Semenjak hari di mana ibu memberinya nasi sisa itu, istri
tercintanya itu masih ngambek sampai hari ini yang sudah dua hari dari kejadian
itu. Dia mulai masak dengan sesuka hati tanpa memikirkan aku menyukainya atau
tidak. Beginilah cara ngambek seorang nyonya Embun Jingga Prameswari.
Walaupun bisa saja aku makan di luar, tapi masakan
istriku itu selalu ngangenin. Walaupun rasanya gak terlalu enak menurut orang
lain. Tapi, menurutku masakannya terlalu luar biasa. Tanpa MSG tanpa bumbu
aneh-aneh yang sekarang sudah terbiasa sekali lidahku melahapnya.
Seperti pagi ini, di meja makan hanya ada toast bread sama selai coklat. Gak ada
nasi gak ada sambel juga gak ada ayam atau ikan. Dia memang tahu cara menyiksaku
dengan lembut.
“Bund, serius aku sarapan ini?” tanyaku kepada Jingga.
“Iya, kenapa?” jawabnya sambil memakan sarapannya.
“Nasinya mana?”
“Gak masak, aku sibuk.”
“Sibuk apa?”
“Baca buku, baru datang kemarin dan belum selesai.”
“Kamu tega menyampingkan suamimu demi buku?”
“Enggak, aku kan bikin sarapan juga.”
“Tega banget,”
“Aku tega? Oke kamu gak salah, aku tega dan aku yang
salah.”
“Bund, kamu masih marah sama yang kemarin?”
“Enggak. Memang aku bisa marah?”
“Bund!” Aku memejamkan mataku pelan, “aku cuma ingin kamu
lebih mengerti ibu, dia sudah tua. Jadi, kita yang harus mengerti dia mau gak
mau. Aku tahu ini bukan salahmu, aku juga tahu bagaimana kamu mikirin ini.
Tapi, aku mohon sama kamu, lebih longgar sama ibu. Aku yakin dia pasti luluh
suatu saat nanti.”
“Ini hanya satu dari sekian kali perlakuan ibu ke aku
yang kamu lihat. Kamu gak tahu kan apa yang dikatakan ibu sama aku selama ini
kalau kita hanya berdua. Bagaimana ibu selalu berakting bahwa dia suka sama
aku? oke, aku sudah memberi banyak kelonggaran untuk hal ini, tapi, itu semua
bahkan belum cukup buat kamu lebih ngerti aku, Ga.
Aku selalu berpikir bahwa ini adalah fase di mana aku
mesti banyak sabar tanpa protes dan tanpa memikirkan banyak hal yang bisa
menyakitkan hatiku. Tapi, Ga. Aku manusia biasa, terkadang bisa juga berpikir
kalau ini sudah kelewatan. Aku bahkan selalu menyetujui apapun yang ibu mau.
Tapi kemarin, itu bukan hanya menghancurkan kepercayaan diriku, tapi juga
meluluh lantahkan terapi trauma yang aku jalani selama ini, Ga. Apa kamu gak
mikir kalau hal kemari itu bisa membuatku lebih takut lagi bertemu ibu?”
jelasnya sambil menahan air matanya. Aku tahu dia akan menangis. Bahkan
sekarang rasanya aku sudah tidak lapar lagi.
“Aku-“
“Kenapa? Kamu gak bisa nanggepin ini? atau kamu gak punya
jawaban yang masuk akal untukku? Sekarang, aku sudah terus berusaha buat ibumu
punya kebanggan terhadapku. Satu saja yang bukan karena aku istri kamu. Tapi,
lihat, ‘kan? bahkan ibumu menolak memberiku kesempatan melakukannya.”
“Bund, aku minta maaf. Harusnya aku lebih mengerti kamu.”
Aku bahkan tidak berpikir sejauh istriku. Ternyata dia
sudah berusaha sangat keras agar ibu menyukainya. Walaupun begitu, aku juga
tidak membenarkan istriku karena sempat meninggikan suaranya saat bicara dengan
ibu tempo hari.
Aku menghargai ibu, begitu juga dengan istriku. They are my life. My mother gave birth to me
and my wife gave birth to my child. Sulit untukku memilih salah satunya,
aku harus bisa memberi pengertian kepada istriku agar bisa bersabar menghadapi
ibuku. Juga memberitahu ibu pelan-pelan agar mau menerima Jingga dengan baik.
Mau bagaimanapun dia sudah melahirkan cucunya, keturunanku.
Akhirnya aku memutuskan untuk tetap memakan sarapan yang
sudah disiapkan Jingga. Dan setelah acara sarapan yang sangat tegang, aku memutuskan
untuk ke kantor demi menenangkan pikiranku dan menyelesaikan beberapa masalah
tagihan.
“Aku berangkat, ya?” pamitku kepada Jingga. Dia hanya
mengangguk dan tetap meraih tanganku untuk dia cium. Aku merengkuhnya dan
memeluknya singkat. Tidak lupa kucium dahinya.
“Hati-hati,” ucapnya saat aku sudah ada di ambang pintu.
“Iya.” Aku tidak bisa tidak tersenyum. Walaupun semarah
apapun, dia tetap melakukan ini saat aku pergi. Walaupun tahu aku tidak
menyukai sarapan dengan roti, dia tetap saja menyiapkanku sarapan, menemaniku
makan, juga masih mau kupeluk dan kucium. Betapa beruntungnya aku punya istri
yang kalau marah tidak mengunciku di luar rumah, atau menyembunyikan kunci
mobil, bahkan ada istrinya Hendro kalau marah sampai mengganti password wifi
rumahnya.
Saat sampai kantor, mendapatkan kabar yang kurang
mengenakkan dari Hendro. Bahwa tagihan dari Sentosa tidak cair. Ini sudah mau
menginjak bulan ketiga tapi, mereka tidak kunjung membayar tagihannya. Padahal
alat yang mereka bawa ada enam unit. Bukan jumlah yang sedikit memang, jika
dihitung dengan yang lain yang hanya menyewa satu unit.
Biasanya sebuah PT menyewa alat kami paling sebulan,
karena memang kami gak menyediakan sewa harian atau mingguan. Sebulan sewa
adalah empat juta rupiah. Kalau enam unit berarti sudah dua puluh empat juta
sedangkan ini sudah dua bulan artinya sudah empat puluh delapan juta mandeg di
satu PT. waktu itu memang mereka memenangkan tiga tender sekaligus jadi
menurutku wajar saja kalau mereka menyewa enam unit.
Jadi sekarang apa, malah seperti ini jadinya. Hendro yang
sedari tadi menelepon Pak Han, atas nama yang nyewa di sini.
“Apa katanya, Ndro?” tanyaku kepada karyawanku ini.
“Dia minta waktu lagi, Pak,” katanya.
“Tolong Pak Han suruh ketemu saya sore ini, Ndro. Bilang
saja saya tunggu di kantor.”
“Iya, Pak.”
Aku melihat Hendro kembali menghubungi Pak Han. Aku
memejamkan mataku lelah. Urusan di rumah saja belum selesai, Jingga masih
marah. Sekarang di kantor malah ada berita yang tidak mengenakkan seperti ini.
Kepalaku sedikit berdenyut.
Aku mengambil gawaiku dan menghubungi Ibu.
“Halo, Bu. Assalamualaikum,” sapaku saat sambungan
telepon sudah tersambung.
“Waalaikumsalam, Pega. Ada apa? Tumben jam segini telpon?” tanya ibu
yang heran, karena biasanya aku akan datang ke ibu kalau ada hal yang ingin aku
sampaikan.
“Ibu lagi ngapain?”
“Lagi lihat berita.
Kamu hati-hati ya, ini banyak penipuan. Ini polisi nangkap yang modus sewa
mobil.” Aku memejamkan mataku, kenapa bisa ibu juga mengkhawatirkan ini.
“Iya, Bu. Pega mau minta maaf sama Ibu, kalau kami
mungkin sudah membuat Ibu marah atau tersinggung. Maafin kami ya, Bu.”
“Pega,
kamu anak Ibu. Ibu hanya ingin kamu bahagia punya semua yang kamu inginkan dan
yang terbaik buat kamu. Ibu hanya khawatir kalau kamu bakal ngelupain Ibu dan
gak perhatian lagi sama Ibu. Ibu takut kehilangan kamu, Nak.”
“Bu, kami gak akan melakukan itu. Ibu gak akan kehilangan
kami. Maafin Pega ya, Bu. Pega sayang Ibu.”
“Kamu
gak salah, Nak. Ibu selalu doakan kamu supaya usahamu selalu lancar, sehat, dan
bahagia.”
Bercerita dengan Ibu di saat seperti ini memang
memberikan efek kepada suasana hati. Ibu selalu merasa akan kehilangan aku,
padahal aku tahu Jingga tidak akan melakukan itu. Aku juga tahu kalau Jingga
sebenarnya sangat menyayangi Ibuku. Tapi, mungkin Ibu cemburu karena sudah dari
dulu aku memang sebagai seseorang yang sudah diandalkan. Dan sekarang ada Jingga
dan anak-anak membuat ibu berpikiran seperti itu.
Setelah sambungan telepon terputus aku menelepon Jingga.
Istriku itu walaupun marah tapi tetap saja masih mau mengangkat telponku.
“Assalamualaikum,
Yang,” sapanya di seberang
telepon.
“Bund, anak-anak lagi apa?” tanyaku kepada Jingga.
“Lagi
mainan buku sambil nonton serial Upin Ipin. Ada apa?”
“Enggak.” Aku masih mau bingung mau memulai dari mana.
“Yang,
ada apa?”
“Aku mau minta maaf sama kamu. Harusnya aku gak ngomong
kaya kemarin.”
“Oh.”
“Maafin, ya?”
“Aku
gak marah. Aku cuma kesel saja sama kamu.”
“Jadi di maafin?”
“Ya,
bagaimana, ya? Lagian ini juga bukan salah kamu, ‘kan?”
“Terima kasih sudah mengerti.”
“Kamu
kesambet, apa?” benar-benar
Jingga ini, untuk bilang seperti itu saja aku harus mempersiapkan semuanya.
Malah dikira kesambet. Luar biasa otaknya.
“Ya sudah, masak, ya. Nasi.”
“Iya.
Hati-hati, Yang.”
Setelah meng iyakan, aku menutup telponku bersamaan
Hendro datang.
“Ada apa, Ndro?” tanyaku sambil meletakkan hp ku di atas
meja.
“Pak, kayaknya mereka memang lagi bermasalah,” jawabnya
sambil mengambil duduk di depanku.
“Kemungkinannya berapa, Ndro?”
“Dua puluh persen mereka bisa bayar, Pak.”
“Besok temani saya ke proyek atau kantor mereka ya,
Ndro.”
“Siap, Pak.”
“Follow up Pak Han supaya dia mau ketemu saya sore ini.”
“Siap, Pak.”
Setelah Hendro pergi aku megusap rambutku frustasi.
Bagaimana aku gak bisa melihat ketidak beresan mereka di awal. Pak Han memang
sepertinya benar-benar bisa dipercaya saat itu. Aku bahkan tidak melihat
langsung ke proyeknya. Dan hanya Hendro yang aku suruh kesana. Ini benar-benar
kesalahanku.
-------------------
Love,
Rina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar