Pega masih saja belum pulang. Padahal sekarang jam suudah menunjukkan pukul
sembilan malam. Hp nya tidak bisa dihubungi. Padahal biasanya dia akan berkabar
kalau akan pulang seterlambat ini. Walaupun pekerjaannya tidak ada jam kerja
yang ditetapkan, tetap saja ini membuatku khawatir.
Anak-anak sudah tidur. Mungkin mereka lelah bermain dan belajar seharian.
Walaupun belum sekolah anak-anak ini memang lebih aktif dari yang aku
perkirakan. Sepertinya dulu aku gak begitu aktif anaknya. Apakah mungkin Pega
yang terlalu aktif di masa kecilnya dan turun ke anak-anak.
Saat aku tersenyum sambil mengusap rambut anak-anakku, tiba-tiba bel rumah
berbunyi. Itu pasti Pega. Dengan celana training warna hitam serta kaos oblong
warna putih aku turun ke bawah untuk membuka pintu depan.
“Kok baru pulang?” tanyaku kepada Pega yang terlihat sangat lelah dan
suntuk.
“Iya, tadi alot banget. Tagihannya yang di PT Sentosa belum juga dibayar.
Ini sudah lebih dari tanggalnya,” jelasnya sambil berjalan menuju meja makan
untuk mengambil minum.
“Kenapa hp nya gak aktif?”
“Memang iya?” dia merogoh saku celananya dan menemukan hpnya, “lowbat
ternyata,” lanjutnya sambil menunjukkan hp nya yang sudah mati.
Aku menatap Pega lebih lama. Wajahnya begitu lelah dan suntuk. Mungkin dia
benar-benar sibuk dengan urusan tagihan. Sebenarnya ini sudah menajdi topik
pembicaraan kami akhir-akhir ini. tapi, aku tidak tahu masalahnya akan sepelik
ini.
Pega menenggelamkan kepalanya di meja makan. Membentur-benturkan kepalanya
pelan. Apa yang bisa kulakukan dengan keadaan seperti ini?
“Mau keluar sama aku?” tanyaku menginterupsi kegiatanya.
“Kemana?” Pega berhenti dengan aktifitasnya sambil melihatku.
“Keluar saja, lihat lampu di jalan atau lihat mobil-mobil lewat. Mau?”
“Anak-anak bagaimana?”
“Mereka sudah tidur. Mereka juga bakal ngijinin mak bapaknya keluar
sebentar.”
“Ya sudah, yuk!”
Kami keluar dengan berjalan kaki. Aku tahu, mungkin ini sedikit melelahkan.
Tapi, sepertinya Pega akan lebih menikmati ini dari pada harus naik mobil.
Dengan sandal jepit merah jambu, aku menggandeng tangan Pega untuk berjalan
berdampingan.
Kalau lagi jalan seperti ini, Pega jarang sekali memulai duluan untuk
menggandengku. Makanya daripada aku harus kode-kode an, aku langsung gandeng
saja tangannya. Capek soalnya kalau mesti ngode, toh dia juga gak bakal peka.
Malah akunya yang uring-uringan, kan gak enak.
Saat kami sudah keluar komplek, kami berjalan menyusuri trotoar yang
terbilang sudah sepi. Tidak ada orang jualan di sini. Kalau kita mau menemukan
abang-abang yang jualan, kita mesti keluar dulu sampai di luar komplek ini.
jadi, komplek yang kami tinggali adalah kumpulan dari beberapa komplek yang
dipisahkan oleh taman dan danau. Sedangkan di komplek kami ada sekitar sepuluh
blok. Ya begitulah kira-kira gambarannya.
Kami berjalan ditemani kebiusan. Tidak ada yang memulai bicara. Hanya
tangan yang saling bertaut ini mencoba memberinya kekuatan bahwa semua
baik-baik saja.
“Capek banget, ya?” tanyaku memecah keheningan.
“Lumayan,” jawab Pega sambil
sesekali mengusap jemariku dengan ibu jarinya.
“Emang mereka mintanya gimana?”
“Minta waktu lagi, dan kemungkinan terbesarnya adalah mereka bakal gak
bayar.”
“Bukannya mereka dapat proyek besar?”
“Makanya itu, kayaknya yang ngurusin itu pemain. Gak beres orangnya.”
“Ditarik aja.”
“Dari sepuluh yang kita punya, mereka sewa enam unit. Yang lain Cuma
sewa satu-satu. Yang satu lagi di kantor.”
“Banyak banget?”
“Gak tahu.”
“Gak dijual kan?”
“Hah?”
“Ya maksudku, mereka gak bakal jual alat kamu, ‘kan?” Tiba-tiba langkah
Pega terhenti, seakan dia melupakan sesuatu. Sedetik kemudian dia menghela
nafas lelah, lalu berjalan kembali. “Gak papa, besok kamu coba lagi cek ke
proyeknya.” Aku tersenyum, seakan mencoba menenangkan Pega kalau semua akan
baik-baik saja.
Walaupun begitu, aku tahu apa yang dia pikirkan. Katakana enam unit itu
seharga second tiga puluh lima juta per unit. Maka, dia kemungkinan besar akan merugi
sekitar dua ratus sepuluh juta, belum termasuk dua bulan sewa yang macet. Aku
bisa merasakan kegelisahannya.
Aku tahu betul gimana dulu kami hanya mempunyai satu unit. Setelah empat
tahun jadi beranak menjadi sepuluh unit adalah bukan perjuangan yang mudah.
Selain kontrakan yang umumnya memang gak setiap bulan terisi penuh, ini adalah
sumber utama pemasukan finansial kami.
“Eh, ada jagung. Mau?” tanyaku membuyarkan lamunan Pega.
“Boleh,” jawabnya lesu.
“Bakar apa rebus?”
“Bakar aja.”
“Bang, dua ya! Yang asin aja,” kataku kepada abang tukang rebusan.
“Oke, Neng!” jawabnya sambil mengacungkan jempolnya. Kami duduk lesehan
di tikar yang mereka siapkan untuk pembeli.
“Yang, all be fine.”
“Aku harap juga begitu.”
“Kita sama-sama berdoa, ya.”
“Iya.” Lalu kami hening kembali. Aroma jagung bakar yang dikipasi sudah
menguar di indra penciuman kami.
“Yang, aku merasa kita sudah banyak banget dikasih nikmat sama Allah.
Kamu ingat? Waktu kita hampir kehilangan Imba waktu itu? Kita bahkan rela
kehilangan apapun untuk mendapatkan anak kita. Sekarang lihat, anak-anak tumbuh
dengan bahagia. Walaupun terkadang sakit, mereka sakit ringan bukan sampai
harus ke rumah sakit.
Kita sudah punya rumah, anak-anak sehat, usaha yang lancar, bahkan kita
sudah punya fixed Assets walaupun
hanya beberapa pintu. Mereka adalah nikmat duniawi yang mesti kita syukuri.
Lihat yang lain, mereka bahkan masih bekerja dengan orang, mereka masih
meraba-raba mau bisnis apa, atau bahkan belum dapat pekerjaan. How lucky we are?
Misal kita kehilangan enam unit dari alat itu, walaupun kita merugi
banyak, kita masih punya anak yang bahkan gak ternilai saking berharganya.
Mereka sumber kebahagiaan kita, bukan? Masih banyak hal yang kita lupakan untuk
tetap bersyukur, sayang. Jadi, jangan khawatir kalau benda duniawi akan hilang
dari kita. Kalau misal iya, kita introspeksi apa yang salah dari kita. Bukankah
Allah ngasih semua hal kepada hambanya, selain untuk belajar juga karena Dia
sayang sama kita?”
Pega bergeming, ia tidak mengatakan apapun. Sampai jagung bakar yang
kami pesan datang. Aku mengambil satu lalu melahapnya dengan rasa syukur yang
mendalam, karena hari ini aku masih diberi kenikmatan bernafas dan kesempatan talk heart to heart like this.
Pega tersenyum jenis senyum yang bahkan aku tidak tahu artinya. Dia
mengambil jagung bakar yang satu lagi, memakannya dengan nyaman. Mungkin
suasana hatinya jauh lebih baik dari sebelumnya. Kami saling bercerita kejadian
hari ini di rumah. Bahkan dia tertawa dengan obrolan yang kadang unfaedah yang
dilakukan Hendro, karyawannya di kantor.
Saat kami sudah menghabiskan jagung dengan tambahan kacang rebus, dan
jagung rebus yang sudah sangat mengenyangkan walaupun belum makan nasi. Kami
akhirnya memutuskan untuk segera pulang, karena jam sudah menunjukkan pukul
sebelas malam.
“Jadi mereka sudah mau hadiah ulang tahun?” tanya Pega saat kami sudah
akan masuk ke dalam rumah.
“Iya, masa? Katanya mau naik perahu kaya waktu itu,” jawabku dengan
sedikit terkekeh.
“Kok, mereka masih ingat?”
“Ya, kalau itu aku gak tahu.”
“Ya udah, semoga ada kesempatan buat kesana lagi.”
“Iya.”
Aku mengambil air minum untuk di bawa ke atas. Saat sudah siap ke naik
tangga, tiba-tiba Pega menahanku.
“Ada apa?” tanpa aba-aba Pega memelukku, aku tersenyum bahagia. Dia
jarang sekali memelukku duluan.
“Terima kasih, ya,” ucapnya dalam pelukan kami.
“Bukannya itu sudah tugasku, Tuan Pega.” Aku melonggarkan pelukan kami,
berganti mengalungkan tanganku ke lehernya. Dan Pega mengambil alih tumbler
yang kubawa.
Berbicara dan mendengarkanlah kita bisa sedikit melonggarkan sesak yang
ada di dalam hati. God also creates hearts
to talk and listen, right?
-------------------------
Salam sayang,
Rina Setyaningsih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar