Hari kedua bersama Ibu mertua adalah pengalaman yang amat sangat
menyenangkan dan membuatku lebih semangat, cekatan, dan cerdas dalam waktu
bersamaan. Bagaimana tidak? Aku harus bisa diluar ekspektasinya, dalam artian
lebih baik, bukan?
Dua hari seperti dua tahun kalau Pega gak ada kaya gini. Rasanya kangen
sekali melihat suami cuek bebekku yang gak pulang-pulang itu. Malam ini
gerimis, sedikit dingin, biasanya kalau suasana kaya gini aku dan Pega akan
memakan mie instan hangat-hangat dengan irisan cabe juga beberapa lembar daun
bayam dan telur ayam yang membuat hidangan yang gak begitu sehat itu menjadi
lebih nikmat.
Anak-anak sudah tidur, aku juga sudah menyelesaikan telponku kepada Pega.
Suami tersayangku itu bahkan tidak memberi tahuku kapan akan pulang.
Menyebalkan!
Iseng aku turun, niat ingin mengisi tumbler dengan air putih. Tapi ternyata
aku bertemu ibu mertuaku yang belum juga tidur. Ternyata dia sedang menonton
sinetron sambil memakan beberapa kacang tanah yang tadi sore sempat kurebus.
“Bu, belum tidur?” tanyaku saat sudah ada di sampingnya.
“Belum, kenapa?” jawabnya yang masih tidak mengalihkan pandangannya.
“Sudah malam, sebaiknya Ibu istirahat.”
“Sebentar lagi.”
“Ibu mau makan sesuatu lagi?”
“Jingga, Ibu tahu kamu sudah jadi istri Pega anak saya. Tapi, walaupun
begitu jangan sok baik dengan saya. Saya tahu bagaimana seluk beluk keluargamu.
Saya sebenarnya tidak setuju kamu yang akan menjadi istri anak saya. Tapi,
bagaimanapun anak saya memilih kamu jadi istrinya.
Kamu tahu Jingga? Orang tuamu seperti apa? Bagaimana dengan ekonomi mereka?
kamu seharusnya sadar lebih awal bahwa kamu itu tidak cukup pantas untuk
keluarga kami. Kenapa kamu begitu gigih mendapatkan anak saya? Apa karena dia
kaya?”
“Bu, saya gak seperti yang ibu pikir. Saya sama sekali tidak memandang
berapa banyak uang yang dipunya Pega. Saya tulus mencintainya.”
“Kamu memang pandai berakting, mungkin keluargamu yang mengajarimu seperti
ini?”
“Bu, Ibu boleh melakukan apapun terhadap saya, tapi saya mohon jangan membawa
keluarga saya dalam apapun pembicaraan kita. Mau bagaimanapun mereka tidak
bersalah. Mereka tidak seperti yang Ibu tuduhkan.”
“Pembelaan yang tidak bermutu. Jingga, kamu harus mengajari anak saya lebih
baik dari orang tuamu mengajarimu.”
“Bu, apa Ibu gak suka saya karena saya dari keluarga miskin? Apa Ibu tidak
melihat sedikit saja ketulusan saya terhadap Pega? Saya benar-benar sangat
mencintai Pega, Bu. Saya akan memperbaiki apapun untuk Ibu bisa melihat saya.”
“Maka, buktikan apa yang kamu katakan.” Setelah mengatakan itu, Ibu
beranjak lalu pergi menuju kamar.
Aku yang masih terpaku atas pembicaraan kami barusan. Aku yang tidak
percaya setelah tujuh tahun pernikahan, Ibu baru mengatakan itu terhadapku.
Bahkan aku sangat terkejut dengan apa yang Ibu katakan terhadap keluargaku. Ini
benar-benar kejutan untuk jantung dan hatiku.
“Pega, kapan kamu pulang? Aku rindu, aku kuat seperti yang kamu katakan,
‘kan?” gumamku pelan sambil mengusap air mata yang entah sejak kapan keluar
dari kelopok mataku.
Aku merasa aku sudah melakukan apa yang terbaik sebisaku. Aku sudah tidak
mau menganggap penolakan yang dilakukan ibu. Walaupun hati kecilku terus
meronta, meminta aku untuk jujur terhadap diriku sendiri. Aku mencoba untuk
menampik apa yang sedang aku rasakan.
Rasanya semakin hari aku bersama Ibu, semakin aku menambah dosaku
terhadapnya. Aku tidak mau seperti ini. Tapi, kenapa ibu harus sejujur itu
mengatakan isi hatinya tentang keluargaku? Serendah itukah? Atau apapun yang
terjadi di masa lalu, sebenarnya itu semua bukan urusanku. Aku bahkan tidak
ikut andil di dalamnya. Bukannya tuduhan itu adalah masalah orang tua?
Tapi, siapa yang mau tahu? Siapa yang mau mendengar penjelasan. Bukannya
sekarang adalah jaman di mana pembohong akan lebih dipercaya daripada orang
mengatakan benar?
Bukan!
Aku bukan mau membela diriku sendiri, aku hanya mengatakan apa yang ada di
dalam hatiku. Aku hanya akan bererita kepada diriku sendiri. Aku tidak akan
mengatakan apa yang terjadi antara aku dan ibu kepada Pega. Aku gak mau dicap
tukang ngadu atau perusak hubungan antara anak dan ibu. Aku gak se tolol itu.
Semua yang serba pas-pasan yang ada di dalam diriku ini, aku sedang
memperjuangkan untuk value diriku sendiri. Aku hanya ingin orang mendengarku,
aku hanya ingin mereka melihatku, aku hanya ingin jujur terhadap mereka-mereka
yang sering menayaiku, ‘kamu kenapa?’ yang akan berakhir dengan jawaban ‘aku
tidak papa.’ Hanya seperti itu, apakah itu sulit? Untukmu para pembaca, mungkin
ini adalah bagian yang mudah, sungguh ini sangat sulit bagiku.
Bercerita kepada orang akan selalu berakhir dengan penolakan atau mereka
hanya sekedar ingin tahu. Mereka tidak benar-benar tulus ingin mendengarmu.
Jika apa yang kamu ceritakan tidak menarik untuk mereka, maka mereka akan
mengabaikanmu. Dan mengeluarkan suara-suara tangis pilumu dari telinga mereka.
Cukup!
Jangan banyak bicara kepada manusia yang lebih banyak akan berakhir dengan
kecewa. Ada Tuhan, yang tidak akan menolakmu bagaimanapun keadanmu. Dia yang
punya hati kita, yang punya jiwa kita, perasaan kita. Dia yang mampu
membolak-balikkan semuanya.
Kemungkinan yang hampir tidak adapun Ia bisa melakukannya, apalagi hanya
dengan sebuah hati yang pemiliknya disebut manusia. Yang terkadang angkuh luar
biasa. Yang membuat patah harapan walaupun dengan satu kata.
Berdoalah!
Apa kamu masih meragukannya?
Alright, let’s prove it with me.
This isn’t a joke that’s often in soap operas. This is real world. When
we’re sick it really hurts. Then, with this attitude, how could I survive if it
wasn’t for God’s permission. Once again I say, I can survive because of the
power of love, and also truly God’s permission. So you have the same problem as
me, please don’t never give up.
----------------
Love,
Rina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar