Minggu, 22 Maret 2020

Bab 14 || Rumah sakit


Setiap manusia pasti punya titik di mana mereka jenuh dengan keadaan. Mau dia kaya raya atau miskin sekali, mereka akan melihat banyak hal di depannya sangat membosankan. Walaupun sudah berpikir bahwa ia akan menemukan semua sesuai usahanya, sesuai apa yang diharapkan, sesuai apa yang dia rencanakan. Tapi, ternyata banyak takdir yang membuat banyak manusia malah berpikir kenapa semua tidak sesuai dengan yang dia tulis di list pencapaian.
Walaupun dia sudah berpikir bahwa semua yang dia usahakan harusnya sudah ia capai dengan baik, minim kesalahan, minim hambatan, dan kemungkinanan gagalnya sangat sedikit.
Tapi, nyatanya yang ia temukan adalah sebuah kemungkinan kecil yang ia pikir tidak akan menemui itu karena usahanya sudah mati-matian. Mereka kira mereka semua akan masuk ke dalam hal sebenarnya sudah ia prediksi untuk mendapatkannya.
Tapi, Tuhan punya banyak rencana yang menakjubkan. Kita memang diciptakan olehnya untuk nurut saja apa yang menjadi ketentuannya. Lagi-lagi siapa kita? Mampu mendahului apa yang Tuhan sudah gariskan bahkan saat kita mau diciptakan.
Tetapi, untuk banyak hal memang kita butuh memperjuangkan untuk mendapatkan apa yang sudah kita inginkan. Mungkin yang lebih baik adalah, kita usahakan dulu semua hal baru terserah Tuhan saja yang memberikan hasilnya. Karena sungguh, kita tidak punya sedikitpun kemampuan untuk hal itu.
Seperti saat ini, aku berencana untuk tidak menginap di Bandung. Tapi, dari subuh aku berangkat jalanan sangat macet sekali. Bahkan sekarang sudah jam dua siang, tapi belum juga sampai karena memang sangat padat. Serasa ingin berlari daripada mengendarai mobil.
Dari tadi bahkan Jingga sudah menelepon puluhan kali menanyakan bagaimana keadaan papanya. Sedangkan aku masih di sini menunggu keberuntungan jalanan yang tadi sempat tidak bergerak sama sekali. Setelah jam setengah empat sore aku baru tiba di rumah sakit.
Keadaan papa memang sudah membaik. Tapi, ada raut yang sulit dijelaskan. Aku gak tahu, seperti ada yang mau papa bicarakan denganku. Aku bahkan tidak tahu seperti apa tatapan dari papa ini.
“Papa, assalamualaikum,” ucapku saat papa menatapku. Aku meraih tangannya dan mengecupnya pelan. Aku hanya sebentar merasakan punya ayah. Sejak kecil ayah sudah meninggal, aku hanya diasuh oleh ibu. Aku bahkan lupa rasanya pelukannya atau hal-hal yang sering kami lakukan bersama.
Aku hanya ingat kalau ayah pernah mengajakku ke kebun binatang sama Kak Rosi. Itu juga aku masih kecil. Aku juga ingat pernah disuruh berantem sama Toni temanku saat SD dan itu adalah anak teman ayah. Atau dikasih uang jajan pas sekolah, di saat teman-temanku tidak mendapatkannya.
Ah... aku rindu sekali dengan ayahku.
“Ega...” ucap papa lirih. Papa, mama mertuaku ini memang memanggilku dengan sebutan ini. “Terima kasih sudah mau datang.”
“Iya, Pa. Aga gak saya ijinin kesini karena anak-anak kan gak boleh masuk rumah sakit. Kalau mesti di rumah bakalan repot. Gak papa ya, Pa. Ega yang kesini.”
“Gak papa, Papa seneng kamu datang.”
“Papa cepet sembuh. Aga khawatir banget, dia gak berenti-berenti nangis. Nanti kalau papa sudah pulang, Ega akan ajak mereka mengunjungi Papa.”
“Iya.”
“Papa perlu sesuatu?”
“Mamamu mana?”
“Tadi mama bilang mau beli makan dulu.”
“Papa mau bicara sama kamu, Ga.”
“Ada apa, Pa?”
“Apa kamu tahu Dimas di mana?”
“Mas Dimas?”
“Sebelum Papa masuk rumah sakit, Papa berantem sama Dimas. Papa gak sengaja lihat dia sama seorang perempuan lain lagi. Papa gak tahu mesti bagaimana lagi buat ngasih tahu dia. Dia pergi begitu saja dari rumah. Papa sempat bersitegang dengan mama mu karena Dimas. Tapi, papa juga khawatir kalau dia ngelakuin banyak hal diluar batas.”
“Ega gak tahu mereka di mana, Pa.”
“Apa istrimu gak cerita sesuatu?” dia teringat lagi bagaimana istrinya tadi malam. Dia yang gelisah karena hal yang aku tidak tahu. Apa mungkin dia tahu Mas Dimas di mana, tapi dia gak mau cerita ke aku, ya?
“Aga belum cerita apapun, Pa.”
“Ga, kamu bisa bantu Papa?”
“Iya, Pa. Bantu apa?”
“Kamu cari tahu Dimas di mana? Papa hanya khawatir saja sama dia. Papa gak nyuruh dia pulang. Tapi, Papa ingin tahu saja dia di mana? Kamu mau?”
Aku gak langsung menjawabnya. Ini adalah bab di mana aku dan Jingga akan sering bertengkar hanya karena Mas Dimas. Bukan hanya papa mama saja yang sering dibuat kesal atau pusing karena dia. Tapi, bahkan Jingga dan Kak Wima juga sering bertengkar hanya karena Mas Dimas.
Aku paham, mereka adalah saudara. Tapi, menurutku selingkuh adalah habit yang kalau bukan mereka sendiri yang bertekad mau berubah gak akan bisa diubah banyak.
Tapi, sekarang apa? Papa sendiri yang memintaku mencari Mas Dimas. Walaupun aku sebenarnya malas sekali, tapi aku tetap saja menganggukkan kepalaku. Berharap Jingga mau jujur da mengatakan di mana Dimas agar pekerjaanku gak terlalu berat.
“Iya, Pa. Ega akan bantu cari.”
“Terima kasih ya, Ga.”
“Papa cepat sembuh, ya. Ega yakin Mas Dimas akan baik-baik saja.”
“Papa gak ngerti lagi mau bagaimana, Ga. Masmu itu kenapa sulit sekali diatur.”
“Yang penting sekarang, Papa sehat dulu. Gak usah mikir yang lain. Fokus sama kesehatan dulu. Ega yakin, Aga tahu Mas Dimas di mana. Jadi, Papa jangan khawatirin ini lagi, ya.”
“Terima kasih, Ga.”
“Papa mau apel? Ega kupasin, ya?”
“Boleh.”
Aku tersenyum ke arah papa. Di balik sifatnya yang diam, papa mertuaku ini adalah seorang yang sangat keras kepala. Juga banyak hal yang ia pendam sendiri. Ini membuatnya sesak napas kalau sedang memikirkan hal yang menyita pikirannya.
Aku belum pernah merwat papaku seperti ini. pada saat ayah sakit, aku masih duduk di bangku kelas tiga SD. Aku bahkan belum mengerti banyak hal saat itu. Sekarang, aku sedang mengupas apel untuk papa mertuaku. Walaupun dia bukan ayah kandungku, tapi aku sangat menyayanginya.
Hal sederhana dengan papa mengajakku ngobrol adalah hal yang sangat menyenangkan. Aku selalu merindukan hal ini, hal sederhana yang aku gak akan pernah bisa dapatkan dari ayah.
Papa memang baik. Karena itu mungkin Jingga sangat sayang sama papa. Aku bisa merasakan setulus apa dia kepada anak-anaknya.
“Ga, kamu makan dulu, ya!” pinta mama yang sudah ada di dalam, bahkan aku tidak menyadarinya kapan datangnya.
“Iya, Ma. Mama beli apa?” jawabku sambil mendekat.
“Mama beli ayam pop padang, tapi mama gak tahu kamu mau enggak?”
“Ega mau, Ma. Yang penting ada nasi Ega mau.”
Aku mengambil satu bungkusan nasi padang dengan ayam pop. Melihatnya saja sudah menggugah selera. Aku memang sangat lapar sekali, karena sedari pagi belum makan. Sekarang sudah pukul lima sore. Sudah terlalu terlambat untuk makan.
“Ga, ibumu apakabar?” tanya mama tiba-tiba.
“Ibu baik, Ma.”
“Syukurlah kalau baik-baik saja. Mama cuma khawatir dengan sikap Aga. Maafin dia ya kalau banyak hal yang salah. Aga baik, ‘kan sama ibumu?”
Ega khawatir kalau ibu malah yang gak bersikap baik dengan Jingga, Ma.
“Baik banget, Ma. Jangan khawatirin dia, Ma. Jingga baik sama semua keluarga Ega. Dia terlalu baik, Ma. Kadang Ega yang merasa belum mampu baik sama Jingga.”
“Dia memang sedikit berbeda dari kakak-kakaknya. Dia mau orang di sekitarnya tidak tahu apa yang sedang terjadi sama dia. Dia menjaga perasaan kami supaya kami tidak sedih. Banyak hal yang ia pendam sendiri, banyak hal yang sebenarnya Mama pun juga tidak tahu. Dia benar-benar tahu bagaimana kami, tapi kami jarang tahu bagaimana dia. Kamu harus lebih sabar memahami dia, ya.”
“Ega tahu, Ma.”
“Terima kasih ya, Nak. Sudah menjaga dia dengan baik.”
“Cerobohnya di rumah melebihi anaknya, tapi itu malah yang membuat rame rumah. Kalau malam suka nyalain lagu sambil dia nulis, itulah yang membuat rumah kami berbeda dari yang lain. Dia yang seringnya berdiam diri di pinggir kolam sambil baca buku, malah itu menjadi pemandangan yang indah buat kami di rumah. Banyak paket yang datang bukannya dia beli baju atau sepatu, dia malah beli banyak buku yang Ega menyentuhnya saja enggak. Saat ditanya, katanya supaya anak-anak rajin baca. Walaupun gak terlalu pintar, Ega suka Jingga sepaket dengan apapun yang ia miliki, Ma,”
“Jingga beruntung punya kamu.”
“Ega lebih beruntung dapat Jingga.”
Mama tersenyum memandangku, aku membalas senyum mama hangat. Aku tahu mereka sangat mengkhawatirkan kebahagiaan Jingga. Aku tahu, walaupun aku jarang mengungkapkan kebahagiaanku mendapatkan dia, tapi aku sangat merasa beruntung mendapatkan dia. Gadis kecil yang kutemukan gak sengaja, yang bisa berubah dengan banyak hal sampai bisa sedewasa sekarang dan mampu mendampingiku dengan baik.
Mengungkapan banyak hal kepadanya tentang perasaanku bukan hal yang sering kulakukan. Ini adalah salah satu dan banyak hal yang belum aku bisa lakukan dengan baik. Ini yang membuat istri kecilku itu ngambek. Ah, aku jadi merindukannya.
Tiba-tiba hpku berdering, ternyata dari seseorang yang sedari tadi jadi bahan bincang-bincang kami.
“Iya, Bund,” jawabku saat sambungan telpon kami terhubung.
“Bagaimana papa?” tanyanya dengan tidak sabaran.
“Papa sudah baikan, katanya besok sudah boleh pulang. Jangan khawatir berlebihan.”
“Ya bagaimana gak khawatir orang aku saja gak bisa tahu.”
“Kalau sudah di rumah kita ke Bandung, ya?”
“Beneran?”
“Iya, aku sudah ngomong sama papa mau ajak kamu kalau sudah di rumah.”
“Makasih.”
“Anak-anak lagi apa?”
“Habis mandi. Kamu sudah makan?”
“Sudah, dibeliin mama tadi.”
“Ya sudah kalau begitu. Aku tutup, ya.”
“Bentar, aku mau tanya.
“Apa?”
“Kamu tahu, ‘kan Mas Dimas di mana?”
“Kamu sudah tahu?
“Papa yang cerita.”
“Papa?”
“Hmm...”
“Jadi, kamu tahu di mana?”
“Di Jogja, di tempat Kak Wima. Tapi, jangan dikasih tahu papa mama ya. Nanti mereka khawatir. Sudah tenang kalau di tempat Kak Wima.”
“Ya sudah, aku gak boleh pulang sama mama. Mungkin besok subuh baru pulang.”
“Iya. Terima kasih ya, Yang.”
Setelah mengatakan itu, sambungan telpon terputus. Aku gak menyangka sebenarnya kenapa Mas Dimas bisa-bisa nya malah ke Jogja. Tapi, ini lebih baik daripada kami semua akan kebingungan mencarinya.
Hari ini begitu melelahkan. Setelah sholat isya, aku merebahkan tubuhku sebentar di beranda masjid. Aku memejamkan mataku sebentar.
Di sini, di rumah sakit. Aku bisa banyak belajar. Di sini semua orang sedih, sedang mendapatkan musibah atau kesusahan dengan levelnya masing-masing. Bukannya aku harus sangat bersyukur karena masih diberikan kesempatan sehat sampai saat ini. Anak-anak sehat, istri sehat, ibu sehat, adik, kakak sehat. Papa walaupun masih sakit, kondisinya tidak terlalu parah. Betapa berartinya mereka dibanding dengan uang yang melayang kemarin.


------------------

Hai!

Gimana? Semua sehat?

Pokoknya di rumah aja dulu, ya. Jangan keluyuran! Olahraga!

Love dari jauh,
Rina Setyaningsih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar