Kamis, 12 Maret 2020

Bab 6 || More patient


Hari kedua bersama Ibu mertua adalah pengalaman yang amat sangat menyenangkan dan membuatku lebih semangat, cekatan, dan cerdas dalam waktu bersamaan. Bagaimana tidak? Aku harus bisa diluar ekspektasinya, dalam artian lebih baik, bukan?
Dua hari seperti dua tahun kalau Pega gak ada kaya gini. Rasanya kangen sekali melihat suami cuek bebekku yang gak pulang-pulang itu. Malam ini gerimis, sedikit dingin, biasanya kalau suasana kaya gini aku dan Pega akan memakan mie instan hangat-hangat dengan irisan cabe juga beberapa lembar daun bayam dan telur ayam yang membuat hidangan yang gak begitu sehat itu menjadi lebih nikmat.
Anak-anak sudah tidur, aku juga sudah menyelesaikan telponku kepada Pega. Suami tersayangku itu bahkan tidak memberi tahuku kapan akan pulang. Menyebalkan!
Iseng aku turun, niat ingin mengisi tumbler dengan air putih. Tapi ternyata aku bertemu ibu mertuaku yang belum juga tidur. Ternyata dia sedang menonton sinetron sambil memakan beberapa kacang tanah yang tadi sore sempat kurebus.
“Bu, belum tidur?” tanyaku saat sudah ada di sampingnya.
“Belum, kenapa?” jawabnya yang masih tidak mengalihkan pandangannya.
“Sudah malam, sebaiknya Ibu istirahat.”
“Sebentar lagi.”
“Ibu mau makan sesuatu lagi?”
“Jingga, Ibu tahu kamu sudah jadi istri Pega anak saya. Tapi, walaupun begitu jangan sok baik dengan saya. Saya tahu bagaimana seluk beluk keluargamu. Saya sebenarnya tidak setuju kamu yang akan menjadi istri anak saya. Tapi, bagaimanapun anak saya memilih kamu jadi istrinya.
Kamu tahu Jingga? Orang tuamu seperti apa? Bagaimana dengan ekonomi mereka? kamu seharusnya sadar lebih awal bahwa kamu itu tidak cukup pantas untuk keluarga kami. Kenapa kamu begitu gigih mendapatkan anak saya? Apa karena dia kaya?”
“Bu, saya gak seperti yang ibu pikir. Saya sama sekali tidak memandang berapa banyak uang yang dipunya Pega. Saya tulus mencintainya.”
“Kamu memang pandai berakting, mungkin keluargamu yang mengajarimu seperti ini?”
“Bu, Ibu boleh melakukan apapun terhadap saya, tapi saya mohon jangan membawa keluarga saya dalam apapun pembicaraan kita. Mau bagaimanapun mereka tidak bersalah. Mereka tidak seperti yang Ibu tuduhkan.”
“Pembelaan yang tidak bermutu. Jingga, kamu harus mengajari anak saya lebih baik dari orang tuamu mengajarimu.”
“Bu, apa Ibu gak suka saya karena saya dari keluarga miskin? Apa Ibu tidak melihat sedikit saja ketulusan saya terhadap Pega? Saya benar-benar sangat mencintai Pega, Bu. Saya akan memperbaiki apapun untuk Ibu bisa melihat saya.”
“Maka, buktikan apa yang kamu katakan.” Setelah mengatakan itu, Ibu beranjak lalu pergi menuju kamar.
Aku yang masih terpaku atas pembicaraan kami barusan. Aku yang tidak percaya setelah tujuh tahun pernikahan, Ibu baru mengatakan itu terhadapku. Bahkan aku sangat terkejut dengan apa yang Ibu katakan terhadap keluargaku. Ini benar-benar kejutan untuk jantung dan hatiku.
“Pega, kapan kamu pulang? Aku rindu, aku kuat seperti yang kamu katakan, ‘kan?” gumamku pelan sambil mengusap air mata yang entah sejak kapan keluar dari kelopok mataku.
Aku merasa aku sudah melakukan apa yang terbaik sebisaku. Aku sudah tidak mau menganggap penolakan yang dilakukan ibu. Walaupun hati kecilku terus meronta, meminta aku untuk jujur terhadap diriku sendiri. Aku mencoba untuk menampik apa yang sedang aku rasakan.
Rasanya semakin hari aku bersama Ibu, semakin aku menambah dosaku terhadapnya. Aku tidak mau seperti ini. Tapi, kenapa ibu harus sejujur itu mengatakan isi hatinya tentang keluargaku? Serendah itukah? Atau apapun yang terjadi di masa lalu, sebenarnya itu semua bukan urusanku. Aku bahkan tidak ikut andil di dalamnya. Bukannya tuduhan itu adalah masalah orang tua?
Tapi, siapa yang mau tahu? Siapa yang mau mendengar penjelasan. Bukannya sekarang adalah jaman di mana pembohong akan lebih dipercaya daripada orang mengatakan benar?
Bukan!
Aku bukan mau membela diriku sendiri, aku hanya mengatakan apa yang ada di dalam hatiku. Aku hanya akan bererita kepada diriku sendiri. Aku tidak akan mengatakan apa yang terjadi antara aku dan ibu kepada Pega. Aku gak mau dicap tukang ngadu atau perusak hubungan antara anak dan ibu. Aku gak se tolol itu.
Semua yang serba pas-pasan yang ada di dalam diriku ini, aku sedang memperjuangkan untuk value diriku sendiri. Aku hanya ingin orang mendengarku, aku hanya ingin mereka melihatku, aku hanya ingin jujur terhadap mereka-mereka yang sering menayaiku, ‘kamu kenapa?’ yang akan berakhir dengan jawaban ‘aku tidak papa.’ Hanya seperti itu, apakah itu sulit? Untukmu para pembaca, mungkin ini adalah bagian yang mudah, sungguh ini sangat sulit bagiku.
Bercerita kepada orang akan selalu berakhir dengan penolakan atau mereka hanya sekedar ingin tahu. Mereka tidak benar-benar tulus ingin mendengarmu. Jika apa yang kamu ceritakan tidak menarik untuk mereka, maka mereka akan mengabaikanmu. Dan mengeluarkan suara-suara tangis pilumu dari telinga mereka.
Cukup!
Jangan banyak bicara kepada manusia yang lebih banyak akan berakhir dengan kecewa. Ada Tuhan, yang tidak akan menolakmu bagaimanapun keadanmu. Dia yang punya hati kita, yang punya jiwa kita, perasaan kita. Dia yang mampu membolak-balikkan semuanya.
Kemungkinan yang hampir tidak adapun Ia bisa melakukannya, apalagi hanya dengan sebuah hati yang pemiliknya disebut manusia. Yang terkadang angkuh luar biasa. Yang membuat patah harapan walaupun dengan satu kata.
Berdoalah!
Apa kamu masih meragukannya?
Alright, let’s prove it with me.
This isn’t a joke that’s often in soap operas. This is real world. When we’re sick it really hurts. Then, with this attitude, how could I survive if it wasn’t for God’s permission. Once again I say, I can survive because of the power of love, and also truly God’s permission. So you have the same problem as me, please don’t never give up.


----------------

Love,
Rina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar