Sabtu, 07 Maret 2020

Bab 3 || Acara keluarga


Pagi ini, di rumah kami sangat sibuk. Kita memang hidup tanpa ART. biasanya di waktu seperti ini kami berbagi tugas. Setelah olahraga, Pega akan membantuku memandikan anak-anak serta membantu mengganti baju mereka. Sedangkan aku menyiapkan sarapan dan membersihkan rumah, bukan yang semuanya hanya mencuci piring, nyapu, ngepel.
Setelah anak-anak dan Pega turun dengan baju yang sudah aku siapkan sejak semalam, kami mulai sarapan pagi. Jangan salah, kami memang membiasakan sarapan sebelum beraktivitas di luar rumah.
Pega tidak suka makanan barat, sarapan dengan roti tawar dengan susu? Ini bukan dia banget. Dia lebih suka makan nasi putih dengan ayam goreng dan sambel. Juga lalapan daun jambu monyet adalah makanan paling sering ia makan.
Sedangkan aku, yang notabenenya adalah pemakan segalanya, selama itu halal dan masih layak dimakan. Aku akan nurut-nurut saja request mereka. Ya, what they will, I will.
“Morning sayang bunda!”sapaku kepada dua anak kembarku yang sudah wangi dengan baju senada.
“Bunda, kita mau kemana?” tanya Netra sambil berjalan ke arahku.
“Kita mau ketemu saudara-saudara banyak. Silaturahim, suka?”
“Suka, kan nanti kita bakal ketemu banyak orang, ‘kan?”
“Iya, jadi anak baik, ya! Gak boleh rewel, nanti kalau diminta salim, salim, ya!”
“Iya, nanti aku salim.”
“Imba gak mau peluk Bunda?” tanyaku kepada anakku yang satu lagi, yang selalu nempel terus sama ayahnya itu.
“Gak mau, ah. bunda belum mandi, masih bau!” oke, anakku memang sejujur itu.
“Oke kalau begitu, kita makan.”
Aku mulai mengambilkan suami dan anak-anakku nasi, lauk serta sayur hijau yang anak-anak memang selalu suka. Walaupun mereka kembar, tapi kesukaan mereka berbeda. Seperti Netra, dia lebih suka nasi goreng dari pada spagetthy. Berbalik dengan Imba yang lebih suka Spagetthy dari pada nasi goreng.
“Ini,” kataku sambil mengangsurkan piring yang sudah terisi kepada Pega.
“Makasih, bund,” ujarnya tulus. Sedangkan aku hanya meminum kopi pagiku dengan mata menerawang. Pega yang selalu tahu akan kebiasaanku yang seperti ini sebelum bertemu keluarga besarnya hanya menghela nafas.
“Tenang saja, kan sama aku kesananya,” kata Pega sambil memulai menyuapkan nasinya.
“Kira-kira mereka bakal tanya apa ya, Yang?” jawabku lesu.
“Yang di sana bukan cuma kita, ngapain kamu mesti repot-repot menyiapkan jawaban? Pertanyaannya saja belum ada.”
“Kamu kan tahu kemarin, anak kita pakai kaus kaki saja mereka bisa nyerbu aku begitu. Yang kata berlebihanlah, bikin anak gak kuat lah, pante anaknya sakit-sakit terus lah. Kamu belum denger sendiri, sih?”
“Ya sudah, jawab apa adanya saja. gak usah terlalu dipikirin. Kan nanti ada aku.”
“Ya, kan-“
“Sudah, makan dulu.”
“Iya.”
Tiba-tiba ada panggilan telpon yang berasal dari hp Pega. Dia sering sekali menerima telpon dari teman-temannya, kadang hanya menyapa, atau bertanya hal-hal yang gak penting. Seperti pagi ini, seorang yang namanya Hasan menelponnya hanya bertanya ‘lo mau liburan?’ hal yang menurutku sangat gak penting untuk dia bahas saat kami sedang sarapan pagi.
Setelah panggilan selesai, tiba-tiba anakku Netra nyeletuk yang bikin saya berpikir ‘iya juga ya?’
“Ayah, itu teman Ayah?” tanya Netra sambil meraih gelas susu miliknya.
“Iya, teman Ayah. Kenapa?” jawab Pega dengan melihat mata anakku.
“Aku boleh salim, enggak?”
“Boleh, kalau ketemu.”
“Kok, Bunda temannya gak ada, sih?” celetuk Imba membuat aku dan Pega saling pandang.
“Emm... Bunda punya kok,” jawabku sambil meraih cangkir kopiku lagi.
“Kok, teman Bunda gak pernah telpon?”
“Mungkin mereka lagi sibuk, atau hp nya rusak. Mungkin juga mereka gak punya hp.” Kaya laptop bunda, atau buku bunda gak punya hp, lanjutku dalam hati.
Terkadang pertanyaan ajaib dari mereka adalah suatu hal yang membuatku berpikir. Apa aku memang gak punya teman, atau memang temanku seperti yang aku katakan kepada anakku.
Aku menghela nafas pelan, ini adalah permasalahan batin yang memang aku gak tahu sejak kapan dan bagaimana awalnya.
“Bunda sudah selesai, kalian selesain dulu, ya. Bunda mau mandi dulu. Gak akan lama.”
Jingga bangkit lalu pergi meninggalkan suami dan anaknya untuk mandi lalu bersiap untuk menghadiri acara keluarga Pega.
Saat air dari pancuran shower mengalir seperti ada layar lebar di depannya. Perkataan anaknya sering membuatnya berpikir bahwa terkadang banyak hal yang ia harus mulai dulu. Seperti sering mengabari ‘teman’ nya. Yang ia gak tahu adalah saat dia berkabar apakah teman-temannya senang atau justru malah mengganggu mereka. Hal sepele yang terus-terus menjadi kepikiran.
Sampai saat ia sudah berada di mobil. Ia hanya diam sambil mendengarkan lagu tenda biru dari kaset yang diputar Pega.
“Mikirin apa?” tanya Pega tiba-tiba.
“Enggak. Yang, ibu lagi pengen apa? Cerita gak?” jawabku sambil mengalihkan pembicaraan.
“Enggak tahu, bawain cilembu saja.”
“Beneran?”
“Ya dia kan gak banyak yang disuka.”
“Ya sudah.”
Dengan menenteng ubi cilembu, ia masuk ke halaman rumah kakak iparnya. Namanya kak Rosi. Dia baik, adik iparnya namanya Sandy juga sangat baik. Tapi, ibu mertua sedikit mengabaikannya, yang membuat dia sangat takut untuk bertemu. Kalian sudah tahu, kan? kalau Jingga selalu takut penolakan.
Dari luar, rumah Kak Rosi memang kelihatan lebih ramai. Banyak mobil-mobil terparkir juga anak-anak yang asyik bermain di halaman rumah. Beberapa orang tua terlihat sedang berbincang di kursi beranda.
Dan, aku melihat sosok yang dari semalam seperti bayangan mengikutiku kemana-mana, sampai aku ditegur Pega untuk segera tidur.
“Bu, assalamualaikum,” sapaku lalu mencium tangannya.
“Waalaikumsalam, cucuku... kok baru datang? Nenek sudah dari tadi nunggu.” Tenang, baru sampai. Ini akan jadi hari yang panjang setelah ini.
“Apabar, bu?” sekarang gantian Pega yang maju dan salim ke ibunya.
“Sehat, Nak. Ya sudah, yuk masuk! Pada sudah makan belum? Bundamu tadi masak enggak? Makan di rumah bude lebih enak. Bumbunya komplit gak kaya bikinan bundamu.” Oke, aku tersenyum. Pega hanya diam sambil melihatku, lalu pergi membawa anak-anakku.
Aku memejamkan mataku, mengatur deru nafasku yang masih memburu. Aku pura-pura menempelkan hpku ke telinga saat Kak Rosi terlihat di beranda. Aku hanya memberi kode yang kalau diartikan ‘sebentar, lagi ngangkat telpon’ dengan senyum pura-pura yang aku paksakan untuk terbit.
Sungguh, acara ini benar-benar membuatku sangat tidak nyaman. Terkadang juga aku sangat ingin sekali pulang dulu atau di mana yang hanya aku sendiri di situ.
Aku berbalik dan menemukan Pega yang ternyata ada di belakangku, hanya diam. Dan melihatku dengan senyum hangat.
“Gak papa, kalau mau ya ngobrol. Kalau enggak ya diam saja. Ditunggu Kak Rosi dari tadi nyariin kamu,” ucap Pega lalu menarik tanganku untuk masuk ke dalam.
“Kamu tahu aku pura-pura?” cicitku sambil berjalan di sampingnya.
“Bakal aneh kalau aku gak tahu. Aku suami kamu.”
“Maaf.”
“Buat nyaman saja, nanti aku akan cari alesan biar cepet pulang.”
“Iya.”
Aku menyapa kakak iparku yang masih cantik itu walaupun umurnya sudah empat puluh tahun.
“Kak, maaf tadi nerima telpon dulu,” kataku setengah menyesal.
“Gak papa,” dia menarikku dalam pelukannya sambil memberi usapan lembut di punggungku. Seperti tahu apa yang aku rasakan.
“Mas Sanusi mana, Kak?”
“Ada tadi, di mana ya?”
“Eh, ada gudeg?”
“Iya, sana ambil! Makan yang banyak. Pega ambilin sekalian itu!”
“Ya sudah, aku makan dulu, ya Kak.”
“Sana.” Kak Rosi selalu menatapku seperti itu. Dia selalu tahu hal yang tidak menyenangkan antara aku dan Ibu. Walaupun ini adalah jenis tatapan yang benar-benar aku benci. Tapi, seenggaknya ada yang mengerti aku walaupun aku tidak menceritakannya.
Aku menghampiri semua tamu yang sebagian besarnya adalah keluarga besar dari Pega. Ada yang aku belum hafal juga namanya, sudah kenalan tapi lupa. Semua pakde, bude, om, tante, keponakan, sepupu semua sudah aku salamin. Ada yang tanya apakabar, memeluk, ada juga yang hanya senyum memaksa.
Tiba-tiba Sandy menghampiriku dengan membawa puding coklat di tangannya. Dia itu selain suka masak, juga sangat suka makan.
“Kak, sudah datang?” sapanya sambil mencium tanganku. Adik yang baik memang. Walaupun kenyataannya dia lebih tua dariku, tapi dia sangat menghormatiku.
“Sudah lima belas menit yang lalu kayaknya,” jawabku sambil celingukan mencari menu yang akan aku makan.
“Sudah makan?” tanyannya dengan masih menyuapkan puding yang ia bawa ke mulutnya.
“Ini baru mau makan.”
“Ada gudeg, balado jengkol, urapan, botok, ada ayam juga.”
“Gudegnya enak, gak?”
“Enak, karena aku jarang makan gudeg.”
“Hahaha... kamu sudah makan?”
“Sudah pertama, aku kan dari pagi banget nyampai sini.”
“Oh...”
“Sudah ketemu ibu?”
“Sudah,” jawabku sambil memberinya seutas senyum.
“Kak Pega mana?”
“Tadi ada, main kali sama kembar.”
“Oh. Ya sudah, dilanjut. Aku mau cari Hashid ini, dari tadi gak nyariin.”
“Main kali sama Jagad.”
“Kakak lihat?”
“Tadi sih di depan.”
“Ya sudah.”
Setelah kepergian Sandy, aku berniat mengambil gudeg dengan jengkol balado juga kerupuk udang. Saat aku ingin kembali duduk, tiba-tiba ibu mertuaku datang dan duduk di dekatku.
“Ibu, sudah makan?” tanyaku setengah menyesal karena memutuskan makan terlebih dahulu tanpa menunggu Pega. Bukan tanpa alasan, Pega gak akan makan lagi kalau dia belum merasa lapar.
“Pega sudah makan belum? Kok gak di ambilin?” bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah menyindirku karena aku makan sendirian.
“Tadi bilangnya kalau mau makan bakal minta Jingga, Bu. Tadi sudah makan di rumah, belum lapar kali.”
“Ya, enggak kamu ambilin bagaimana dia mau makan?”
“Tapi-“
“Ya sudah makan dulu saja, habisin! Kalau perlu tambah lagi, biar tambah kenyang.” Setelah mengatakan itu, ibu beranjak dari duduknya. Aku yakin dia akan mengambilkan makan Pega. Benar saja, ibu berjalan menuju tempat di mana berjejer makanan yang memang disuguhkan untuk kami semua.
Sumpah!
Hati, kamu yang sabar, ya. Ini gak akan lama. Ini gak akan buruk, kok. Tahan... tahan... jangan nangis sekarang. Aku terus menguatkan diriku sendiri untuk menerima semua yang dikatakan ibu. Ini tidak pertama kalinya, jadi kenapa mesti takut? Kaget? Bahkan itu sudah ada di kamus besar mencintai Pega, bukan?
Aku melihat gudeg dan balado jengkol yang tadi sangat menggiurkan, tiba-tiab menjadi sangat membosankan dan kehilangan pesona untuk masuk ke lambung.
Aku menyandarkan punggungku, lalu memejamkan mataku sesaat. Aku mencoba meyakinkan diriku untuk tidak berlari keluar terus cari taksi. Aku adalah orang yang lebih muda dari ibu, aku adalah anak. Sebagai anak, aku harus menghormati dan menghargainya. Semua orang tua punya pemikirannya sendiri, terkadang mereka juga tidak sesuai dengan apa yang kita pikirkan.
Pega juga pasti akan mengerti. Dan tidak akan menyalahkanku di depan ibunya. This story will get more complicated if I get carried away and then hurt. What should I do? can only forgive her.

---------------
Love,
Emak beranak dua yang tingkat bapernya menjulang.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar