Pagi-pagi sekali Sandy sudah menelponku dia mewanti-wanti
untuk datang malam nanti ke rumahnya. Katanya, sih mau makan-makan lauk
seadanya. Tetap saja aku kebagian sate sama martabak coklat keju kesukaannya.
Ya sudah, lah ya. Lagian nanti malam tidak mau kemana-mana juga. Apalagi kalau
semua keluarga datang, kami juga pasti akan ngibrit
datang juga.
Sandy memang sering banget mengadakan makan-makan begini.
Kalau gak sama keluarga, dia akan mengundang teman-temannya untuk datang.
Selain dia suka makan, dia juga hobi masak. Masakannya pun enak. Jadi, gak ada
alasan untuk enggak datang.
“Siapa yang telpon?” tanya Pega saat kami sedang ada di
meja makan.
“Sandy,” jawabku singkat.
“Ngapain dia?”
“Di suruh kesana, mau makan-makan. Kamu enggak mau pergi,
‘kan?”
“Oh, enggak.”
“Nanti sebelum balik dari bengkel. Mampir ke Mas Dul, ya!
Nanti martabaknya biar aku gojekin, saja.”
“Disuruh bawa?”
“Iya.”
“Oke.”
“Bunda, nanti kita mau ke Hashid, ya?” tanya Imba sambil
memainkan sendoknya.
“Iya. Kamu suka, gak?” jawabku sambil memamerkan gigiku.
“Aku suka, soalnya bisa main sama Hashid.”
“Aku juga suka main ke tempat tante Sandy. Soalnya di
sana aku bisa main sepeda,” sahut Netra sambil menggigit ayam gorengnya.
Kami hanya tersenyum sambil sesekali menyahut obrolan
mereka. Netra yang sangat suka sekali kesana karena bisa mainin sepeda milik Hashid,
atau Nuara yang sebenarnya suka kesana karena dia bisa mainin make up Sandy
yang seabrek itu. Karena emaknya yang hanya punya makeup standar mungkin dia
kurang bisa mengeksplorasi walaupun akhirnya kalau ketahuan, Sandy akan ngomel.
.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Aku sudah
menyiapkan baju yang akan Pega gunakan nanti. Anak-anak juga sudah mandi. Aku
memasukkan beberapa baju ganti untuk anak-anak karena takut bajunya basah atau
kotor.
Sandy yang sedari tadi sudah nelpon supaya aku cepat
datang, hanya menghela nafas karena Kakak nya itu belum juga
pulang. Tim molor memang seringnya bikin emosi orang daripada on time dan akan
ngobrol banyak dengan yang lain.
Sebenarnya acara seperti ini kalau boleh
jujur aku lebih senang datang terlambat dan ngobrol sebentar. Apalagi kalau
sudah ada Ibu. Lagi-lagi aku hanya menghindari banyak percakapan dengan ibu.
Meminimalisir dosa yang kira-kira akan aku buat saat itu.
Saat Pega datang, kami langsung jalan ke tempat Sandy.
Jaraknya sekitar satu jam dari rumah kami. Walaupun masih satu wilayah, tetap
saja jauh-jauh juga. Aku memastikan semua barang bawaan sudah masuk mobil. Setelah semua siap, baru Pega
menjalankan mobilnya.
“Bunda, kenapa lampunya di gantung di pohon?” tanya Netra
saat kami melintasi jalanan yang ada lampu gantung kerlap-kerlip di pohon.
“Karena biar gak gelap, Sayang,”
jawabku dengan tersenyum.
“Di rumah kita lampunya gak di taruh di pohon?”
“Ya karena gak ada pohon besar di rumah kita.”
“Berarti kalau ada lampunya bakal di gantung di sana
juga?”
“Bisa jadi.”
“Kasihan pohon, dia kan jadi berat di gantungin
begitu,” kata Imba menyela obrolan kembarannya.
“Nanti kalau aku punya rumah, aku gak akan gantungin
lampuku di pohon. Biar pohonnya happy kaya Upin-Ipin.
“Iya, makanya Ayah masangnya di tiang bukan di pohon.”
Aku tersenyum melihat perkembangan anak-anakku. Sudah mau empat tahun mereka
lahir di dunia ini. Juga mereka yang membuat kami jadi seperti sekarang ini.
Setelah menembus macet dan ramainya jalan raya, kami
tiba di rumah Sandy. Aku lihat mobil Kak Rosi juga sudah sampai. Aku heran sama
debar jantung yang selalu menggila kalau aku akan bertemu dengan Ibu. Kaki
tiba-tiba lemas, tangan gemetar, rasa gugup selalu datang di saat seperti ini. Aku
tidak mau, tapi ini datang sendiri tanpa permisi.
“Bund, ayo!” ajak Pega sambil membuka pintuku sambil
mengambil barang bawaanku.
“Assalamualaikum,” sapa Pega sambil melepas sepatunya.
“Waalaikumsalam,” jawab mereka yang ada di dalam. Aku
mengikuti Pega untuk salim ke Ibu dan kakaknya. Sandy yang baru keluar ikut
menyalami kami.
“Lama banget, sih?” ujarnya sambil memelukku.
“Iya, maaf ya,” sesalku karena sudah terlambat.
“Udah biasa,” sahut Kak Rosi yang sedari tadi paham
dengan perubahan raut wajahku.
“Ya udah, yuk! Kita langsung makan aja, ya.”
Setelah sholat Magrib berjamaah, kami lanjut makan
dengan menu yang sebenarnya kami bawa sendiri-sendiri ini. Aku melihat Kak Rosi
membuat gudeg Jogja dengan ayam dan telur bacem yang fenomenal itu.
“Selalu enak masakan Kak Rosi,” ujarku tulus.
“Lidah kampoeng
emang beda, ya? Lebih suka Gudeg daripada Pizza,” kata Kak Rosi dengan
terkekeh.
“Ya gimana, lebih menggugah selera.”
“Lebih ngabisin nasi ya,
Kak?” ucap Sandy yang datang dengan membawa Gurame bakar hasil masakannya
sendiri itu.
Sedangkan sate yang kubawa di makan oleh para
anak-anak yang memang suka sekali makan sate. Anakku, anak Kak Rosi, anak
Sandy.
“Ibu, mau yang mana? Jingga ambilkan, ya?” tanyaku
kepada ibu.
“Ibu sama sate aja,” ucapnya dengan tersenyum.
Aku mengambilkannya sesuai request. Rasanya senang
sekali melihat ibu manis begini sama aku, walaupun aku tahu di luar sini ibu
akan bersikap seperti semula denganku.
“Nih, Bu.” Aku meletakkan piring ke depan meja ibu.
“Iya, ayo kamu juga makan,”
“Iya, Bu.” Aku melihat Pega dan semua saudara iparku
yang melihatku dengan tatapan yang kalau diartikan ‘semangat, Jingga!’ dan aku
tersenyum tulus kepada mereka.
Sandy yang duduk disebelahku, menambahkan ikan gurame
yang tadi dia masak ke piringku. Aku heran dengan adik iparku itu, dia suka
masak, tapi tetap cantik dan wangi. Aku heran, gimana caranya dia tetap menjaga
penampilanya di manapun dan kapanpun. Bahkan aku dengan Kak Rosi saja, rasanya
aku lebih tua darinya.
Aku selalu pengen bisa terlihat cantik kapan aja,
pakai baju apa aja seperti mereka. Tapi, kenapa rasanya sulit sekali. Aku
pernah diajak Sandy belanja make up dan skin care, dan akhirnya aku membeli
satu paket. Tapi, nyatanya aku malah gak konsisten merawatnya. Ternyata mau
cantik itu harus disiplin sekali, ya.
Walaupun Pega tidak memaksaku untuk berubah, tapi aku
juga sangat ingin berubah lebih cantic dan sehat. Saat ini aku mencoba
mengurangi banyak hal yang berlemak. Baru itu, sih. Mie yang selalu jadi makanan
favorit itu juga aku coba kurangi.
“Kak, kita mau jalan. Mau ikutan?” tanya Sandy yang
masih gado gudeg dengan ayam.
“Kemana?” tanyaku balik.
“Anyer, kita belum kesana bareng-bareng, ‘kan? Kakak
absen mulu kalau kita kesana.”
“Nanti tanya Pega dulu, ya. Dia kan gitu suka malas
kalau diajakin jalan.”
“Kalau Kakak yang minta pasti dia mau.”
“Iya, nanti coba aku tanya dia.”
“Kak Rosi, ikutan?” tanya Sandy kepada Kak Rosi yang
masih menyuapi anakknya yang paling kecil.
“Ngikut, aja,” jawab Kak Rosi.
“Tuh, Kak! Kak Rosi ikutan. Kak Jingga ikutan juga
dong!”
“Ibu ikutan?” tanyaku berbisik kepada Sandy.
“Hahahaha… kenapa, sih? Gapapa kali, Kak!”
“Ya aku gak mau buat ibu gak nyaman aja.”
“Iya, tapi-“
“Kak, kita semua sudah sangat welcome sama Kakak, jadi
jangan berpikiran seperti itu. Jangan berlebihan, Kak.”
“Gitu, ya?”
“Kelihatannya gimana?”
“Kelihatannya belum?” aku tersenyum, Sandy yang merasa
kesal mendengus sebal.
Saat kami sedang bergurau di meja makan. Tiba-tiba ibu
bangkit dan berjalan ke arah bangkuku. Meletakkan nasi sisanya ke piringku.
“Ayo di makan! Biar tambah kenyang. Tadi katanya
makannannya enak-enak,” kata ibu sambil pergi dari meja makan.
“Maksud Ibu, apa?” tanyaku kepada ibu sebelum dia
belum benar-benar pergi.
“Buat dimakan, nambah biar lebih kenyang. Nanti di
rumah biar gak makan lagi. Katanya makanan di sini enak-enak?”
Aku diam, terpaku dengan apa yang ibu lakukan di depan
semua orang. Aku memejamkan mataku menahan emosi yang tiba-tiba tersulut karena
ibu. Aku menggigit bibirku kuat-kuat sampai ada rasa asin yang aku yakin
bibirku sudah berdarah.
Apa sih sebenarnya maunya? Apa yang harus kulakukan
biar dia bersikap baik terhadapku? Semua orang menatapku, tidak terkecuali
dengan Pega. Dia masih menatapku. Tidak ada yang berbicara di meja makan ini.
Seolah mereka semua juga sama terkesiapnya dengan aku sebagai lakon utama di
serial ini.
“Eh, siniin buat Kakak aja. Tadi kan Kakak belum
makan. Baru nyuapin anak-anak,” kata Kak Rosi yang tiba-tiba menginterupsi
kebisuan kami semua.
Aku masih bergeming tidak melakukan apapun atau
berbicara apapun. Kak Rosi yang sudah memindahkan nasi yang tadi di piringku
juga terdiam kembali.
Aku tadi ngapain, sih? Kenapa ibu seolah selalu
mempermalukanku terus menerus? Apa dia hanya ingin mengungkapkan posisiku di
hatinya? Hanya sebagai sebuah nasi sisa yang diapun ogah untuk memakannya. Atau
hanya sebuah benda yang keberadaannya tidak dibutuh-butuhkan amat.
Bukankah semua pertanyaan itu adalah jawaban itu
sendiri untukku? Bukankah apa yang kutanyakan itu hanya untuk memperjelas apa
yang telah terjadi dengan diriku ini. Bukankah ini semua adalah sebuah penjelasan di banyak pertanyaan selama
hampir tujuh tahun ini?
Oke, sekarang bagaimana aku harus bersikap lagi? Akankah
sama dengan sebelumnya? Atau malah aku semakin takut untuk hanya sekedar
menyapa ‘Hai’ bahkan sebuah sapaan tidak cukup berharga untuknya.
.
Kami akhirnya pulang pukul sepuluh malam. Saat di
perjalanan, kami hanya diam. Tidak mengatakan apapun atau membicarakan apapun.
Menurutku Pega tidak mungkin berpikir sejauh aku terhadap ibu.
Aku menyadari sekali, dia adalah ibu Pega yang sangat
Pega sayangi. Bahkan dia rela mungkin kehilangan apapun demi ibu, surganya itu.
Aku membulatkan tekad untuk tidak mengatakan apapun
kepada Pega, atau memulai pembicaraan kilas balik makan malam yang sangat
menyedihkan untukku ini. Toh, pada akhirnya aku akan kecewa juga atas apa yang
Pega katakan.
Saat sampai rumah, kami memindahkan anak-anak ke kamar
atas. Sengaja aku bantu Pega untuk mindahin mereka. biasanya Pega melarangku
melakukan ini. rasanya Pega mau ngomong sesuatu, pasti masalah tadi.
“Bund,” katanya memulai percakapan kami. Aku memang
sengaja menyibukkan diri dengan membuka lemari untuk mengambil baju.
“Apa?” jawabku dengan masih memilih-milih baju.
“Harusnya tadi kan kamu gak perlu ngomong kaya begitu
sama ibu.”
“Iya, aku yang salah, maaf bikin kamu malu.”
“Gak begitu.”
“Terus bagaimana?”
“Kamu harus bisa lebih ngerti ibu.”
“Oke, aku akan lebih sabar lagi dan lebih ngerti ibu.”
“Mungkin ibu mau perhatian sama kamu, ‘kan?”
“Oke, ibu kan memang sayang banget sama aku.”
“Bund!” kali ini suaranya naik satu oktaf.
“Yang, aku sudah ngaku salah, sekarang apa sih
maumu? Aku suruh ngapain lagi?”
“Kamu kenapa, sih?”
“Aku kenapa? Kamu pikir seperti apa aku di mata ibumu?
Di depan banyak orang ibumu ngasih nasi sisaannya dia, yang
dia sendiri aja gak mau makan. Kenapa ngasihnya harus ke aku? Kenapa ngasihnya
gak ke kamu aja atau anaknya yang lain? Kenapa sisaannya harus ke aku? Coba
kamu pikir kenapa? Karena aku cuma di hargainya sebatas nasi sisa! Padahal
kalau mau masih banyak nasi di meja tadi. Terus siapa sekarang yang
harus kamu kasih tahu? Aku udah diam dari tadi gak mau
ngobrolin ini sama kamu. Tapi, kamu malah mulai duluan.”
Aku mengambil satu baju dari dalam lemari dan masuk ke
kamar mandi. Di dalam kamar mandi aku gak bisa membendung lagi rasa sesak yang membuatku
gak nyaman dari tadi. Menyalakan shower berharap dengan mengalirnya air ini
bisa menghilangkan rasa kesalku terhadap diriku sendiri.
-----------------
Part ini nyata.
Mungkin sebagian orang, di sini Jingga yang baperan parah. Tapi, ya udah baca aja next partnya gimana?
Nulis ini sambil nangis sesegukan. Hiks :(
Tidak ada komentar:
Posting Komentar