Selasa, 03 Maret 2020

Bab 1 || Listen


Bagaimana perasaanmu?
Seperti ingin bercerita tapi tak ada telinga yang bersedia. Seperti ingin berteriak tapi suaranya tercekat di ambang tenggorokan. Seperti ingin menemukan bahu untuk berkeluh tapi tak disangka ia ditolak dengan mengibaskan tangannya. Dia meringkuk menengelamkan wajah di tekukan lutut, berderai menahan suara tangis agar menulikan dan tidak dapat di dengar orang. Dadanya sesak ingin meledak tapi tertahan, tercekat sampai tubuhnya bergetar hebat.
Sudah pukul lima pagi, tapi matanya masih nanar. Sayangnya jam segitu untuk orang normal adalah sudah bangun dari tidurnya. Tapi Jingga, barang semenitpun dia belum bisa mengistirahatkan netranya. Dia masih ingat beberapa jam lalu. Seakan membungkus haru dalam penolakan yang nyata. Bahkan terdengar menyepelakan atau tidak di butuhkan.
Dia memang sudah diciptakan hanya untuk mendengar bukan didengar. Dia hanya akan seperti ini, tidak mempunyai kelebihan apapun. Contoh saja, dia selalu merasa tidak pantas. Dia tidak cantik, berbadan besar, tinggi, berkulit coklat, dia juga tidak pandai berdandan, dia juga tidak pinter-pinter amat, bahkan berambut ikal cenderuung keriting.
Dulu, sering sekali orang mencemoohnya dengan fakta yang dia miliki. Tapi, malam tadi, seseorang yang sangat berarti di hidupnya menolaknya dengan terang-terangan. Kegundahannya gagal diceritakan, keresahannya dia telan mentah-mentah. Suara parau sudah tidak legi terdengar parau.
Ingat sekali saat dia menikah, suaminya itu begitu sempurna di matanya. Bahkan dengan terang-terangan ibu mertua atau keluaraga besar dengan gamblang menyuarakan ketidaksetujuannya. Mereka bahkan sempat mengenalkan suaminya dengan seseorang yang lebih cantik, lebih pinter, lebih seksi, dan lebih bisa rapi daripada dirinya.
Belum cukup sampai di situ, dia harus menghadapi mantan pacar suaminya yang rutin menerornya tiga tahun berturut-turut. Cemoohnya, bahkan dia memata-matai dan memberiku tekanan walaupun tidak secara verbal.
Belum lagi, teman-temannya di kantor. Dia sering mendapatkan cemooh dari rekan kerjanya dengan buruknya pengetahuannya tentang make up dan berpakaian. Dia bahkan sering sekali medapatkan cemooh langsung dari atasanya.
Tidak ada yang memperhatikan, tidak ada yang mau mendengarnya, tidak ada yang memberikan arahan. Semua itu di laluinya bertahun-tahun setelah menikah. Jangan tanya dia punya berapa teman sampai sekarang. Bahkan dia sangat kesulitan untuk menemukan teman yang benar-benar teman. Dia kira setelah menikah dia akan punya teman bercerita dan dapat mendengarnya. Tapi pupus, saat penolakan yang diterimanya.
Dia sekedar ingin berteriak dan menyairkan gumpalan sesak di dadanya saja dia tidak mampu, apalagi dia berteriak di telinga suaminya itu. Dia pasti tidak akan mampu. Suaminya adalah kelemahan yang nyata yang dia harus menerima untuk dihadapi.
Dia tidak pernah tahan untuk marah lama, atau mengamuk di depannya. Seterpaku itu Jingga dengan suaminya Pega.
Walaupun nyata perbedaan antara Pega dengan Jingga sebenarnya dia tidak terlalu terganggu kalau tidak berurursan dengan Pega. Dia yang selalu takut kehilangannya. Pega adalah laki-laki yang sangat membanggakan.
Bagaimana tidak? Dia tampan, walaupun umurnya sudah hampir kepala empat. Sangat suka seni dan otomotif. Dia selalu berpikir logis dan masuk akal. Dia mudah berteman dengan siapapun dari berbagai kalangan. Temannya banyak, royal, juga banyak yang suka padanya. Dia adalah kebanggaan keluaraga. Setelah ditinggal ayahnya dia menekan egonya untuk tidak sekolah tinggi dan untuk menikah lebih dari umurnya saat teman-temannya sudah memiliki anak berumur sepuluh sampai lima belas tahun dia baru punya anak berumur tiga tahun. Dia dari keluaraga berada, dia juga tidak pernah di bully teman-temannya. Sangat percaya diri dalam urusan apapun.
Dibanding aku?
Apa yang bisa dibanggakan dengan diriku ini. semua hal dari diriku rasanya semua rata-rata dia tidak pernah tidak menyusahkan, dia belum bisa balas budi ke orang tua, tidak bisa membantu saudara-saudaranya yang  sedang kesulitan.
Sesak!
Dia ingin semua orang tahu, kalau dia sedang mengusahakan untuk menjadi pantas. Dia ingin orang meliriknya sedikit tanpa embel-embel karena istrinya Pega. Sayang, sekarang bahkan yang dia terima ini adalah sesuatu yang sangat menyakitkan.
Apa sih yang ingin ia dengar, hanya jawaban yang menenangkan. Cukup dengan berkata, ‘mereka anak kita, yang lahir bukan hanya dari darahmu. Tapi darahku juga. Pasti mereka lebih mampu dari pada kita. Mereka lebih kuat dari kita. Mereka lebih dan lebih baik dari kita. Kamu harus yakin, jangan meragukan mereka’.
Sirna!
Suaminya tidak pernah berkata seperti itu, ketakutan akan pengalaman masa lalu yang sulit ia terima adalah ketakutan yang nyata. Dia tidak tahu lagi bagaimana mengungkapkannya. Ketidakenakannya dibully itu, benar-benar sangat membekas di ingatannya.
Malam ini, Jingga melihat anaknya sedang bermain di rumahnya. Tidak sengaja ia melihat dua orang teman anaknya tidak membiarkannya ikut bermain. Dia hanya mengamati dari dapur.
“Kamu duduk saja, ini sepedanya aku yang boleh mainin sama Naufal sama Sapta,” kata Anjani kepada Netra, anak pertamanya.
“Aku juga ingin main,” kata Imba menyahut percakapan kakak kembarnya itu.
“Eh, kamu gak boleh! Kamu sana saja, gak usah ikutan!” sahut Sapta menarik tangan Anjani untuk memainkan mainan anak-anak Jingga.
Saat melihat itu, hati Jingga sangat sakit. Dia seperti melihat dirinya di masa lalu. Dia tak kuasa meneteskan air matanya. Sejak kecil dia sangat terbiasa mengalah dengan teman-temannya. Pura-pura tidak papa, tapi kalau orang tuanya tidak melihat dia akan menangis tersedu-sedu.
Jingga kecil juga sering sekali ditindas untuk mengerjakan PR teman-temannya. Walaupun predikat murid berprestasi di sekolah, tapi Jingga sangat buruk dengan urusan bergaul dan bersosialisasi.
Terkadang ia membayangkan, bagaimana rasanya punya banyak teman dengan suka rela tanpa dia melakukan apa-apa? Tapi, sampai menikahpun, dia banyak mendapatkan penolakan.
Saat jam menunjukkan pukul empat pagi, dia masih terjaga, matanya sama sekali enggan untuk diajak tidur. Walaupun pagi ini sedang hujan, ternyata kegelisahannya masih merajainya dibanding rasa kantuk yang seharusnya sudah menderanya.
Dia berniat memabangunkan suaminya untuk persiapan sholat subuh, juga menceritakan kegelisahan yang bersarang di hatinya tentang perlakuan teman-teman anaknya terhadap dua putri kesayangannya itu.
“Yang, bangun, sholat!” ajaknya sambil menggoyang-goyangkan bahunya.
“Iya, jam berapa sekarang?” tanya Pega, matanya belum terbuka sepenuhnya.
“Jam empat,” jawab Jingga lembut.
“Kamu bangun jam berapa? Kenapa sudah seger begitu?”
“Aku belum tidur, habis mandi.”
“Kenapa?”
“Kayaknya aku harus tambah satu lagi list doaku, yang.”
“Kenapa?”
“Semalam anak-anak lagi main di rumah, mereka ngajak teman-temannya. Terus, mereka nggak di bolehin main mainannya sendiri. Aku jadi takut.”
“Takut apa?”
“Takut mereka bakalan dibully sama teman-temannya. Aku takut apa yang aku alami mereka akan alami juga. Aku tahu bagaimana gak enaknya jadi aku dulu, walaupun sekarang masih juga.”
“Mereka kan bukan kamu. Mereka lebih pinter dari kamu. Jangan sampai karena kamu mikirnya begitu, itu malah jadi kenyataan buat mereka. Nggak usah ngomong aneh-aneh. Sudah ah, aku mau mandi.” Sebelum Pega beranjak, Jingga sudah beranjak duluan. Sebelum menutup pintu kamar dia berkata, “iya, aku yang salah. Karena aku, semua karena aku. Sudah? Aku mau turun!” tanpa menoleh lagi Jingga turun ke lantai satu.
Dia tidak bisa lagi menahan air matanya. Rasanya sakit sekali mendengar ini dari suaminya. Dia ingin di dengar, dia ingin suaminya mengetahui perasaannya, dia hanya tidak mau anaknya merasakan apa yang ia rasakan. Tapi, jawaban yang diberikan suaminya malah menambah perasaan gelisah di hati Jingga.
Dari dulu, dia tidak pernah ada yang mau mendengarkan. Dia seperti terbiasa diabaikan. Walaupun dia tidak mau, nyatanya semesta seperti memberikan ini terus menerus. Tidak mengenal tempat, pengabaian dan sorak merendahkan seakan seperti bayangan dari dirinya. Seburuk itu kah?
“Bund,” sapa Pega saat berada di ruang tamu. Hari ini hari minggu tentu suaminya ini akan di rumah seharian.
“Apa?” jawab Jingga tanpa menoleh.
“Sarapan apa?”
“Aku nggak masak.”
“Kenapa? Kamu marah?”
“Mana bisa aku marah?”
“Aku minta maaf.”
“Salahmu apa? Kenapa minta maaf?” gelengan kepala adalah jawaban bahwa pria di depannya ini belum tahu dia salah apa. Dengan menghela nafasnya kasar, Jingga pergi ke lantai dua tanpa menoleh lagi.
“Dasar, nggak ada peka-pekanya jadi suami. Sudah menikah enam tahun, tetap saja nggak tahu salahnya di mana,” gumamnya kesal sambil membanting pintu.


Harusnya aku tidak cerita apapun. Harusnya cukup aku tulis saja semua tanpa berharap orang lain akan tahu dan berubah jadi peduli. Aku memang yang salah, berharap rasa sesakku yang kutahan sendiri ini bisa terurai dan orang lain dapat menerima pendapatku. Ternyata berceritapun dengan orang yang paling dekat tetap saja berakhir kecewa.
Harusnya aku paham ini, dia tidak akan peduli dan gak akan mau tahu selama itu adalah masalah keluargaku. Perihal perasaanku saja dia tidak peduli apalagi menyangkut keluarga besarku.
 Mungkin kalau itu adalah keluarganya dia akan mati-matian berpikir bagaimana semua masalah akan teruarai. Tapi, kalau sudah menyangkut keluargaku, dia akan menjadi orang lain yang tidak akan pernah peduli dengan apapun. Mau sesedih apa yang kurasakan dia mungkin akan pura-pura sibuk sendiri tanpa ingin capek-capek mendengarku berbicara. Just like it, dan tetap akan seperti itu.
Manusia memang seegois itu. Kita ingin orang lain sedikit mengerti apa yang sedang terjadi dengan kita. Ingat tidak? Kalau sebenarnya semua orang memang maunya didengar tanpa mau repot-repot mendengarkan. Jangan terlalu percaya diri! Hey! Kita gak sepenting apa yang kita bayangkan untuk mereka.
‘Lo siapa?’ Mungkin ini adalah pertanyaan mereka kalau kita protes dan menuntut sesuatu dari orang lain. Dan lagi-lagi kita akan kecewa saat orang yang kita anggap paling mengerti kita ternyata tidak lagi mau mendengar kita.
Ingatlah ini, jangan lagi-lagi kamu cerita apapun kepada makhluk hidup. Cukup tulis saja di buku diarymu atau laptop kesayanganmu. Karena memang mungkin mereka adalah benda yang mau menerima semua ceritamu. Tanpa menuntut, tanpa meragukan, tanpa penolakan, dan tanpa ketakutan akan kecewa dengan jawabannya. Karena mereka hanya akan diam menerima apapun yang kamu katakan.
Sepenggal cerita pagi ini, akan menjadi awal dari ceritaku di masa depan. Aku juga gak tahu kapan ini akan selesai. Yang aku tahu, laptop kesayanganku ini akan menjadi teman ceritaku selanjutnya. Stay tune for the next chapter.


-------------

Hai, semoga harimu baik.

Salam hangat,
Rina Setyaningsih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar