Sore ini, Pega
pulang lebih awal. Dia memintaku untuk membuatkannya kopi hitam. Tidak biasanya
dia pulang awal. Mungkin dia sudah menyelesaikan berbagai urusan kantor yang
menguras waktu dan tenaganya. Aku bisa memaklumi itu.
Pega adalah pemilik salah satu
rental alat tembak untuk proyek pembuatan cluster dan beberapa petak rumah
kontrakan yang ada di dekat rumah kami. Kehidupan kami biasa saja. Aku sebagai
istrinya juga jarang menuntut sesuatu hal. Ada, satu. Buat Pega ini adalah
chalange yang sering aku todong setiap kali kita mempunyai kesempatan.
Peluk.
Ya, hal yang menurutku sangat
gampang untuk dilakukan tapi buat Pega ini adalah tantangan. Dia bukan orang
yang mudah mengekspresikan sesuatu. Dia juga bukan orang yang suka
menghamburkan kemesraan kami di depan orang lain, termasuk anak.
“Yang, aku boleh tanya?” tanyaku
saat kami sedang duduk di beranda rumah imut kami.
“Apa?” jawabnya tanpa menoleh. Aku
sudah terbiasa dengan ini selama tujuh tahun pernikahan kami, aku sungguh sudah
bisa memakluminya.
“Waktu itu kan, kita belum kenal
banget. Umur kita juga jauh. Kenapa waktu itu gak nerima perjodohan yang dibuat
tante Sarah?”
“Yang mau nikah siapa?”
“Ya, mungkin kan dia dulu lebih
disuka ibu.”
“Terus?”
“Ya kenapa?”
“Ya gak papa. Pengen nikahin kamu
saja. lebih muda, ‘kan?”
“Begitu?”
“Iya, mau apa emangnya?”
“Kamu mau jus? Aku buatin, ya?”
“Boleh. Jambu saja, Bund. Ada?”
“Ada, tunggu ya.”
“Oke.” Seulas senyum ia tampilkan
tanda ia berterima kasih.
Saat aku masuk, anak-anak sedang
bermain boneka kelinci kesayangannya. Kelinci yangmereja namai Putri sama
Zakira itu, entah mengapa mereka sangat nempel sekali.
“Aku mau minta permen, Bund,” kata Imba
memperagakan boneka Zakiranya.
“Sayang, permen itu bisa buat gigi
ada monsterya,” sahut Netra dengan menggerak-gerakkan tangan Putri.
“Aku kan gosok gigi pakai odol.”
“Sayang, makannya sayur saja, biar
giginya senang.”
“Aa... aku gak suka sayur.”
“Ya sudah, kita jalan-jalan saja
yuk.”
Aku terus memperhatikan tingkah
anakku yang semakin hari semakin menggemaskan, walaupun terkadang suaraku naik
dua oktaf tetap saja, mereka anak-anak yang nurut dan sangat penyayang.
Memilikinyapun tak mudah, dua tahun
setelah kami menikah, dua garis merah baru kami dapatkan. Walaupun sebenarnya
sangat tidak menyangka akan di kasih dua sekaligus. Tapi, ini adalah anugrah
dan kebahagiaan yang kami terima.
Aku menuangkan jus jambu ke dalam
empat wadah dengan berbeda ukuran. Cangkir imut berwarna biru dan pink untuk
kedua anakku, satu jar untuk Pega dan satu gelas panjang untukku sendiri. Aku
membawanya keluar.
“Sayang, Bunda punya jus!” seruku
kepada dua anakku yang membuat mereka berlari ke arahku.
“Ini jus apa, Bunda?” tanya Netra.
“Jus jambu, diminum, ya.”
“Aku yang pink!” serunya lagi.
“Aku suka warna biru,” sahut Imba
mengambil gelasnya, yang memang ia suka.
“Duduk ya,” pintaku pada mereka,
“bismillah dulu.”
“Bismillahirohmanirrohim. Aamiin...”
ucapnya serentak.
Aku tersenyum, suamiku yang diam
saja itu masih tetap bergeming belum juga diraihnya jus jambu yang kubuat.
“Yang, diminum.”
“Iya, sebentar. Bund, lihat masa ini
harganya segini?”
“Apaan?”
“Sendal jepit, kaya sandal wing kok
harganya bisa dua ratus an ya?”
“Ya bagus kali dia.”
“Aku beli ini, ya?” aku menghela
nafasku lelah. Dia memang begitu caranya sedikit merayuku.
“Memang yang lama kenapa?”
“Sudah tipis.”
“Ya sudah beli saja.” Rasanya untuk
merasa kesal dengan Pega adalah salah satu kesulitan yang aku punya. Dia sudah
mendominasi kehidupanku melebihi anak-anakku. Hanya satu, Pega.
Jadi, pertanyaan yang tadi aku
ajukan darinya belum juga dijawab. Boro-boro dijawab, setelah menandaskan
jusnya dan meletakkan hpnya, dia bangkit lalu menemani anak-anak bermain. Pega,
yang secara sekilas memang lebih sayang anak-anak daripada aku.
Tunggu apakah
ini sudah dijelaskan? Oke tunggu saja di bab berikutnya.
Sampai kami sudah menidurkan
anak-anak, pertanyaan yang sedari kusinggung masih ngawang di udara. Tidak mau
dibahas, atau memberi tahuku. Dia bukannya tidak tahu aku masih penasaran, dia
hanya tidak bisa mengekspresikan masalah hati seperti ini.
Pega sudah memejamkan matanya, aku
yang masih gulang-guling tidak nyaman masih di kasur. Entah pertanyaan yang
belum pernah aku tanyakan kepada Pega sungguh sangat penasaran sebenarnya apa
yang membuat dia mau mengenalku lalu datang melamar?
“Kenapa sih?” gumamnya masih
memejamkan matanya.
“Gak papa, sleep tight,” ucapku
pelan.
Dia beringsut memelukku dari
belakang. Memang posisiku memunggunginya. Lalu tangannya mengenggam jemariku,
hangat, aku sangat suka.
“Maafin ibu, ya?” katanya. Sontak
badanku menegang, aku tidak menyangka Pega akan mengatakan itu.
“Ibu gak salah, kenapa harus minta
maaf?”
“Bukannya kamu memikirkan kejadian
di tempat Kakak?”
“Enggak, aku sudah lupa. Lagian ibu
sudah tua, aku gak mungkin marah sama dia, selama kamu percaya aku.”
“Aku percaya kamu. Dan akan selalu
begitu.”
“Jadi?”
“Jadi apa?”
“Aku penasaran, kenapa kamu gak mau
dijodohin sama cewek seksi yang dikenalin tante Sarah?”
“Serius kamu gak tidur dari tadi
cuma mau nanyain hal ini?”
“Aku penasaran.”
“Bund, sebenarnya ini kan gak perlu
dibahas. Kamu adalah pilihanku. Walaupun sejuta orang melarang kita, kalau aku
maunya kamu. Akan sia-sia juga usahanya. Mau mereka merinci kelemahanmu,
kekuranganmu, aku lebih tahu duluan dari pada mereka. Aku akan punya sejuta
alasan untuk tetap memilih kamu. Aku menikahimu sepaket dengan kelebihan dan
kekuranganmu. Sepaket dengan kamu juga orang tua kamu. Orang lain mungkin
berkata kamu adalah orang yang paling beruntung mendapatkanku. Tapi, di sini
aku adalah orang yang paling beruntung karena mendapatkan kamu. Jadi, jangan
memikirkan hal ini lagi ya.”
“Ini Pega suamiku? Kok manis banget
sih mulutnya? Abis makan gula?”
“Sudah ah, tidur.”
“Aku cinta banget sama kamu, Yang.”
“Aku tahu.”
“Sampai surga ya?”
“Aku juga minta itu.”
“Cium.”
Pega mendaratkan bibirnya di
keningku lama. Seakan mentransfer kehangatan yang selalu aku dapatkan di saat
aku mulai ragu dengan diriku sendiri. Terima kasih Tuhan yang mau menjodohkan
Pega dengan orang sepertiku.
This is the night the angels drop
their happinness for me. Thank you for your love.
------------------
Happy reading!
Love,
Rina Setyaningsih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar