Senin, 09 Maret 2020

Bab 4 || Be Kind

Sore ini, Pega pulang lebih awal. Dia memintaku untuk membuatkannya kopi hitam. Tidak biasanya dia pulang awal. Mungkin dia sudah menyelesaikan berbagai urusan kantor yang menguras waktu dan tenaganya. Aku bisa memaklumi itu.
            Pega adalah pemilik salah satu rental alat tembak untuk proyek pembuatan cluster dan beberapa petak rumah kontrakan yang ada di dekat rumah kami. Kehidupan kami biasa saja. Aku sebagai istrinya juga jarang menuntut sesuatu hal. Ada, satu. Buat Pega ini adalah chalange yang sering aku todong setiap kali kita mempunyai kesempatan.
            Peluk.
            Ya, hal yang menurutku sangat gampang untuk dilakukan tapi buat Pega ini adalah tantangan. Dia bukan orang yang mudah mengekspresikan sesuatu. Dia juga bukan orang yang suka menghamburkan kemesraan kami di depan orang lain, termasuk anak.
            “Yang, aku boleh tanya?” tanyaku saat kami sedang duduk di beranda rumah imut kami.
            “Apa?” jawabnya tanpa menoleh. Aku sudah terbiasa dengan ini selama tujuh tahun pernikahan kami, aku sungguh sudah bisa memakluminya.
            “Waktu itu kan, kita belum kenal banget. Umur kita juga jauh. Kenapa waktu itu gak nerima perjodohan yang dibuat tante Sarah?”
            “Yang mau nikah siapa?”
            “Ya, mungkin kan dia dulu lebih disuka ibu.”
            “Terus?”
            “Ya kenapa?”
            “Ya gak papa. Pengen nikahin kamu saja. lebih muda, ‘kan?”
            “Begitu?”
            “Iya, mau apa emangnya?”
            “Kamu mau jus? Aku buatin, ya?”
            “Boleh. Jambu saja, Bund. Ada?”
            “Ada, tunggu ya.”
            “Oke.” Seulas senyum ia tampilkan tanda ia berterima kasih.
            Saat aku masuk, anak-anak sedang bermain boneka kelinci kesayangannya. Kelinci yangmereja namai Putri sama Zakira itu, entah mengapa mereka sangat nempel sekali.
            “Aku mau minta permen, Bund,” kata Imba memperagakan boneka Zakiranya.
            “Sayang, permen itu bisa buat gigi ada monsterya,” sahut Netra dengan menggerak-gerakkan tangan Putri.
            “Aku kan gosok gigi pakai odol.”
            “Sayang, makannya sayur saja, biar giginya senang.”
            “Aa... aku gak suka sayur.”
            “Ya sudah, kita jalan-jalan saja yuk.”
            Aku terus memperhatikan tingkah anakku yang semakin hari semakin menggemaskan, walaupun terkadang suaraku naik dua oktaf tetap saja, mereka anak-anak yang nurut dan sangat penyayang.
            Memilikinyapun tak mudah, dua tahun setelah kami menikah, dua garis merah baru kami dapatkan. Walaupun sebenarnya sangat tidak menyangka akan di kasih dua sekaligus. Tapi, ini adalah anugrah dan kebahagiaan yang kami terima.
            Aku menuangkan jus jambu ke dalam empat wadah dengan berbeda ukuran. Cangkir imut berwarna biru dan pink untuk kedua anakku, satu jar untuk Pega dan satu gelas panjang untukku sendiri. Aku membawanya keluar.
            “Sayang, Bunda punya jus!” seruku kepada dua anakku yang membuat mereka berlari ke arahku.
            “Ini jus apa, Bunda?” tanya Netra.
            “Jus jambu, diminum, ya.”
            “Aku yang pink!” serunya lagi.
            “Aku suka warna biru,” sahut Imba mengambil gelasnya, yang memang ia suka.
            “Duduk ya,” pintaku pada mereka, “bismillah dulu.”
            “Bismillahirohmanirrohim. Aamiin...” ucapnya serentak.
            Aku tersenyum, suamiku yang diam saja itu masih tetap bergeming belum juga diraihnya jus jambu yang kubuat.
            “Yang, diminum.”
            “Iya, sebentar. Bund, lihat masa ini harganya segini?”
            “Apaan?”
            “Sendal jepit, kaya sandal wing kok harganya bisa dua ratus an ya?”
            “Ya bagus kali dia.”
            “Aku beli ini, ya?” aku menghela nafasku lelah. Dia memang begitu caranya sedikit merayuku.
            “Memang yang lama kenapa?”
            “Sudah tipis.”
            “Ya sudah beli saja.” Rasanya untuk merasa kesal dengan Pega adalah salah satu kesulitan yang aku punya. Dia sudah mendominasi kehidupanku melebihi anak-anakku. Hanya satu, Pega.
            Jadi, pertanyaan yang tadi aku ajukan darinya belum juga dijawab. Boro-boro dijawab, setelah menandaskan jusnya dan meletakkan hpnya, dia bangkit lalu menemani anak-anak bermain. Pega, yang secara sekilas memang lebih sayang anak-anak daripada aku.
Tunggu apakah ini sudah dijelaskan? Oke tunggu saja di bab berikutnya.
            Sampai kami sudah menidurkan anak-anak, pertanyaan yang sedari kusinggung masih ngawang di udara. Tidak mau dibahas, atau memberi tahuku. Dia bukannya tidak tahu aku masih penasaran, dia hanya tidak bisa mengekspresikan masalah hati seperti ini.
            Pega sudah memejamkan matanya, aku yang masih gulang-guling tidak nyaman masih di kasur. Entah pertanyaan yang belum pernah aku tanyakan kepada Pega sungguh sangat penasaran sebenarnya apa yang membuat dia mau mengenalku lalu datang melamar?
            “Kenapa sih?” gumamnya masih memejamkan matanya.
            “Gak papa, sleep tight,” ucapku pelan.
            Dia beringsut memelukku dari belakang. Memang posisiku memunggunginya. Lalu tangannya mengenggam jemariku, hangat, aku sangat suka.
            “Maafin ibu, ya?” katanya. Sontak badanku menegang, aku tidak menyangka Pega akan mengatakan itu.
            “Ibu gak salah, kenapa harus minta maaf?”
            “Bukannya kamu memikirkan kejadian di tempat Kakak?”
            “Enggak, aku sudah lupa. Lagian ibu sudah tua, aku gak mungkin marah sama dia, selama kamu percaya aku.”
            “Aku percaya kamu. Dan akan selalu begitu.”
            “Jadi?”
            “Jadi apa?”
            “Aku penasaran, kenapa kamu gak mau dijodohin sama cewek seksi yang dikenalin tante Sarah?”
            “Serius kamu gak tidur dari tadi cuma mau nanyain hal ini?”
            “Aku penasaran.”
            “Bund, sebenarnya ini kan gak perlu dibahas. Kamu adalah pilihanku. Walaupun sejuta orang melarang kita, kalau aku maunya kamu. Akan sia-sia juga usahanya. Mau mereka merinci kelemahanmu, kekuranganmu, aku lebih tahu duluan dari pada mereka. Aku akan punya sejuta alasan untuk tetap memilih kamu. Aku menikahimu sepaket dengan kelebihan dan kekuranganmu. Sepaket dengan kamu juga orang tua kamu. Orang lain mungkin berkata kamu adalah orang yang paling beruntung mendapatkanku. Tapi, di sini aku adalah orang yang paling beruntung karena mendapatkan kamu. Jadi, jangan memikirkan hal ini lagi ya.”
            “Ini Pega suamiku? Kok manis banget sih mulutnya? Abis makan gula?”
            “Sudah ah, tidur.”
            “Aku cinta banget sama kamu, Yang.”
            “Aku tahu.”
            “Sampai surga ya?”
            “Aku juga minta itu.”
            “Cium.”
            Pega mendaratkan bibirnya di keningku lama. Seakan mentransfer kehangatan yang selalu aku dapatkan di saat aku mulai ragu dengan diriku sendiri. Terima kasih Tuhan yang mau menjodohkan Pega dengan orang sepertiku.
            This is the night the angels drop their happinness for me. Thank you for your love.




------------------

Happy reading! 

Love,
Rina Setyaningsih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar