Kamis, 19 Maret 2020

Bab 13 || Mas Dimas


Malam ini, aku duduk di balkon rumahku, duduk sendiri, termangu menatap rembulan yang cahanya kian meredup karena tertutup awan. Bercahayakan lampu temaram, berhembuskan angin yang terkadang menyapu wajahku.
Aku sedang berpikir di sini. Mengapa aku tidak merasa baik-baik saja, padahal aku pikir semua sudah sesuai rencana dan tidak ada kekurangan apapun. Rasanya marah sekali dengan diriku sendiri.
Kamu tahu? Ternyata untuk jadi benar, jujur, dan bersih itu sulit, berat, dan penuh tantangan.
Untuk menjadi itu rasanya tekanan ada di mana-mana. Semakin mendekat rasanya semakin terhina. Semakin ingin baik semakin sakit juga yang harus dihadapi. Aku tahu, Tuhan tidak membiarkan kita sulit. Ini mungkin hanya perasaan transisi atau ujian sebelum Tuhan memberiku kata pantas naik level. Ya, gimana? Ini butuh efort untuk menjalaninya.
Aku merasa saat ini sedang merindu. Merindukan pelukan hangat ibu dan usapan lembutnya yang biasa ia lakukan di kepalaku. Saat kemarin Kak Wima menelpon dan terang-terangan memarahiku karena aku tidak bisa datang ke rumah sakit buat menemani ibu, rasanya jantungku seperti dihunus pedang yang panjang.
Bagaimana? Situasinya tidak mengenakkan saat itu. Dan sekarang Pega gentian yang memarahiku karena aku tidak ngomong kalau papa dirawat. Ya gimana, melihat mata lelah Pega saat ada kabar kalau alat yang disewakan hilang gak tahu kemana saja membuatku sudah sedih berantakan. Gimana aku mesti nambahin dengan kabar dari papa.
Kak Wima benar, aku memang gak bisa diandalkan. Aku gak pernah mau sedikit berkorban untuk papa atau mama. Aku yang selalu disalahkan jika saat-saat seperti ini. Padahal, Mas Dimas yang rumahnya dekat aja gak datang buat bantuin mama.
Oke, aku gak akan menyalahkan siapapun atau mengkambing hitamkan siapapun. Karena memang aku juga sedang salah. Walaupun aku gak bisa menyampaikan pembelaanku.
Saat itu aku ingin mengatakan pada Kak Wima, ‘Kak, suamiku lagi kena musibah. Usahanya ditipu orang, dan dia benar-benar kalut saat itu untuk ngomong papa sakit aja aku gak tega. Apalagi aku harus pamit buat ke Bandung.’ Tapi, yang terlontar hanya kata ‘maaf,
Dan Kak.’ Dan akhirnya Kakak perempuanku itu marah meledak-ledak.
Saat ini memang Kak Wima tidak bisa datang. Dan aku sudah diomeli karena tidak bisa datang ke rumah sakit. Besok Pega akan jalan ke Bandung buat jengukin papa.
Aku ingat betul bagaimana Kakakku tadi menelponku. Bahkan aku memejamkan mataku saat Kak Wima berkeluh dengan nada sedih.
Aga!”
“Iya, Kak.”
“Lo itu sebenarnya masih ingat punya papa gak, sih?”
“Kak, kok ngomong begitu, sih?”
“Lo tahu papa ke rumah sakit. Tapi, malah diam saja gak ke Bandung. Apa saja lo?”
“Kak-“
“Lo itu kenapa sih gak bisa diandalkan banget? Keluarga kita lagi butuh lo. Tapi, lo malah gak peduli begitu?”
“Kak, maaf.”
“Lo yakin gak nyesel kalau sampai papa kenapa-napa?”
“Kak gak begitu?”
“Terus bagaimana?”
“Maafin Aga, Kak.”
“Maaf gak ada gunanya, datang ke Bandung karena kali ini gue gak bisa.”
“Iya. Aga besok mau kesana.”
“Ya sudah, sana lo istirahat!”
“Kakak juga.”
“Iya.”
Belum sampai telpon dimatikan, Kak Wima menahanku.
“Ga,”
“Ya?”
“Lo sudah ngantuk?”
“Belum.”
“Lo sudah tahu kalau Mas Dimas lagi ada di Jogja?”
“Ngapain?”
“Dia di rumah gue. Tapi, sekarag lagi pergi sama cewek.”
“Cewek siapa?”
“Belum tahu, Ga. Gue pusing banget. Masmu marah-marah terus sama gue. Ini ceweknya beda lagi, Ga. Gue pusing banget mesti bagaimana? Mama memang belum nelpon gue. Tapi, mama sudah nelpon Mas Dimas kalau papa lagi dirawat. Gue juga belum berani nelpon mama. Kepala gue rasanya mau pecah, Ga.”
“Kak, tenang dulu.”
“Bagaimana bisa tenang, gue?”
“Kakak sudah pernah tanya Mas Dimas belum?”
“Tanya apa?”
“Maunya Mas Dimas apa?”
“Gak mau jawab. Diem saja kaya patung kayu.”
“Kak, maafin Aga, ya?”
“Gue sudah bilang sama lo. Maaf itu gak guna, Ga. Yang penting lo urusin dulu mama sama papa, ya. Maafin gue sudah marah-marah sama lo.”
“Gak papa. Kok, Kak.”
“Ya sudah sana lo istirahat. Besok kabarin gue, ya.”
“Iya, Kak.”
Saat sambungan telpon terputus, aku tahu seberapa besar beban yang harus kakakku itu tanggung. Mas Dimas yang tidak segera sadar akan tingkahnya membuat kesehatannya terganggu. Bukan tanpa alasan, karena papa yang terus berdebat dengan Mas Dimas membuat papa sering sekali sesak napas.
Rasanya sekarang aku tidak bisa mengusahakan apapun untuk keluargaku. Walaupun Pega akan ke Bandung, tetap saja aku merasa belum melakukan apapun kepada keluargaku. Bahkan, hal semacam ini saja aku tidak bisa diandalkan. What a pity!
Tiba-tiba ada selimut yang menutupi punggungku.
“Kenapa gak masuk?” tanya Pega sambil menyeret kursinya mendekat.
“Belum ngantuk,” jawabku masih menyembunyikan mata merahku.
“Angin malam gak baik. Ayo, masuk.”
“Iya,” aku bangkit dan menutup pintu. “Yang,” Pega menoleh sambil mengankat satu alisnya. “Maafin aku, ya.”
“Sudah, kamu cepetan istirahat.” Aku menghambur kepelukannya.
“Aku khawatir banget sama papa. Aku gak bisa diandalkan, Yang. Aku takut papa pergi. Aku gak mau menyesal seumur hidupku.”
“Kamu ngomong apaan, sih?”
“Aku takut banget.”
“Jangan ngomong begitu. Aku besok kesana, jadi kamu tenang saja. lihat besok, ya.”
“Aku beneran gak boleh ikut?”
“Anak-anak sama siapa?”
“Iya.”
“Sepakat, ya. Gak boleh sedih lagi. Sekarang istirahat.” Aku mengangguk tanda mengiyakan permintaan Pega. Yang tidak aku mengerti adalah seorang Pega Kalih Rahmadipraja  tahu bahwa istrinya sedang tidak baik-baik saja. Bahwa ada hal yang tidak nau ia bagi di saat seperti ini. Dia tetap tidak akan menceritakan apapun kalau belum dia yang memulainya.


------------------

Hai kalian!
Bagaimana? Semua sehat, 'kan?
Sehat-sehat ya di manapun kalian berada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar