Kamis, 05 Maret 2020

Bab 2 || Know

Siang ini aku masih mendiamkan Pega. Ketidak sukaanku dengan sikapnya yang acuh tak acuh membuat aku semakin kesal. Dia belum tahu saja gimana aku gak punya teman selama ini. Gimana sulitnya aku bisa sepercaya diri ini sekarang.
Aku mengambil air minum dari kulkas, dengan tumbler warna ungu aku naik ke atas untuk melihat sedang apa anak-anakku. Sedangkan aku tidak mau tahu Pega di mana, suami tersayangku itu memang akan seperti itu. Lihat saja, pasti aku yang akan minta maaf pada akhirnya.
Kenapa?
Mana betah aku lama-lama diam seperti ini. Saat sudah ada di depan pintu, aku mendengar suara Pega dari luar. Ternyata dia ada di dalam, aku menghela nafas sebentar lalu ingin kembali turun. Sebelum langkahku terhenti karena mendengar suara Pega yang sedikit ingin kukxvcdx         etahui karena dia bilang- eh apa tadi dia bilang?
“Kak, kamu kan Kakak. Harus sayang, ya sama adik. Harus saling menjaga, harus berani, gak boleh diam aja kalau salah satu di antara kalian diganggu sama teman-teman yang lain. “
“Kenapa, Yah?”
“Ya, karena memang begitu seharusnya bersaudara itu. Kamu tahu? Sesama saudara memang harusnya saling sayang dan harus saling melindungi.”
“Kalau adik yang salah?”
“Ya, harus dikasih tahu. Biar gak melakukan kesalahan lagi, bukan begitu?”
“Iya, Ayah.”
“Dik, sini deketan Ayah!” seru Pega kepada Imba.
“Kenapa?” tanya Imba setelah ada di samping Pega.
“Kamu suka digangguin teman-teman kamu?”
“Enggak. Mereka cuma pinjam mainan aku.”
“Apa aku teman-teman kasar sama Adik?”
“Kadang mainan aku malah dikasih Anjani, bukannya dipinjemin ke Adik. Terus Kakak lebih suka temenan sama Anjani daripada sama Dedek.”
“Kalian tahu? Kalau keluarga itu harus dinomorsatukan? Kenapa begitu? Karena di saat kita lagi sudah atau lagi butuh teman, teman yang sesungguhnya adalah keluarga. Tidak ada yang lain. Mereka yang mau menerima kita apa adanya, mereka yang tidak membutuhkan kita jadi orang lain, mereka yang menghargai apa adanya diri kita.
Adik, Kakak, kita semua ini adalah manusia. Sesama manusia harus saling menghormati dan menghargai. Kalau kita menerima perlakuan yang tidak menyenangkan dari seseorang, kita harus memberi tahu mereka kalau kita memang gak suka dengan perlakuan mereka. Begitupun kita, gak boleh memperlakukan orang lain yang kalau kita gak suka juga diperlakukan seperti itu. Paham, ya?”
“Iya, ayah,” jawab mereka serentak.
Mungkin mereka bertiga tidak menyadari bahwa ada seseorang yang tersenyum senang di balik pintu kamar. Jingga tidak bisa tidak tersenyum, hatinya menghangat kala Pega sebenarnya tahu apa yang ia maksud. Mungkin hanya cara mereka saja yang berbeda.
Saat menyadari dia sudah terlalu lama bersembunyi, dia buru-buru turun untuk memasak spagethy untuk makan siang mereka. Ah, mungkin dengan begitu di antara Pega dan dirinya kembali menghangat.
Dia mengeluarkan mie pasta dari kulkas, bawang Bombay dan berbagai saos yang akan digunakan untuk membuat makanan kesukaan anaknya itu. Gengsi juga kalau sampai dia ketahuan nguping.
Saat dia menyalakan kompor tiba-tiba ada langkah kaki turun, dan aku yakin dia adalah Pega. Aku menahan senyumku dibalik punggungku.
“Udah masak?” tanya Pega saat dia duduk di dekat dapur.
“Baru mulai,” jawabku dengan masih memunggunginya.
“Masak apa?”
“Pasta.”
“Gak masak nasi?”
“Belum.”
“Gak usah disembunyiin kalau mau senyum. Sampai mereah begitu.”
“Apa?”
“Tuh, pipi kamu.”
“Siapa yang nahan ketawa?”
“Siapa tadi yang ngintip?”
“Aku gak ngintip.”
“Oh, ya? Jadi, apa tadi?”
“Aku kan cuma mau lihat anak-anak. Ya gak jadi masuk karena kamu ada di sana.
“Sampai lama begitu?”
“Ya, abisnya kamunya gak keluar-keluar.”
“Bikinin kopi. Aku mau ngecat.”
“Ngecat apa?”
“Relief.”
“Kenapa dicat?”
“Pengen ganti warna.”
Aku mendengus sebal, ya kalau gak kepengen ganti warna gak bakal diganti itu catnya. Bego banget, sih aku.
Pega sudah menghilang dibalik dinding dapur. Kami punya sedikit lahan kosong dibelakang rumah. Gak banyak, hanya tiga meter saja ke belakangnya. Di sana ada relief yang dibuat sendiri oleh Pega, di bawahnya ada kolamnya, dan banyak sekali tanaman pot, yang aku bahkan gak tahu satupun nama dari mereka.
Rumah ini memang lebih menyenangkan karena tangan kreatif dari suami tercintaku itu. Gimana sekarang, kamu tahu kan, bagaimana dia tahu semua hal tentangku tanpa aku menceritakan. Terkadang banyak hal yang aku heran, gimana aku bisa menyembunyikan sesuatu dari dirinya. Bahkan perihal ngintip saja aku remedial.
Mungkin selain mencintai Pega, hal yang menjadi kelebihannya hanya aku suka membaca. Karena hal itu mungkin dulu aku beberapa kali mendapatkan sepuluh besar. Walaupun dulu aku sering mengerjakan tugas teman-temanku, tepat waktu dan jarang terlambat, aku gak pernah menjadi juara kelas.
Jadi, kenapa Pega mau menikah denganku?
Sebuah rahasia yang sampai saat ini aku juga belum tahu. Dia begitu banyak keahlian, bahkan hal yang tidak mungkin seperti memotong rambut pun dia bisa. Jadi kami, selain dia tidak perlu ke barbershop untuk potong rambut. Lebih menyenangkan karena uang jatah potong rambut bisa buat beli mie ayam.
Saat aku sedang mencuci piring, tiba-tiba piring yang aku pegang terlepas. Dan akhirnya meluncur jatuh ke lantai. Pega yang mendengar piring pecah dia langsug berlari kearah istrinya dan menemukan istrinya itu memecahkan piring (lagi).
“Bisa pelan-pelan, ‘kan? Ini sudah keberapa kali dalam seminggu ini?” tanyanya dengan nada jengkel.
“Maaf. Kan aku gak sengaja juga, Yang.”
“Hobi banget, sih? Buruan bersihin, nanti keinjek bisa berdarah,” katanya sambil lalu dengan.
Aku hanya tersenyum melihat Pega. Dia itu walaupun cuek, sebenarnya dia itu perhatian. Lihat, ‘kan? Gimana dia ngomel karena takut aku terluka. “How sweet you’re!”
Aku sudah selesai menyiapkan kopi dan spagethy untuk makan siang kami. Aku ke atas memanggil anak-anak yang selalu asyik bermain di kamar.
“Sayang! Makan, yuk!” ajakku sambil membuka pintu.
“Makan sama apa, Bunda?” tanya Netra sambil membawa boneka kesayangannya keluar.
“Bunda bikin spagethy, suka?”
“Suka! Aku suka, Bunda!” jawab Imba sambil jalan terburu-buru untuk segera turun dan makan makanan favoritnya itu.
“Laper, gak?”
“Aku gak laper, tapi ada sapegthy. Aku sangat suka spagethy.”
“Oh, ya?”
“Iya.”
“Buat Bunda aja, ya kalau gitu?”
“Emang Bunda bisa habisin? Kan kalau makan harus dihabiskan?”
“Iya juga, ya?” tawaku lepas ke udara. Ini adalah hal yang menyenangkan punya anak dari seorang Pega Kalih Rahmadipraja.
“Kak! Bunda cantik, gak?” tanya Pega tiba-tiba masuk ke dalam.
“Cantik, dong Ayah! Kan, Bunda cewek. Kalau cowok baru dia ganteng!” kami berpandangan dan melepas tawa kami bersama.
Indahnya, ini adalah pemandangan yang ingin aku lihat sampai aku di surga sana. Bahagianya bisa berada di sini. Anak-anak yang sehat, pintar, nurut, dan suami yang diam-diam perhatian ini.
Ini sangat menyenangkan! Walaupun sulit mengatakan langsung apa yang sedang aku rasakan. Mungkin seperti ini lebih baik daripada tidak berkomunikasi sama sekali.


-----------------

Selamat membaca kisahku,

Embun Jingga Prameswari 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar