mempertemukan kami kepada dokter yang memang belum pas saja.
Bel rumah kami berbunyi, aku yakin itu dari abang ojol yang mengantar pesanan ayam gorengku.
Aku segera turun untuk menemui bapak yang ngantar makanan kami. Sekilas aku melihat ke arahnya. Mungkin umurnya sudah enam puluh tahunan, kulitnya hitam legam, peluh mengalir di pipi, juga lingkar hitam di sekitar mata. Aku jadi teringat papa yang sekarang masih masa recovery karena sakit kemarin.
“Terima kasih ya, Pak,” ucapku kepada Pak Jamawi nama yang ada di aplikasi.
“Sama-sama, Bu. Jangan lupa bintang limanya, Bu,” ucapnya sambil tersenyum senang. Aku memang menambahkan tip di pembayaran non tunai.
Sesederhana itu seorang driver ojek online memberikan senyum tulusnya. Aku jadi teringat kasus kemarin di rentalan suamiku. Walaupun kami sudah ikhlas akan itu, tapi betapa aku merasa dzolim akan nikmat yang sudah selama ini aku dapatkan. Kami sangat tidak kekurangan, dan bisa makan enak tanpa perlu keluar rumah.
Ya Allah... rasanya malu sekali.
Tidak sadar aku berdiri di depan pintu terlalu lama, bahkan aku tidak merasa menangis tapi, air mataku sudah luruh tanpa bisa dicegah.
“Bund,” ucap Pega membuyarkan lamunanku.
“Ya,” jawabku gugup sambil mengusap air mataku.
“Kenapa?”
“Enggak kenapa-kenapa, yuk!”
“Beli berapa?”
“Empat.”
“Iya.”
Pega naik lagi ke atas. Sedangkan aku masih di bawah untuk menyiapkan makan untuk dimakan di kamar. Ya beginilah kami, anak sakit semua aktivitas yang kita lakukan sama-sama seperti makan atau Pega yang mengerjakan apa yang aku gak tahu, atau aku menulis blog di waktu anak-anak tidur semua dilakukan di kamar. Karen selain khawatir kalau anak-anak mencari atau tiba-tiba nangis. Bahkan seringnya aku tidak masak atau tidak melakukan banyak hal yang menyita banyak waktu demi merawat anak-anak yang lagi sakit.
Aku rasa semua ibu di dunia ini punya cara mereka sendiri untuk merawat anak-anak mereka. Memang gak ada pakemnya, tapi semua hal yang mereka lakukan adalah yang terbaik untuk anak dan keluarga mereka.
Ah, jadi ibu memang semenyenangkan ini. Aku bahkan bisa menulis banyak hal di blog ku, atau menulis draft novelku. Tahu, kan? aku memang gak mudah untuk bercerita.
Menulis memang satu dari banyak hal yang aku tidak akan bosan. Walaupun aku seorang yang biasa-biasa saja. Aku bahkan tidak banyak hal yang aku kuasai, tapi mungkin aku bisa mencoba banyak hal di sini.
Pega tidak pernah melarang hobiku ini, dia hanya mengingatkan untuk tidak tidur terlalu malam. Wajar, sih. Karena kalau kesiangan dia gak dapat sarapan nasi.
Just I think.
Aku membawa nampan berisi nasi, lauk, lalapan, sambal, piring kosong yang aku tumpuk-tumpuk biar gak bolak-balik naik turun tangga.
“Makanan datang!” seruku saat aku masuk kamar.
“Waw ayam goreng. Baunya enak, Bunda,” ujar Imba sambil berusaha duduk. Netra yang masih lemas juga berusaha untuk duduk. Aku tahu mereka lapar, walaupun mungkin mulutnya pahit, mereka akan maksa untuk masuk makanan walaupun hanya beberapa sendok saja.
Mereka anakku, aku tahu mereka juga sedang berusaha sembuh. Bahkan Imba sering protes kalau waktunya minum obat. Mungkin mereka bosan karena seringnya minum obat.
“Eh, ada daun jambu,” ucap Pega tiba-tiba.
“Iya, itu kan sudah kemarin lupa ngeluarin dari kulkas,” jawabku sambil masih menyuapi Imba. Sedangkan Pega menyuapi Netra.
Ah, betapa beruntungnya aku.



---------------------

Satu keberuntungan yang kudapatkan dan merasa ini adalah keberuntungan yang tidak bisa  orang rasakan adalah hidup dengan kalian ber tiga. 
#DiRumahAja 
Love,
Rina Setyaningsih
--------------------