Bagaimana perasaanmu?
Seperti ingin bercerita tapi tak ada telinga yang bersedia. Seperti ingin
berteriak tapi suaranya tercekat di ambang tenggorokan. Seperti ingin menemukan
bahu untuk berkeluh tapi tak disangka ia ditolak dengan mengibaskan tangannya.
Dia meringkuk menengelamkan wajah di tekukan lutut, berderai menahan suara
tangis agar menulikan dan tidak dapat di dengar orang. Dadanya sesak ingin
meledak tapi tertahan, tercekat sampai tubuhnya bergetar hebat.
Sudah pukul lima pagi, tapi matanya masih nanar. Sayangnya jam segitu untuk
orang normal adalah sudah bangun dari tidurnya. Tapi Jingga, barang semenitpun
dia belum bisa mengistirahatkan netranya. Dia masih ingat beberapa jam lalu.
Seakan membungkus haru dalam penolakan yang nyata. Bahkan terdengar
menyepelakan atau tidak di butuhkan.
Dia memang sudah diciptakan hanya untuk mendengar bukan didengar. Dia hanya
akan seperti ini, tidak mempunyai kelebihan apapun. Contoh saja, dia selalu
merasa tidak pantas. Dia tidak cantik, berbadan besar, tinggi, berkulit coklat,
dia juga tidak pandai berdandan, dia juga tidak pinter-pinter amat, bahkan berambut
ikal cenderuung keriting.
Dulu, sering sekali orang mencemoohnya dengan fakta yang dia miliki. Tapi,
malam tadi, seseorang yang sangat berarti di hidupnya menolaknya dengan
terang-terangan. Kegundahannya gagal diceritakan, keresahannya dia telan
mentah-mentah. Suara parau sudah tidak legi terdengar parau.
Ingat sekali saat dia menikah, suaminya itu begitu sempurna di matanya.
Bahkan dengan terang-terangan ibu mertua atau keluaraga besar dengan gamblang
menyuarakan ketidaksetujuannya. Mereka bahkan sempat mengenalkan suaminya
dengan seseorang yang lebih cantik, lebih pinter, lebih seksi, dan lebih bisa
rapi daripada dirinya.
Belum cukup sampai di situ, dia harus menghadapi mantan pacar suaminya yang
rutin menerornya tiga tahun berturut-turut. Cemoohnya, bahkan dia memata-matai dan
memberiku tekanan walaupun tidak secara verbal.
Belum lagi, teman-temannya di kantor. Dia sering mendapatkan cemooh dari
rekan kerjanya dengan buruknya pengetahuannya tentang make up dan berpakaian.
Dia bahkan sering sekali medapatkan cemooh langsung dari atasanya.
Tidak ada yang memperhatikan, tidak ada yang mau mendengarnya, tidak ada
yang memberikan arahan. Semua itu di laluinya bertahun-tahun setelah menikah.
Jangan tanya dia punya berapa teman sampai sekarang. Bahkan dia sangat
kesulitan untuk menemukan teman yang benar-benar teman. Dia kira setelah
menikah dia akan punya teman bercerita dan dapat mendengarnya. Tapi pupus, saat
penolakan yang diterimanya.
Dia sekedar ingin berteriak dan menyairkan gumpalan sesak di dadanya saja
dia tidak mampu, apalagi dia berteriak di telinga suaminya itu. Dia pasti tidak
akan mampu. Suaminya adalah kelemahan yang nyata yang dia harus menerima untuk
dihadapi.
Dia tidak pernah tahan untuk marah lama, atau mengamuk di depannya.
Seterpaku itu Jingga dengan suaminya Pega.
Walaupun nyata perbedaan antara Pega dengan Jingga sebenarnya dia tidak
terlalu terganggu kalau tidak berurursan dengan Pega. Dia yang selalu takut
kehilangannya. Pega adalah laki-laki yang sangat membanggakan.
Bagaimana tidak? Dia tampan, walaupun umurnya sudah hampir kepala empat.
Sangat suka seni dan otomotif. Dia selalu berpikir logis dan masuk akal. Dia
mudah berteman dengan siapapun dari berbagai kalangan. Temannya banyak, royal,
juga banyak yang suka padanya. Dia adalah kebanggaan keluaraga. Setelah
ditinggal ayahnya dia menekan egonya untuk tidak sekolah tinggi dan untuk
menikah lebih dari umurnya saat teman-temannya sudah memiliki anak berumur
sepuluh sampai lima belas tahun dia baru punya anak berumur tiga tahun. Dia
dari keluaraga berada, dia juga tidak pernah di bully teman-temannya. Sangat
percaya diri dalam urusan apapun.
Dibanding aku?
Apa yang bisa dibanggakan dengan diriku ini. semua hal dari diriku rasanya
semua rata-rata dia tidak pernah tidak menyusahkan, dia belum bisa balas budi
ke orang tua, tidak bisa membantu saudara-saudaranya yang sedang kesulitan.
Sesak!
Dia ingin semua orang tahu, kalau dia sedang mengusahakan untuk menjadi
pantas. Dia ingin orang meliriknya sedikit tanpa embel-embel karena istrinya
Pega. Sayang, sekarang bahkan yang dia terima ini adalah sesuatu yang sangat
menyakitkan.
Apa sih yang ingin ia dengar, hanya jawaban yang menenangkan. Cukup dengan
berkata, ‘mereka anak kita, yang lahir bukan hanya dari darahmu. Tapi darahku
juga. Pasti mereka lebih mampu dari pada kita. Mereka lebih kuat dari kita.
Mereka lebih dan lebih baik dari kita. Kamu harus yakin, jangan meragukan
mereka’.
Sirna!
Suaminya tidak pernah berkata seperti itu, ketakutan akan pengalaman masa
lalu yang sulit ia terima adalah ketakutan yang nyata. Dia tidak tahu lagi
bagaimana mengungkapkannya. Ketidakenakannya dibully itu, benar-benar sangat
membekas di ingatannya.
Malam ini, Jingga melihat anaknya sedang bermain di rumahnya. Tidak sengaja
ia melihat dua orang teman anaknya tidak membiarkannya ikut bermain. Dia hanya
mengamati dari dapur.
“Kamu duduk saja, ini sepedanya aku yang boleh mainin sama Naufal sama
Sapta,” kata Anjani kepada Netra, anak pertamanya.
“Aku juga ingin main,” kata Imba menyahut percakapan kakak kembarnya itu.
“Eh, kamu gak boleh! Kamu sana saja, gak usah ikutan!” sahut Sapta menarik
tangan Anjani untuk memainkan mainan anak-anak Jingga.
Saat melihat itu, hati Jingga sangat sakit. Dia seperti melihat dirinya di
masa lalu. Dia tak kuasa meneteskan air matanya. Sejak kecil dia sangat
terbiasa mengalah dengan teman-temannya. Pura-pura tidak papa, tapi kalau orang
tuanya tidak melihat dia akan menangis tersedu-sedu.
Jingga kecil juga sering sekali ditindas untuk mengerjakan PR
teman-temannya. Walaupun predikat murid berprestasi di sekolah, tapi Jingga
sangat buruk dengan urusan bergaul dan bersosialisasi.
Terkadang ia membayangkan, bagaimana rasanya punya banyak teman dengan suka
rela tanpa dia melakukan apa-apa? Tapi, sampai menikahpun, dia banyak
mendapatkan penolakan.
Saat jam menunjukkan pukul empat pagi, dia masih terjaga, matanya sama
sekali enggan untuk diajak tidur. Walaupun pagi ini sedang hujan, ternyata
kegelisahannya masih merajainya dibanding rasa kantuk yang seharusnya sudah
menderanya.
Dia berniat memabangunkan suaminya untuk persiapan sholat subuh, juga
menceritakan kegelisahan yang bersarang di hatinya tentang perlakuan
teman-teman anaknya terhadap dua putri kesayangannya itu.
“Yang, bangun, sholat!” ajaknya sambil menggoyang-goyangkan bahunya.
“Iya, jam berapa sekarang?” tanya Pega, matanya belum terbuka sepenuhnya.
“Jam empat,” jawab Jingga lembut.
“Kamu bangun jam berapa? Kenapa sudah seger begitu?”
“Aku belum tidur, habis mandi.”
“Kenapa?”
“Kayaknya aku harus tambah satu lagi list doaku, yang.”
“Kenapa?”
“Semalam anak-anak lagi main di rumah, mereka ngajak teman-temannya. Terus,
mereka nggak di bolehin main mainannya sendiri. Aku jadi takut.”
“Takut apa?”
“Takut mereka bakalan dibully sama teman-temannya. Aku takut apa yang aku
alami mereka akan alami juga. Aku tahu bagaimana gak enaknya jadi aku dulu,
walaupun sekarang masih juga.”
“Mereka kan bukan kamu. Mereka lebih pinter dari kamu. Jangan sampai karena
kamu mikirnya begitu, itu malah jadi kenyataan buat mereka. Nggak usah ngomong
aneh-aneh. Sudah ah, aku mau mandi.” Sebelum Pega beranjak, Jingga sudah
beranjak duluan. Sebelum menutup pintu kamar dia berkata, “iya, aku yang salah.
Karena aku, semua karena aku. Sudah? Aku mau turun!” tanpa menoleh lagi Jingga
turun ke lantai satu.
Dia tidak bisa lagi menahan air matanya. Rasanya sakit sekali mendengar ini
dari suaminya. Dia ingin di dengar, dia ingin suaminya mengetahui perasaannya,
dia hanya tidak mau anaknya merasakan apa yang ia rasakan. Tapi, jawaban yang
diberikan suaminya malah menambah perasaan gelisah di hati Jingga.
Dari dulu, dia tidak pernah ada yang mau mendengarkan. Dia seperti terbiasa
diabaikan. Walaupun dia tidak mau, nyatanya semesta seperti memberikan ini
terus menerus. Tidak mengenal tempat, pengabaian dan sorak merendahkan seakan
seperti bayangan dari dirinya. Seburuk itu kah?
“Bund,” sapa Pega saat berada di ruang tamu. Hari ini hari minggu tentu
suaminya ini akan di rumah seharian.
“Apa?” jawab Jingga tanpa menoleh.
“Sarapan apa?”
“Aku nggak masak.”
“Kenapa? Kamu marah?”
“Mana bisa aku marah?”
“Aku minta maaf.”
“Salahmu apa? Kenapa minta maaf?” gelengan kepala adalah jawaban bahwa pria
di depannya ini belum tahu dia salah apa. Dengan menghela nafasnya kasar,
Jingga pergi ke lantai dua tanpa menoleh lagi.
“Dasar, nggak ada peka-pekanya jadi suami. Sudah menikah enam tahun, tetap
saja nggak tahu salahnya di mana,” gumamnya kesal sambil membanting pintu.
Harusnya aku tidak cerita apapun. Harusnya cukup aku tulis saja semua tanpa
berharap orang lain akan tahu dan berubah jadi peduli. Aku memang yang salah, berharap
rasa sesakku yang kutahan sendiri ini bisa terurai dan orang lain dapat
menerima pendapatku. Ternyata berceritapun dengan orang yang paling dekat tetap
saja berakhir kecewa.
Harusnya aku paham ini, dia tidak akan peduli dan gak akan mau tahu selama
itu adalah masalah keluargaku. Perihal perasaanku saja dia tidak peduli apalagi
menyangkut keluarga besarku.
Mungkin kalau itu adalah keluarganya
dia akan mati-matian berpikir bagaimana semua masalah akan teruarai. Tapi,
kalau sudah menyangkut keluargaku, dia akan menjadi orang lain yang tidak akan
pernah peduli dengan apapun. Mau sesedih apa yang kurasakan dia mungkin akan
pura-pura sibuk sendiri tanpa ingin capek-capek mendengarku berbicara. Just
like it, dan tetap akan seperti itu.
Manusia memang seegois itu. Kita ingin orang lain sedikit mengerti apa yang
sedang terjadi dengan kita. Ingat tidak? Kalau sebenarnya semua orang memang
maunya didengar tanpa mau repot-repot mendengarkan. Jangan terlalu percaya
diri! Hey! Kita gak sepenting apa yang kita bayangkan untuk mereka.
‘Lo siapa?’ Mungkin ini adalah pertanyaan mereka kalau kita protes dan
menuntut sesuatu dari orang lain. Dan lagi-lagi kita akan kecewa saat orang
yang kita anggap paling mengerti kita ternyata tidak lagi mau mendengar kita.
Ingatlah ini, jangan lagi-lagi kamu cerita apapun kepada makhluk hidup.
Cukup tulis saja di buku diarymu atau laptop kesayanganmu. Karena memang
mungkin mereka adalah benda yang mau menerima semua ceritamu. Tanpa menuntut,
tanpa meragukan, tanpa penolakan, dan tanpa ketakutan akan kecewa dengan
jawabannya. Karena mereka hanya akan diam menerima apapun yang kamu katakan.
Sepenggal cerita pagi ini, akan menjadi awal dari ceritaku di masa depan.
Aku juga gak tahu kapan ini akan selesai. Yang aku tahu, laptop kesayanganku
ini akan menjadi teman ceritaku selanjutnya. Stay tune for the next chapter.
-------------
Hai, semoga harimu baik.
Salam hangat,
Rina Setyaningsih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar