Kamis, 12 Maret 2020

Bab 9 || Makan bersama


Pagi-pagi sekali Sandy sudah menelponku dia mewanti-wanti untuk datang malam nanti ke rumahnya. Katanya, sih mau makan-makan lauk seadanya. Tetap saja aku kebagian sate sama martabak coklat keju kesukaannya. Ya sudah, lah ya. Lagian nanti malam tidak mau kemana-mana juga. Apalagi kalau semua keluarga datang, kami juga pasti akan ngibrit datang juga.
Sandy memang sering banget mengadakan makan-makan begini. Kalau gak sama keluarga, dia akan mengundang teman-temannya untuk datang. Selain dia suka makan, dia juga hobi masak. Masakannya pun enak. Jadi, gak ada alasan untuk enggak datang.
“Siapa yang telpon?” tanya Pega saat kami sedang ada di meja makan.
“Sandy,” jawabku singkat.
“Ngapain dia?”
“Di suruh kesana, mau makan-makan. Kamu enggak mau pergi, ‘kan?”
“Oh, enggak.”
“Nanti sebelum balik dari bengkel. Mampir ke Mas Dul, ya! Nanti martabaknya biar aku gojekin, saja.”
“Disuruh bawa?”
“Iya.”
“Oke.”
“Bunda, nanti kita mau ke Hashid, ya?” tanya Imba sambil memainkan sendoknya.
“Iya. Kamu suka, gak?” jawabku sambil memamerkan gigiku.
“Aku suka, soalnya bisa main sama Hashid.”
“Aku juga suka main ke tempat tante Sandy. Soalnya di sana aku bisa main sepeda,” sahut Netra sambil menggigit ayam gorengnya.
Kami hanya tersenyum sambil sesekali menyahut obrolan mereka. Netra yang sangat suka sekali kesana karena bisa mainin sepeda milik Hashid, atau Nuara yang sebenarnya suka kesana karena dia bisa mainin make up Sandy yang seabrek itu. Karena emaknya yang hanya punya makeup standar mungkin dia kurang bisa mengeksplorasi walaupun akhirnya kalau ketahuan, Sandy akan ngomel.
.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Aku sudah menyiapkan baju yang akan Pega gunakan nanti. Anak-anak juga sudah mandi. Aku memasukkan beberapa baju ganti untuk anak-anak karena takut bajunya basah atau kotor.
Sandy yang sedari tadi sudah nelpon supaya aku cepat datang, hanya menghela nafas karena Kakak nya itu belum juga pulang. Tim molor memang seringnya bikin emosi orang daripada on time dan akan ngobrol banyak dengan yang lain.
Sebenarnya acara seperti ini kalau boleh jujur aku lebih senang datang terlambat dan ngobrol sebentar. Apalagi kalau sudah ada Ibu. Lagi-lagi aku hanya menghindari banyak percakapan dengan ibu. Meminimalisir dosa yang kira-kira akan aku buat saat itu.
Saat Pega datang, kami langsung jalan ke tempat Sandy. Jaraknya sekitar satu jam dari rumah kami. Walaupun masih satu wilayah, tetap saja jauh-jauh juga. Aku memastikan semua barang bawaan sudah masuk mobil. Setelah semua siap, baru Pega menjalankan mobilnya.
“Bunda, kenapa lampunya di gantung di pohon?” tanya Netra saat kami melintasi jalanan yang ada lampu gantung kerlap-kerlip di pohon.
“Karena biar gak gelap, Sayang,” jawabku dengan tersenyum.
“Di rumah kita lampunya gak di taruh di pohon?”
“Ya karena gak ada pohon besar di rumah kita.”
“Berarti kalau ada lampunya bakal di gantung di sana juga?”
“Bisa jadi.”
“Kasihan pohon, dia kan jadi berat di gantungin begitu,” kata Imba menyela obrolan kembarannya.
“Nanti kalau aku punya rumah, aku gak akan gantungin lampuku di pohon. Biar pohonnya happy kaya Upin-Ipin.
“Iya, makanya Ayah masangnya di tiang bukan di pohon.” Aku tersenyum melihat perkembangan anak-anakku. Sudah mau empat tahun mereka lahir di dunia ini. Juga mereka yang membuat kami jadi seperti sekarang ini.
Setelah menembus macet dan ramainya jalan raya, kami tiba di rumah Sandy. Aku lihat mobil Kak Rosi juga sudah sampai. Aku heran sama debar jantung yang selalu menggila kalau aku akan bertemu dengan Ibu. Kaki tiba-tiba lemas, tangan gemetar, rasa gugup selalu datang di saat seperti ini. Aku tidak mau, tapi ini datang sendiri tanpa permisi.
“Bund, ayo!” ajak Pega sambil membuka pintuku sambil mengambil barang bawaanku.
“Assalamualaikum,” sapa Pega sambil melepas sepatunya.
“Waalaikumsalam,” jawab mereka yang ada di dalam. Aku mengikuti Pega untuk salim ke Ibu dan kakaknya. Sandy yang baru keluar ikut menyalami kami.
“Lama banget, sih?” ujarnya sambil memelukku.
“Iya, maaf ya,” sesalku karena sudah terlambat.
“Udah biasa,” sahut Kak Rosi yang sedari tadi paham dengan perubahan raut wajahku.
“Ya udah, yuk! Kita langsung makan aja, ya.”
Setelah sholat Magrib berjamaah, kami lanjut makan dengan menu yang sebenarnya kami bawa sendiri-sendiri ini. Aku melihat Kak Rosi membuat gudeg Jogja dengan ayam dan telur bacem yang fenomenal itu.
“Selalu enak masakan Kak Rosi,” ujarku tulus.
“Lidah kampoeng emang beda, ya? Lebih suka Gudeg daripada Pizza,” kata Kak Rosi dengan terkekeh.
“Ya gimana, lebih menggugah selera.”
“Lebih ngabisin nasi ya, Kak?” ucap Sandy yang datang dengan membawa Gurame bakar hasil masakannya sendiri itu.
Sedangkan sate yang kubawa di makan oleh para anak-anak yang memang suka sekali makan sate. Anakku, anak Kak Rosi, anak Sandy.
“Ibu, mau yang mana? Jingga ambilkan, ya?” tanyaku kepada ibu.
“Ibu sama sate aja,” ucapnya dengan tersenyum.
Aku mengambilkannya sesuai request. Rasanya senang sekali melihat ibu manis begini sama aku, walaupun aku tahu di luar sini ibu akan bersikap seperti semula denganku.
“Nih, Bu.” Aku meletakkan piring ke depan meja ibu.
“Iya, ayo kamu juga makan,”
“Iya, Bu.” Aku melihat Pega dan semua saudara iparku yang melihatku dengan tatapan yang kalau diartikan ‘semangat, Jingga!’ dan aku tersenyum tulus kepada mereka.
Sandy yang duduk disebelahku, menambahkan ikan gurame yang tadi dia masak ke piringku. Aku heran dengan adik iparku itu, dia suka masak, tapi tetap cantik dan wangi. Aku heran, gimana caranya dia tetap menjaga penampilanya di manapun dan kapanpun. Bahkan aku dengan Kak Rosi saja, rasanya aku lebih tua darinya.
Aku selalu pengen bisa terlihat cantik kapan aja, pakai baju apa aja seperti mereka. Tapi, kenapa rasanya sulit sekali. Aku pernah diajak Sandy belanja make up dan skin care, dan akhirnya aku membeli satu paket. Tapi, nyatanya aku malah gak konsisten merawatnya. Ternyata mau cantik itu harus disiplin sekali, ya.
Walaupun Pega tidak memaksaku untuk berubah, tapi aku juga sangat ingin berubah lebih cantic dan sehat. Saat ini aku mencoba mengurangi banyak hal yang berlemak. Baru itu, sih. Mie yang selalu jadi makanan favorit itu juga aku coba kurangi.
“Kak, kita mau jalan. Mau ikutan?” tanya Sandy yang masih gado gudeg dengan ayam.
“Kemana?” tanyaku balik.
“Anyer, kita belum kesana bareng-bareng, ‘kan? Kakak absen mulu kalau kita kesana.”
“Nanti tanya Pega dulu, ya. Dia kan gitu suka malas kalau diajakin jalan.”
“Kalau Kakak yang minta pasti dia mau.”
“Iya, nanti coba aku tanya dia.”
“Kak Rosi, ikutan?” tanya Sandy kepada Kak Rosi yang masih menyuapi anakknya yang paling kecil.
“Ngikut, aja,” jawab Kak Rosi.
“Tuh, Kak! Kak Rosi ikutan. Kak Jingga ikutan juga dong!”
“Ibu ikutan?” tanyaku berbisik kepada Sandy.
“Hahahaha… kenapa, sih? Gapapa kali, Kak!”
“Ya aku gak mau buat ibu gak nyaman aja.”
“Iya, tapi-“
“Kak, kita semua sudah sangat welcome sama Kakak, jadi jangan berpikiran seperti itu. Jangan berlebihan, Kak.”
“Gitu, ya?”
“Kelihatannya gimana?”
“Kelihatannya belum?” aku tersenyum, Sandy yang merasa kesal mendengus sebal.
Saat kami sedang bergurau di meja makan. Tiba-tiba ibu bangkit dan berjalan ke arah bangkuku. Meletakkan nasi sisanya ke piringku.
“Ayo di makan! Biar tambah kenyang. Tadi katanya makannannya enak-enak,” kata ibu sambil pergi dari meja makan.
“Maksud Ibu, apa?” tanyaku kepada ibu sebelum dia belum benar-benar pergi.
“Buat dimakan, nambah biar lebih kenyang. Nanti di rumah biar gak makan lagi. Katanya makanan di sini enak-enak?”
Aku diam, terpaku dengan apa yang ibu lakukan di depan semua orang. Aku memejamkan mataku menahan emosi yang tiba-tiba tersulut karena ibu. Aku menggigit bibirku kuat-kuat sampai ada rasa asin yang aku yakin bibirku sudah berdarah.
Apa sih sebenarnya maunya? Apa yang harus kulakukan biar dia bersikap baik terhadapku? Semua orang menatapku, tidak terkecuali dengan Pega. Dia masih menatapku. Tidak ada yang berbicara di meja makan ini. Seolah mereka semua juga sama terkesiapnya dengan aku sebagai lakon utama di serial ini.
“Eh, siniin buat Kakak aja. Tadi kan Kakak belum makan. Baru nyuapin anak-anak,” kata Kak Rosi yang tiba-tiba menginterupsi kebisuan kami semua.
Aku masih bergeming tidak melakukan apapun atau berbicara apapun. Kak Rosi yang sudah memindahkan nasi yang tadi di piringku juga terdiam kembali.
Aku tadi ngapain, sih? Kenapa ibu seolah selalu mempermalukanku terus menerus? Apa dia hanya ingin mengungkapkan posisiku di hatinya? Hanya sebagai sebuah nasi sisa yang diapun ogah untuk memakannya. Atau hanya sebuah benda yang keberadaannya tidak dibutuh-butuhkan amat.
Bukankah semua pertanyaan itu adalah jawaban itu sendiri untukku? Bukankah apa yang kutanyakan itu hanya untuk memperjelas apa yang telah terjadi dengan diriku ini. Bukankah ini semua adalah sebuah penjelasan di banyak pertanyaan selama hampir tujuh tahun ini?
Oke, sekarang bagaimana aku harus bersikap lagi? Akankah sama dengan sebelumnya? Atau malah aku semakin takut untuk hanya sekedar menyapa ‘Hai’ bahkan sebuah sapaan tidak cukup berharga untuknya.
.
Kami akhirnya pulang pukul sepuluh malam. Saat di perjalanan, kami hanya diam. Tidak mengatakan apapun atau membicarakan apapun. Menurutku Pega tidak mungkin berpikir sejauh aku terhadap ibu.
Aku menyadari sekali, dia adalah ibu Pega yang sangat Pega sayangi. Bahkan dia rela mungkin kehilangan apapun demi ibu, surganya itu.
Aku membulatkan tekad untuk tidak mengatakan apapun kepada Pega, atau memulai pembicaraan kilas balik makan malam yang sangat menyedihkan untukku ini. Toh, pada akhirnya aku akan kecewa juga atas apa yang Pega katakan.
Saat sampai rumah, kami memindahkan anak-anak ke kamar atas. Sengaja aku bantu Pega untuk mindahin mereka. biasanya Pega melarangku melakukan ini. rasanya Pega mau ngomong sesuatu, pasti masalah tadi.
“Bund,” katanya memulai percakapan kami. Aku memang sengaja menyibukkan diri dengan membuka lemari untuk mengambil baju.
“Apa?” jawabku dengan masih memilih-milih baju.
“Harusnya tadi kan kamu gak perlu ngomong kaya begitu sama ibu.”
“Iya, aku yang salah, maaf bikin kamu malu.”
“Gak begitu.”
“Terus bagaimana?”
“Kamu harus bisa lebih ngerti ibu.”
“Oke, aku akan lebih sabar lagi dan lebih ngerti ibu.”
“Mungkin ibu mau perhatian sama kamu, ‘kan?”
“Oke, ibu kan memang sayang banget sama aku.”
“Bund!” kali ini suaranya naik satu oktaf.
“Yang, aku sudah ngaku salah, sekarang apa sih maumu? Aku suruh ngapain lagi?”
“Kamu kenapa, sih?”
“Aku kenapa? Kamu pikir seperti apa aku di mata ibumu? Di depan banyak orang ibumu ngasih nasi sisaannya dia, yang dia sendiri aja gak mau makan. Kenapa ngasihnya harus ke aku? Kenapa ngasihnya gak ke kamu aja atau anaknya yang lain? Kenapa sisaannya harus ke aku? Coba kamu pikir kenapa? Karena aku cuma di hargainya sebatas nasi sisa! Padahal kalau mau masih banyak nasi di meja tadi. Terus siapa sekarang yang harus kamu kasih tahu? Aku udah diam dari tadi gak mau ngobrolin ini sama kamu. Tapi, kamu malah mulai duluan.”
Aku mengambil satu baju dari dalam lemari dan masuk ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi aku gak bisa membendung lagi rasa sesak yang membuatku gak nyaman dari tadi. Menyalakan shower berharap dengan mengalirnya air ini bisa menghilangkan rasa kesalku terhadap diriku sendiri.


-----------------

Part ini nyata.
Mungkin sebagian orang, di sini Jingga yang baperan parah. Tapi, ya udah baca aja next partnya gimana?
Nulis ini sambil nangis sesegukan. Hiks :(

Tidak ada komentar:

Posting Komentar