Malam ini, aku duduk di balkon rumahku, duduk sendiri, termangu menatap
rembulan yang cahanya kian meredup karena tertutup awan. Bercahayakan lampu
temaram, berhembuskan angin yang terkadang menyapu wajahku.
Aku sedang berpikir di sini. Mengapa aku tidak merasa baik-baik saja,
padahal aku pikir semua sudah sesuai rencana dan tidak ada kekurangan apapun.
Rasanya marah sekali dengan diriku sendiri.
Kamu tahu? Ternyata untuk jadi benar, jujur, dan bersih itu sulit,
berat, dan penuh tantangan.
Untuk menjadi itu rasanya tekanan ada di mana-mana. Semakin mendekat
rasanya semakin terhina. Semakin ingin baik semakin sakit juga yang harus
dihadapi. Aku tahu, Tuhan tidak membiarkan kita sulit. Ini mungkin hanya
perasaan transisi atau ujian sebelum Tuhan memberiku kata pantas naik level.
Ya, gimana? Ini butuh efort untuk menjalaninya.
Aku merasa saat ini sedang merindu. Merindukan pelukan hangat ibu dan
usapan lembutnya yang biasa ia lakukan di kepalaku. Saat kemarin Kak Wima
menelpon dan terang-terangan memarahiku karena aku tidak bisa datang ke rumah
sakit buat menemani ibu, rasanya jantungku seperti dihunus pedang yang panjang.
Bagaimana? Situasinya tidak mengenakkan saat itu. Dan sekarang Pega
gentian yang memarahiku karena aku tidak ngomong kalau papa dirawat. Ya gimana,
melihat mata lelah Pega saat ada kabar kalau alat yang disewakan hilang gak
tahu kemana saja membuatku sudah sedih berantakan. Gimana aku mesti nambahin
dengan kabar dari papa.
Kak Wima benar, aku memang gak bisa diandalkan. Aku gak pernah mau
sedikit berkorban untuk papa atau mama. Aku yang selalu disalahkan jika
saat-saat seperti ini. Padahal, Mas Dimas yang rumahnya dekat aja gak datang
buat bantuin mama.
Oke, aku gak akan menyalahkan siapapun atau mengkambing hitamkan
siapapun. Karena memang aku juga sedang salah. Walaupun aku gak bisa
menyampaikan pembelaanku.
Saat itu aku ingin mengatakan pada Kak Wima, ‘Kak, suamiku lagi kena
musibah. Usahanya ditipu orang, dan dia benar-benar kalut saat itu untuk
ngomong papa sakit aja aku gak tega. Apalagi aku harus pamit buat ke Bandung.’
Tapi, yang terlontar hanya kata ‘maaf,
Dan Kak.’ Dan
akhirnya Kakak perempuanku itu marah meledak-ledak.
Saat ini memang Kak Wima tidak bisa datang. Dan aku sudah diomeli karena
tidak bisa datang ke rumah sakit. Besok Pega akan jalan ke Bandung buat
jengukin papa.
Aku ingat betul bagaimana Kakakku tadi menelponku. Bahkan aku memejamkan
mataku saat Kak Wima berkeluh dengan nada sedih.
“Aga!”
“Iya, Kak.”
“Lo itu sebenarnya masih ingat
punya papa gak, sih?”
“Kak, kok ngomong begitu, sih?”
“Lo tahu papa ke rumah sakit.
Tapi, malah diam saja gak ke Bandung. Apa saja lo?”
“Kak-“
“Lo itu kenapa sih gak bisa
diandalkan banget? Keluarga kita lagi butuh lo. Tapi, lo malah gak peduli
begitu?”
“Kak, maaf.”
“Lo yakin gak nyesel kalau sampai
papa kenapa-napa?”
“Kak gak begitu?”
“Terus bagaimana?”
“Maafin Aga, Kak.”
“Maaf gak ada gunanya, datang ke
Bandung karena kali ini gue gak bisa.”
“Iya. Aga besok mau kesana.”
“Ya sudah, sana lo istirahat!”
“Kakak juga.”
“Iya.”
Belum sampai telpon dimatikan,
Kak Wima menahanku.
“Ga,”
“Ya?”
“Lo sudah ngantuk?”
“Belum.”
“Lo sudah tahu kalau Mas Dimas
lagi ada di Jogja?”
“Ngapain?”
“Dia di rumah gue. Tapi, sekarag
lagi pergi sama cewek.”
“Cewek siapa?”
“Belum tahu, Ga. Gue pusing
banget. Masmu marah-marah terus sama gue. Ini ceweknya beda lagi, Ga. Gue
pusing banget mesti bagaimana? Mama memang belum nelpon gue. Tapi, mama sudah
nelpon Mas Dimas kalau papa lagi dirawat. Gue juga belum berani nelpon mama.
Kepala gue rasanya mau pecah, Ga.”
“Kak, tenang dulu.”
“Bagaimana bisa tenang, gue?”
“Kakak sudah pernah tanya Mas
Dimas belum?”
“Tanya apa?”
“Maunya Mas Dimas apa?”
“Gak mau jawab. Diem saja kaya
patung kayu.”
“Kak, maafin Aga, ya?”
“Gue sudah bilang sama lo. Maaf
itu gak guna, Ga. Yang penting lo urusin dulu mama sama papa, ya. Maafin gue
sudah marah-marah sama lo.”
“Gak papa. Kok, Kak.”
“Ya sudah sana lo istirahat.
Besok kabarin gue, ya.”
“Iya, Kak.”
Saat sambungan telpon terputus, aku tahu seberapa besar beban yang harus
kakakku itu tanggung. Mas Dimas yang tidak segera sadar akan tingkahnya membuat
kesehatannya terganggu. Bukan tanpa alasan, karena papa yang terus berdebat
dengan Mas Dimas membuat papa sering sekali sesak napas.
Rasanya sekarang aku tidak bisa mengusahakan apapun untuk keluargaku.
Walaupun Pega akan ke Bandung, tetap saja aku merasa belum melakukan apapun
kepada keluargaku. Bahkan, hal semacam ini saja aku tidak bisa diandalkan. What
a pity!
Tiba-tiba ada selimut yang menutupi punggungku.
“Kenapa gak masuk?” tanya Pega sambil menyeret kursinya mendekat.
“Belum ngantuk,” jawabku masih menyembunyikan mata merahku.
“Angin malam gak baik. Ayo, masuk.”
“Iya,” aku bangkit dan menutup pintu. “Yang,” Pega menoleh sambil mengankat
satu alisnya. “Maafin aku, ya.”
“Sudah, kamu cepetan istirahat.” Aku menghambur kepelukannya.
“Aku khawatir banget sama papa. Aku gak bisa diandalkan, Yang. Aku takut
papa pergi. Aku gak mau menyesal seumur hidupku.”
“Kamu ngomong apaan, sih?”
“Aku takut banget.”
“Jangan ngomong begitu. Aku besok kesana, jadi kamu tenang saja. lihat
besok, ya.”
“Aku beneran gak boleh ikut?”
“Anak-anak sama siapa?”
“Iya.”
“Sepakat, ya. Gak boleh sedih lagi. Sekarang istirahat.” Aku mengangguk
tanda mengiyakan permintaan Pega. Yang tidak aku mengerti adalah seorang Pega
Kalih Rahmadipraja tahu bahwa istrinya sedang
tidak baik-baik saja. Bahwa ada hal yang tidak nau ia bagi di saat seperti ini.
Dia tetap tidak akan menceritakan apapun kalau belum dia yang memulainya.
------------------
Hai kalian!
Bagaimana? Semua sehat, 'kan?
Sehat-sehat ya di manapun kalian berada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar