Rabu, 11 Maret 2020

Bab 5 || Ibu


Hari Pega akhir-akhir ini sangat sibuk. Karena dia lagi mau ada job gede terkait bisnis rentalnya. Tapi sayangnya itu ada di Cirebon. Yang mengahruskannya tidak pulang untuk beberapa hari.
“Yang, harus banget, ya? Kenapa sih? Aku biasanya juga kamu tinggal sendirian gak papa. Aku sudah biasa. Kenapa harus ditemani ibu sih?”
“Kali ini aku gak tahu di sana berapa hari? Clientnya rewel. Mau ya?”
“Kamu mau nyiksa aku? ketemu ibu beberapa jam saja rasanya aku mau pulang, apalagi aku harus tinggal sama-sama. Bukannya aku menolak, tapi Yang... aku Cuma gak mau Ibu gak happy di sini!”
“Ini bukan aku yang minta. Ini ibu yang memang minta sendiri.”
“Ya kamunya cerita!”
“Aku ditanyain, Bund. Gak papa ya? Jangan ribut, aku akan cepat nyelesain urusannya. Ibu gak akan ngapa-apa kamu. Dia Cuma khawatir saja sama anak-anak.”
“Kenapa gak dari kemarin-kemarin sih ngomongnya? Aku kan belum beresin cucian, dapur, setrikaan, beli stok sayuran. Ibu kan gak bisa makan yang sudah di masak lama, pilih-pilih juga.” Aku memanyunkan bibirku karena masih kesal.
“Mau, ya?”
“Memang aku bisa nolak? Enggak, ‘kan?”
“Be kind!”
“Ya memang mau ngapain?”
“Aku tahu kamu bisa nakhlukin hati ibu.”
“Sudah dicoba tujuh tahun!”
“Ya kan belum nyerah juga, kan?”
“Buat kehilangan kamu?”
“Kok ngomong begitu?”
“Sabar memang senjata buat mencintai kamu, kan?”
“Makasih, ya?”
“Peluk.”
“Aku akan bawain batik nanti kalau pulang.”
“Buat ibu?”
“Sama kamu juga, biar kembaran. Biar dikira kompak.”
“Dih!”
“Ya sudah, itu buku sama album sudah dimasukin?”
“Sudah.”
Setelah itu aku menutup koper warna hitam yang akan ia bawa ke Cirebon. Tidak lupa tas slempang yang harus ada eToll, ATM, KTP, dan dompet. Kunci mobil, tumbler, dan kacang cap lima kelinci yang tidak boleh ketinggalan.
Aku cek dompetnya, sudah ada uang cash. Pega adalah orang yang paling malas tarik tunai ke ATM. Biasanya aku yang akan membantunya mengisi dompet. Aku kadang berpikir bagaimana dulu dia sebelum nikah? Hal-hal seperti ini saja harus aku yang nyiapin.
“Ibu kesini sama siapa?”
“Sama Sandy nanti dia yang akan anterin.”
“Dia nginep juga, ‘kan?”
“Menurut kamu?”
“Gak bakal.”
“Sudah, ya? Kamu ini kaya Ibu mau nelen kamu saja. Sudah ah, jangan mikir aneh-aneh. Jangan bikin khawatir.”
“Iya. Na... Salim Ayah dulu, sini!” seruku kepada dua anak kembarku yang sedang bermain sepeda di halaman rumah kami.
“Ayah, mau kemana?” tanya Imba yang sampai terlebih dahulu.
“Ayah kerja dulu, ya. Jagain Bunda,” jawab Pega sambil menggendong Imba.
“Ayah kok sendirian?”
“Kan, ayah kerja, bukan jalan-jalan.”
“Bunda, ayah kenapa kerja?”
“Karena itu sudah tugas ayah. Kaya bunda harus ngurus kamu, ngurus ayah, kaya begitu ayah harus ngurusin kita juga. Caranya kerja, biar dapat uang, biar kita bisa makan, beli-beli, sedekah, ngasih nenek, zakat, qurban.”
“Ayah kerja buat beli permen, dik!” sela Netra yang sudah berganti di gendongan Pega.
“Oo...”
“Ayah berngkat, ya.” Pege mencium Netra, lalu Imba, mendekat ke arahku. Mencium keningku, lalu memelukku. “baik-baik, ya.” Aku hanya mengangguk saja sebagai jawaban.
Setelah mobil Pega pergi, aku hanya menghela nafas pelan. “Oke dear, now help me to tidy up the house! Because grandma will come here.”
“Oke!” jawab anak-anakku serentak.
Aku mulai melakukan pencitraanku untuk meminimalisir komentar yang akan dilontarkan ibu mertuaku itu. Anak-anak membantuku membereskan mainannya, dan menjadi anak baik selama aku membereskan dapur, kamar dan cucian. Sungguh ini selalu terjadi kalau ibuku akan datang. Dan Pega akan selalu memaklumi kemampuan beres-beresku yang buruk. Dia sedikit protes, kalau mau dia akan membantuku membereskan apa yang mau ia kerjakan.
Setelah dua jam kami membereskan semuanya, saatnya mandi. Memebersihkan bekas debu dan keringat yang menempel dan membuat kami tidak nyaman. Saat aku sedang mengganti baju anakku, tiba-tiba bel berbunyi mungkin dia Sandy. Karena buru-buru aku melewatkan memberikan minyak telon dan menyisir rambut anak-anak.
Dengan celana dan kaos oblong aku turun dan membukakan pintu mereka. Benar saja Sandy dan ibu sudah ada di depan pintu.
“Maaf, tadi baru banget abis mandi, jadi agak lama karena pakai baju dulu,” ucapku sambil membuka pintu lebar-lebar.
“Gak papa Kak,” kata adikku yang langsung mencium tanganku.
“Bu, apakabar?” sapaku lalu meraih tangannya untuk aku cium.
“Di mana cucuku?” tanyanya sambil celingukan mencari keberadaan anak-anakku.
“Masih di atas, tadi baru banget mandi. Sebentar, saya panggilkan.” Belum aku naik, anak-anak sudah turun dengan penampilan apa adanya.
“Ya ampun cucu nenek! Kenapa jelek gini, sih? Belum disisirin ya sama bunda? Mana sini cium dulu.” Anak-anak mendekat lalu salim ke neneknya, “kenapa enggak wangi? Gak punya minyak telon bundamu? Dikemanain uang yang dikasih ayah?”
“Bu, tadi karena baru banget mandi terus-“
“Ini,” dengan mengangsurkan uang lima puluh ribuan kepadaku, “sana beli minyak telon di Mars market!”
“Bu, Jingga ada, kok!”
“Ada tapi kenapa gak dipakein?”
“Karena tadi buru-buru.”
“Udah jangan ngeles! Sana!”
“Iya, Bu.” Dengan langkah cepat aku buru-buru keluar dari rumahku. Sandy yang melihatku tergesa-gesa hanya tersenyum prihatin. Adik iparku itu pasti sudah hafal apa yang bisa membuatku begitu panik.
“Tenang, ini belum ada sejam,” gumamku dalam hati.”
Setelah mendapatkan minyak telon cap kaki gajah, aku segera keluar dengan buru-buru. Aku takut kalau akan terlambat sedikit saja, Ibu akan sedikit menyindirku. Aku tiba saat anakku sudah memakai bedak di wajahnya juga tidak lupa rambutnya yang berubah jadi kuncir dua. Oke, aku kalah.
“Bunda, lihat rambutku! Ada kuncirnya dua,” kata Imba girang.
“Iya, bagus banget! Siapa yang nguncir?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Nenek yang nguncir.”
“Bagus, jangan dilepas, ya!”
“Gak bakal dilepas, kan mereka cantik kalau rapi gini. Bundamu saja yang gak bisa!” sahut Ibuku disela percakapan kami.
“Iya. Ibu memang jago bikin cantik mereka,” balasku lebih lembut.
Dengan langkah gontai aku menuju dapur untuk membuat teh dan jus. Sandy memang lebih suka minum jus daripada teh dan kopi, katanya untuk kesehatan kulit.
“Ibu, ini tehnya. Ini ada jus juga, Ibu mau makan apa? Biar Jingga masakin.”
“Gak perlu, tadi Ibu bawa banyak makanan dari rumah Sandy.” Aku menoleh pada Sandy, dia menyatukan tangannya tanda permohonan maafnya. Aku tahu, ini pasti Ibu yang minta.
“Sand, makasih ya,” ucapku tulus. Sandy hanya mengangguk tanpa berani menyela obrolan kami.
“Kamu bisa masak sendiri apa yang kamu suka, gak usah Ibu mau makan apa?”
“Oh, iya.”
Aku berjalan ke arah kamar mandi. Pura-pura saja ke toilet, padahal di dalam aku hanya duduk dan memejamkan mata. Tuhan, aku mencintai Pega sepaket. Termasuk juga ibu yang menjadikan Pega ada di dunia ini. Terima kasih sudah memberiku Ibu mertua yang baik seperti Ibunya Pega. Aku mengatur nafasku, dan menormalkan deru nafasku, sekuat tenaga aku menahan air mata yang memaksa keluar dari kelopak mata. Aku benar-benar harus kuat, harus kelihatan happy aku gak boleh cengeng.
Setelah aku lebih tenang, aku keluar dari toilet. Melihat Sandy yang sidah rapi, aku yakin dia akan segera pulang.
“Kak, aku balik, ya. Hashid sudah nyariin.”
“Iya, makasih sudah ngantar Ibu.”
“Iya. Kak, maafin Ibu, ya?”
“Memang ibu kenapa?”
“Kak, tolong dimaklumi apa yang dikatakan Ibu.”
“Aku tahu. Gak usah khawatir tentang itu, udah bisa memakluminya. Sana, nanti Hashid nangis.”
“Ya sudah aku balik, ya?”
“Hati-hati, jangan ngebut!”
“I will.” Setelah kepergian Sandy, aku melihat ke atas. Langit begitu cerah, tapi kenapa aku malah semendung ini? lalu menyadari bahwa hari masih panjang sampai Pega pulang. Aku mengerang frustasi sambil mengacak-acak rambutku yang belum sempat aku sisir dari tadi.


----------------
Hiyakkkk!!!
Update lagiiihh :)

Love,
Rina Setyaningsih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar