Kamis, 12 Maret 2020

Bab 10 || It's not your fault


Semenjak hari di mana ibu memberinya nasi sisa itu, istri tercintanya itu masih ngambek sampai hari ini yang sudah dua hari dari kejadian itu. Dia mulai masak dengan sesuka hati tanpa memikirkan aku menyukainya atau tidak. Beginilah cara ngambek seorang nyonya Embun Jingga Prameswari.
Walaupun bisa saja aku makan di luar, tapi masakan istriku itu selalu ngangenin. Walaupun rasanya gak terlalu enak menurut orang lain. Tapi, menurutku masakannya terlalu luar biasa. Tanpa MSG tanpa bumbu aneh-aneh yang sekarang sudah terbiasa sekali lidahku melahapnya.
Seperti pagi ini, di meja makan hanya ada toast bread sama selai coklat. Gak ada nasi gak ada sambel juga gak ada ayam atau ikan. Dia memang tahu cara menyiksaku dengan lembut.
“Bund, serius aku sarapan ini?” tanyaku kepada Jingga.
“Iya, kenapa?” jawabnya sambil memakan sarapannya.
“Nasinya mana?”
“Gak masak, aku sibuk.”
“Sibuk apa?”
“Baca buku, baru datang kemarin dan belum selesai.”
“Kamu tega menyampingkan suamimu demi buku?”
“Enggak, aku kan bikin sarapan juga.”
“Tega banget,”
“Aku tega? Oke kamu gak salah, aku tega dan aku yang salah.”
“Bund, kamu masih marah sama yang kemarin?”
“Enggak. Memang aku bisa marah?”
“Bund!” Aku memejamkan mataku pelan, “aku cuma ingin kamu lebih mengerti ibu, dia sudah tua. Jadi, kita yang harus mengerti dia mau gak mau. Aku tahu ini bukan salahmu, aku juga tahu bagaimana kamu mikirin ini. Tapi, aku mohon sama kamu, lebih longgar sama ibu. Aku yakin dia pasti luluh suatu saat nanti.”
“Ini hanya satu dari sekian kali perlakuan ibu ke aku yang kamu lihat. Kamu gak tahu kan apa yang dikatakan ibu sama aku selama ini kalau kita hanya berdua. Bagaimana ibu selalu berakting bahwa dia suka sama aku? oke, aku sudah memberi banyak kelonggaran untuk hal ini, tapi, itu semua bahkan belum cukup buat kamu lebih ngerti aku, Ga.
Aku selalu berpikir bahwa ini adalah fase di mana aku mesti banyak sabar tanpa protes dan tanpa memikirkan banyak hal yang bisa menyakitkan hatiku. Tapi, Ga. Aku manusia biasa, terkadang bisa juga berpikir kalau ini sudah kelewatan. Aku bahkan selalu menyetujui apapun yang ibu mau. Tapi kemarin, itu bukan hanya menghancurkan kepercayaan diriku, tapi juga meluluh lantahkan terapi trauma yang aku jalani selama ini, Ga. Apa kamu gak mikir kalau hal kemari itu bisa membuatku lebih takut lagi bertemu ibu?” jelasnya sambil menahan air matanya. Aku tahu dia akan menangis. Bahkan sekarang rasanya aku sudah tidak lapar lagi.
“Aku-“
“Kenapa? Kamu gak bisa nanggepin ini? atau kamu gak punya jawaban yang masuk akal untukku? Sekarang, aku sudah terus berusaha buat ibumu punya kebanggan terhadapku. Satu saja yang bukan karena aku istri kamu. Tapi, lihat, ‘kan? bahkan ibumu menolak memberiku kesempatan melakukannya.”
“Bund, aku minta maaf. Harusnya aku lebih mengerti kamu.”
Aku bahkan tidak berpikir sejauh istriku. Ternyata dia sudah berusaha sangat keras agar ibu menyukainya. Walaupun begitu, aku juga tidak membenarkan istriku karena sempat meninggikan suaranya saat bicara dengan ibu tempo hari.
Aku menghargai ibu, begitu juga dengan istriku. They are my life. My mother gave birth to me and my wife gave birth to my child. Sulit untukku memilih salah satunya, aku harus bisa memberi pengertian kepada istriku agar bisa bersabar menghadapi ibuku. Juga memberitahu ibu pelan-pelan agar mau menerima Jingga dengan baik. Mau bagaimanapun dia sudah melahirkan cucunya, keturunanku.
Akhirnya aku memutuskan untuk tetap memakan sarapan yang sudah disiapkan Jingga. Dan setelah acara sarapan yang sangat tegang, aku memutuskan untuk ke kantor demi menenangkan pikiranku dan menyelesaikan beberapa masalah tagihan.
“Aku berangkat, ya?” pamitku kepada Jingga. Dia hanya mengangguk dan tetap meraih tanganku untuk dia cium. Aku merengkuhnya dan memeluknya singkat. Tidak lupa kucium dahinya.
“Hati-hati,” ucapnya saat aku sudah ada di ambang pintu.
“Iya.” Aku tidak bisa tidak tersenyum. Walaupun semarah apapun, dia tetap melakukan ini saat aku pergi. Walaupun tahu aku tidak menyukai sarapan dengan roti, dia tetap saja menyiapkanku sarapan, menemaniku makan, juga masih mau kupeluk dan kucium. Betapa beruntungnya aku punya istri yang kalau marah tidak mengunciku di luar rumah, atau menyembunyikan kunci mobil, bahkan ada istrinya Hendro kalau marah sampai mengganti password wifi rumahnya.
Saat sampai kantor, mendapatkan kabar yang kurang mengenakkan dari Hendro. Bahwa tagihan dari Sentosa tidak cair. Ini sudah mau menginjak bulan ketiga tapi, mereka tidak kunjung membayar tagihannya. Padahal alat yang mereka bawa ada enam unit. Bukan jumlah yang sedikit memang, jika dihitung dengan yang lain yang hanya menyewa satu unit. 
Biasanya sebuah PT menyewa alat kami paling sebulan, karena memang kami gak menyediakan sewa harian atau mingguan. Sebulan sewa adalah empat juta rupiah. Kalau enam unit berarti sudah dua puluh empat juta sedangkan ini sudah dua bulan artinya sudah empat puluh delapan juta mandeg di satu PT. waktu itu memang mereka memenangkan tiga tender sekaligus jadi menurutku wajar saja kalau mereka menyewa enam unit.
Jadi sekarang apa, malah seperti ini jadinya. Hendro yang sedari tadi menelepon Pak Han, atas nama yang nyewa di sini.
“Apa katanya, Ndro?” tanyaku kepada karyawanku ini.
“Dia minta waktu lagi, Pak,” katanya.
“Tolong Pak Han suruh ketemu saya sore ini, Ndro. Bilang saja saya tunggu di kantor.”
“Iya, Pak.”
Aku melihat Hendro kembali menghubungi Pak Han. Aku memejamkan mataku lelah. Urusan di rumah saja belum selesai, Jingga masih marah. Sekarang di kantor malah ada berita yang tidak mengenakkan seperti ini. Kepalaku sedikit berdenyut.
Aku mengambil gawaiku dan menghubungi Ibu.
“Halo, Bu. Assalamualaikum,” sapaku saat sambungan telepon sudah tersambung.
“Waalaikumsalam, Pega. Ada apa? Tumben jam segini telpon?” tanya ibu yang heran, karena biasanya aku akan datang ke ibu kalau ada hal yang ingin aku sampaikan.
“Ibu lagi ngapain?”
Lagi lihat berita. Kamu hati-hati ya, ini banyak penipuan. Ini polisi nangkap yang modus sewa mobil.” Aku memejamkan mataku, kenapa bisa ibu juga mengkhawatirkan ini.
“Iya, Bu. Pega mau minta maaf sama Ibu, kalau kami mungkin sudah membuat Ibu marah atau tersinggung. Maafin kami ya, Bu.”
“Pega, kamu anak Ibu. Ibu hanya ingin kamu bahagia punya semua yang kamu inginkan dan yang terbaik buat kamu. Ibu hanya khawatir kalau kamu bakal ngelupain Ibu dan gak perhatian lagi sama Ibu. Ibu takut kehilangan kamu, Nak.”
“Bu, kami gak akan melakukan itu. Ibu gak akan kehilangan kami. Maafin Pega ya, Bu. Pega sayang Ibu.”
“Kamu gak salah, Nak. Ibu selalu doakan kamu supaya usahamu selalu lancar, sehat, dan bahagia.”
Bercerita dengan Ibu di saat seperti ini memang memberikan efek kepada suasana hati. Ibu selalu merasa akan kehilangan aku, padahal aku tahu Jingga tidak akan melakukan itu. Aku juga tahu kalau Jingga sebenarnya sangat menyayangi Ibuku. Tapi, mungkin Ibu cemburu karena sudah dari dulu aku memang sebagai seseorang yang sudah diandalkan. Dan sekarang ada Jingga dan anak-anak membuat ibu berpikiran seperti itu.
Setelah sambungan telepon terputus aku menelepon Jingga. Istriku itu walaupun marah tapi tetap saja masih mau mengangkat telponku.
“Assalamualaikum, Yang,” sapanya di seberang telepon.
“Bund, anak-anak lagi apa?” tanyaku kepada Jingga.
“Lagi mainan buku sambil nonton serial Upin Ipin. Ada apa?”
“Enggak.” Aku masih mau bingung mau memulai dari mana.
“Yang, ada apa?”
“Aku mau minta maaf sama kamu. Harusnya aku gak ngomong kaya kemarin.”
“Oh.”
“Maafin, ya?”
“Aku gak marah. Aku cuma kesel saja sama kamu.”
“Jadi di maafin?”
“Ya, bagaimana, ya? Lagian ini juga bukan salah kamu, ‘kan?”
“Terima kasih sudah mengerti.”
“Kamu kesambet, apa?” benar-benar Jingga ini, untuk bilang seperti itu saja aku harus mempersiapkan semuanya. Malah dikira kesambet. Luar biasa otaknya.
“Ya sudah, masak, ya. Nasi.”
“Iya. Hati-hati, Yang.”
Setelah meng iyakan, aku menutup telponku bersamaan Hendro datang.
“Ada apa, Ndro?” tanyaku sambil meletakkan hp ku di atas meja.
“Pak, kayaknya mereka memang lagi bermasalah,” jawabnya sambil mengambil duduk di depanku.
“Kemungkinannya berapa, Ndro?”
“Dua puluh persen mereka bisa bayar, Pak.”
“Besok temani saya ke proyek atau kantor mereka ya, Ndro.”
“Siap, Pak.”
“Follow up Pak Han supaya dia mau ketemu saya sore ini.”
“Siap, Pak.”
Setelah Hendro pergi aku megusap rambutku frustasi. Bagaimana aku gak bisa melihat ketidak beresan mereka di awal. Pak Han memang sepertinya benar-benar bisa dipercaya saat itu. Aku bahkan tidak melihat langsung ke proyeknya. Dan hanya Hendro yang aku suruh kesana. Ini benar-benar kesalahanku.


-------------------

Love,
Rina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar