Kamis, 12 Maret 2020

Bab 7 || Merindukanku?


Haruskah aku bahagia? Saat tangan hangat sudah melingar memelukku dari belakang bersama tarikan nafas yang teratur. Aku tersenyum lalu meniup wajahnya pelan, lalu mencium pipinya dan membalas pelukannya barang beberapa detik.
“Kamu sudah pulang?” tanyaku saat berbalik.
“Miss me?” gumamnya masih dengan memejamkan matanya
“Kapan aku gak merindukanmu?”
“Kamu gak papa kan di rumah?”
“Memang harusnya kenapa?”
“Aku lebih seneng kalau kamu gak kenapa-napa.”
“Ya aku gak papa.”
“Ibu-“
“Baik, ibu happy banget main sama anak-anak.”
“Terima kasih, ya?”
“Iya.”
Ditinggal dua hari saja rasanya begini, aku gak bisa membayangkan aku sendirian tanpa Pega. Atau tidak bisa membayangkan Pega ada tanpa aku. Ah, pikiran ini selalu saya nempel di otak. Kalau Pega tahu biasanya bakal marah. Yang berat dari rindu memang rasa ingin bertemu itu. Sudah ketemu makin sayang. Hahaha...
“Aku masak dulu, ya?” pintaku kepada Pega lalu membisikkan ke telinganya, “aku cinta kamu.” Lalu mendaratkan bibirku ke pipinya singkat yang berakhir Pega malah mengeratkan pelukan kami.
“Lima menit lagi, ya?” pintanya sambil tersenyum tanpa membuka matanya.
“Dan aku tidak akan menolak kan kalau dipeluk?”
Entah bagaimana, dulu awal-awal menikah rasanya aku gak begitu sejatuh cinta ini, entah bagaimana rasanya setiap detak bertambah rasanya aku makin jatuh cinta sama orang yang akan selalu cuek kalau aku sedang mode cerewet kaset rusak.
Aku yang selalu bisa cuek kaya dia tapi nyatanya malah tambah parah baperannya. Kadang suka mikir kalau misalkan aku cuek pasti gak akan selalu memikirkan hal-hal yang gak penting, gak akan capek-capek energi terkuras buat sesuatu yang harus cepet-cepet dillupain. Tapi kalau aku cuek mungkin gak akan berjodoh dengan Pega. Dasar manusia banyak maunya!
Jadi tadi sudah lima menit belum? Aku bangkit, membangunkan anak-anak dengan sedikit iming-iming akan aku buatkan susu dengan nasi goreng mereka langsung bergegas duduk lalu turun. Dua cara untuk membangunkan anak-anak dengan cepat, dengan permen atau dengan nasi goreng. Aku yakin mereka langsung beranjak dari kasur.
Saat aku dan anak-anak turun ibu sudah ada di dapur. Entah dia sedang masak apa aku tidak mau berkomentar banyak. Untuk meminimalisir kalau-kalau ucapanku membuat ibu marah atau tersinggung.
“Selamat pagi, Bu,” ucapku sambil menuang air putih ke gelas.
“Kamu itu suami mau pulang bukannya ditungguin malah ditinggal tidur. Coba saja kalau sampai tadi malam Pega harus tidur di luar? Untung Ibu dengar suara bel, kalau enggak bagaimana coba?” semburnya langsung tanpa tedeng aling-aling.
“Pega gak ngasih tahu kalau pulang tadi malam, Bu.”
“Ya itu karena kamu gak tanya.”
“Tapi, Bu-“
“Kamu itu suka sekali ngeles, kalau salah bilang salah, ngaku salah, gak diajarin sama orang tua kamu, ya?” kesal ibu lalu mematikan kompor dan pergi.
“Maafin saya, Bu,” ucapku sebelum ibu benar-benar hilang dibalik pintu kamar.
Aku hanya menghela nafas, memejamkan mataku agar aku tidak emosi. Ini masih pagi, tapi aku sudah seperti ini. Bukannya sebelumnya aku bahagia bukan main? Bukannya tadi Pega berterima kasih untuk ‘tidak papa atas sikap ibu’.
Aku harus seperi apa? Akankah aku bercerita kepada Pega apa yang terjadi beberapa hari ini? apakah aku bisa bercerita hal macam ini kepada Pega? Semua yang berurusan dengan Pega adalah kelemahanku. Aku gak mau dia merasa bimbang antara aku istrinya atau ibunya. Aku sebagai istrinya harus bisa menjaga hal itu, bagaimanapun tanpa ibu tidak akan ada Pega yang cuek tapi tetap aku sayang itu.
Aku harus bisa mengontrol emosiku. Tenang... tenang... sabar... sabar... tarik nafas... keluarkan pelan-pelan. Ya, orang tua adalah orang tua. Bagaimanapun kita adalah anaknya, wajib untuk menghormati apapun yang ia bicarakan. Biar saja waktu yang akan menjawab kenapa ibu selalu tidak suka aku.
Walaupun lima tahun yang lalu kami mengalami krisis yang mencekek sampai kira-kira empat tahunan, lalu kami jarang ngasih uang ibu misalkan ngasih hanya sedikit adalah pemicu utama sikap ibu terhadapku. Bukan nuduh, ini hanya perkiraanku saja. Karena dulu sebelum aku ikut ibu untuk beberapa bulan, ibu tidak seperti itu sikapnya.
Aku yang jarang sekali ngomongin ibu sama Pega, membuat Pega tidak tahu menahu. Sampai saat Pega mendengar sendiri apa yang diucapkan ibu terhadapku di depannya langsung.
Sekarang, ibu lebih seperti itu kalau tidak ada Pega. Kalau ada, dia akan bersikap manis dan baik sekali terhadapku. Jadi, tidak ada alasan apapun untukku bercerita dengan Pega. Kemungkinan Pega tahu juga ada, tapi kami hanya diam saja tanpa membahas apapun yang terlalu jauh.
Oke, sekarang aku harus apa biar gak awkward? Masak? Aku menilik di dapur, ibu sudah ngungkep ayam. Oke mari kita teruskan aktivitas ibu yang ditinggal begitu saja. Nai kuning mungkin ide yang bagus buat sarapan pagi ini. Mungkin ibu akan suka nasi kuning juga, ‘kan?
Setelah satu jam, siaplah semua masakan di meja makan. Nasi kuning dengan lalapan timun selada, lauk telur dadar, ayam goreng, yang disempurnakan oleh kacang tanah yang digoreng, sambel, dan krupuk gak ketinggalan teh hangat untuk ibu dan kopi untukku dan Pega. Bukankah ini tidak sarapan komplit dan tidak buruk? Semoga gak dapat nilai D- lagi ya.
Ibu belum juga keluar. Entah apa yang dilakukannya di dalam aku juga tidak mau tahu. Diam adalah caraku untuk meminimalisir semua supaya ibu nyaman di sini. Aku mengajak kembar untuk mandi di atas. Saat aku masuk ke kamar, ternyata Pega sudah mandi dengan kaos rumahan dan celana selutut. Suamiku ini memang punya aura yang memikatku hanya karena dia sudah mandi.
“Mau mandi?” tanyanya sambil mengusap rambutnya yang masih basah dengan handuk.
“Mandiin anak-anak,” jawabku dengan senyum senang.
“Masak apa?”
“Nasi kuning. Mau, ‘kan?”
“Mau saja, kan kamu yang masak.”
“Tadi dibantuin ibu, sih.”
“Oh, ya?”
“Iya.”
“Ibu di mana?”
“Di kamar. Capek kali abis ngungkep ayam.”
“Bund.”
“Ya?”
“Sini!”
“Ada apa?” tanyaku bingung tapi tetap berjalan menghampirinya.
“Ini muka kenapa, sih? Ada angus di pipi begini,” katanya sambil mengusap angus yang kemungkinan dari pantat panci yang kugosok tadi. Wajahku tiba-tiba panas, diginiin saja rasanya sudah happy begini.
“Oh, mungkin karena tadi abis gosok panci.”
“Ya sudah, sana mandi! Aku ke bawah duluan, ya?” aku mengangguk dia lalu pergi. Haduh jantungku kenapa berdebar-debar gini? Dia kan suamiku sudah tujuh tahun. Tetap saja hal-hal manis kaya tadi gak selalu Pega tunjukkan kepadaku. Jadi, beginilah aku kalau lagi kena serangan dadakan.
.
Pega yang turun sempat terkejut dengan makanan yang sudah istrinya siapkan itu. Sungguh Jingga jarang sekali masak besar kaya gini. Lalu dia beralih ke pintu tempat kamar ibunya berada.
“Bu...” panggilnya sambil mengetuk pintu kamar.
“Masuk saja,” jawab ibu dari dalam.
“Ibu lagi apa?”
“Lagi ngasih minyak ini, kaki ibu sakit lagi.”
“Sini Pega bantu. Harusnya tadi gak usah bantuin masak, Ibu jadi capek gini kan?”
“Istrimu cerita.”
“Iya, dia kelihatan seneng makanya masak banyak begitu. Mungkin karena Ibu di sini, makanya di spesialin.”
“Oh.”
“Bu, maafin Jingga kalau ada salah sama Ibu, ya?”      
“Dia cerita apa?”
“Dia gak cerita apa-apa sama Pega.”
“Ibu tinggal lebih lama, ya?”
“Enakan di rumah sendiri, Ga.”
“Di sini kan rumah Ibu, juga?”
“Di sini Ibu gak bisa nanam-nanam, gak ada lahan.”
“Ya sudah, bagaimana Ibu happy saja.”
“Ga, maafin Ibu kalau Ibu sedikit gak menyenangkan istrimu.”
“Dia happy banget kelihatannya, Ibu di sini. Kenapa Ibu minta maaf?”
“Ibu hanya merasa gak enak saja tinggal di sini lama.”
“Kan Pega yang minta Ibu nemenin Jingga. Ibu gak usah bahas-bahas kaya begitu lagi, ya? Keluar yuk! Sarapan.”
Lalu anak dan Ibu itu keluar dari kamar. Bersamaan dengan Jingga yang turun dengan celana kulot dan kaos rumahan, wangi rose langsung tercium saat Jingga sudah ikut duduk di meja makan. Anak-anak yang sudah duduk dan meraih gelas susu mereka, juga tidak luput dari penglihatan Pega.
Jingga kemudian bangkit mengambilkan nasi Pega, dan diterima Pega dengan senyum tulus. Kemudian dia mengambilkan mertuanya itu dengan porsi nasi yang lebih sedikit dari yang diberikannya kepada Pega. Ibu menerima dengan mengucapkan terima kasih.
“Masak banyak begini memang gak akan mubazir?” kata Ibu dengan melihat semua masakan Jingga.
“Enggak, Bu. Ini kan kelihatan banyak karena banyak perintilannya. Ini cuma sepaket saja kok, Bu,” jawab Jingga dengan senyuman.
“Masak itu secukupnya saja. Masak terlalu banyak selain mubazir juga akan boros.”
“Bu, tadi Pega yang minta dimasakin ini, kok! Ibu gak keberatan, ‘kan? sarapan pakai ini?” sela Pega di antara percakapan anak dan mantu itu.
“Oh, kamu yang minta.”
“Iya.”
Lalu mereka mengalihkan pembicaraan tentang pekerjaan Pega yang ada di Cirebon kemarin.
Terima kasih buat Pega karena tahu apa yang seharusnya ia lakukan saat Jingga tidak tahu lagi harus mengatakan apa. Tanpa mereka sadari satu tetes darah bening keluar dari mata Jingga. Entah apapun yang ia lakukan yang harusnya mertuanya itu senang, selalu berakhir dia yang terpojok dengan merasa bersalah. Dan entah sampai kapan akan terus seperti ini?


-----------

Komen di bawah yah...
Kritik dan saran sangat dinanti :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar