Selasa, 17 Maret 2020

Bab 12 || Papa

Setelah sedikit membaik suasana hati suamiku itu, dia memutuskan untuk pergi ke Proyek Sentosa. Aku biarkan saja, toh ini adalah risiko yang harus kami terima jika ada hal buruk terjadi.
Sebuah penyewaan punya risiko dengan hal-hal semacam ini. walaupun harapan kami, tidak akan merugi sebesar hitungan kami tunggu semua ini memang belum tentu benar. Ini semua hanya dugaan paling buruk yang akan kami terima.
Saat aku sedang ada di dapur, tiba-tiba gawaiku berdering. Ternyata dari mama, ada apa tumbenan telpon duluan?
“Halo, assalamualaikum,” sapaku setelah menggeser tombol hijau.
“Waalaikumsalam, Dek, kamu di mana?” tanya mama dengan suara tenang yang dibuat-buat.sehingga suaranya malah jadi sedikit bergetar.
“Di rumah. Ada apa, Ma?”
“Enggak, tanya saja.
“Mama di mana? Kok rame banget?”
“Ega ada di rumah?” bukannya menjawab, Mama malah menanyakan keberadaan Pega.
“Gak ada, Ma. Mas Ega sudah berangkat kerja. Mama di rumah, ‘kan? Papa di mana?”
“Aga, papa masuk rumah sakit. Kakakmu Wima belum Mama kabari. Sedangkan Mas Dimas enggak tahu di mana?”
“Ma-“
“Tapi, kamu jangan khawatir. Nanti kalau Ega gak ngijinin kamu kesini, gak papa. Kamu harus nurut sama suami kamu. Doain Papa cepat sembuh, ya, Ga.”
“Ma, Papa kenapa? Papa sakit apa?”
“Tadi, Papa tiba-tiba sesak napas. Mama gak tahu kenapa, tapi Papamu abis dari rumah Dimas. Pulang-pulang sesak nafas. Mama takut kalau mereka berantem lagi.”
“Mama tenang, ya. Nanti kalau Mas Ega pulang, Aga bakal ngasih tahu dia. Papa sudah ditangani dokter, jadi mama yang tenang, ya?”
“Makasih, Ga. Ya sudah, mama matiin dulu, ya.”
“Kabarin Aga terus ya, Ma.”
Setelah menutup telpon, tiba-tiba mataku panas. Aku tidak bisa lagi menyembunyikan tangisku. Pega lagi ada masalah di kantornya, aku tidak berani untuk memintanya ke Bandung untuk nengokin papa. Sedangkan di sana mama sendirian. Aku tidak mau membuat Pega semakin kalut. Lalu, apa yang harus kulakukan? Aku duduk termenung di meja makan. Kalau aku ke Bandung sedang keadaannya seperti ini, ibu pasti akan lebih menguliti aku daripada sebelumnya.
Kak Wima tinggal di Jogja, akan sangat jauh kalau dia harus ke Bandung. Sedangkan anak-anaknya sudah sekolah semua. Dia pasti repot juga. Mas Dimas tidak akan bisa diandalkan di saat seperti ini. Kakakku itu tidak tahu mengapa sering sekali berantem denngan papa karena sikapnya yang gonta-ganti perempuan. Sebenarnya, ini juga yang membuat ibu tidak suka denganku.
Bukan, aku tidak akan pernah menyalahkan siapapun atau apapun terlebih keluargaku. Mereka adalah orang pertama yang ada saat aku sedang tidak baik-baik saja. Tapi, aku juga tidak bisa tidak berpikir bahwa Mas Dimas adalah sumber utama yang membuat papa seperti ini. Pasalnya, akhir-akhir ini papa sering bertengkar dengan Mas Dimas.
Aku masih menangis memikirkan keadaan papa. Saat tangan Imba mengusap pipiku lembut. “Bunda, jangan nangis!” kata Imba sambiil terus mengusap pipiku.
“Bunda gak nangis kok, sayang,” kataku sambil memaksakan senyumku.
“Bunda kenapa?”
“Bunda hanya... sedang kangen Uti.”
“Bunda kangen Uti?”
“Iya.”
“Kata ayah, kalau kita lagi kangen, kita harus berpelukan.”
“Oh, ya?”
“Iya. Ayah pernah bilang kangen sama Imba terus minta peluk.”
“Begitu, ya?”
“Karena uti gak ada, Bunda peluk Adek dulu, ya?”
“Boleh?”
Lalu kupeluk anakku itu dengan rasa haru dan air mata yang tumpah kembali. Bahkan aku masih bingung bagaimana aku harus bilang sama Pega tentang papa. Walaupun dia tidak keberatan kalau harus ke Bandung. Tapi, dia sedang sangat sibuk akhir-akhir ini.
.
Sudah pukul Sembilan malam, tapi Pega juga belum kunjung datang. Dia tadi sempat mengirim pesan kalau dia hanya akan terlambat. Dia bahkan belum tahu bagaimana kasus Sentosa yang akan ia temui hari ini.
Jadi, sepertinya dia akan menunda mengabari Pega kalau papa masuk rumah sakit. Dia akan sangat lelah kalau harus memikirkan papanya juga.
Bel berbunyi, tanda suaminya itu sudah datamg. Dia terlihat berantakan malam ini.
“Mau makan?” tanyaku saat dia sedang menyenderkan punggungnya di sofa.
“Gak usah, Bnd. Tadi udah makan sama Hendro,” jawabnya sambil memejamkan matanya.
“Capek banget, ya? Aku pijitin, ya?”
“Gak usah, aku cuma mau istirahat aja.”
Kami cukup lama terdiam, menyelami pemikiran kita masing-masing. Aku tahu ada kabar kurang baik yang Pega terima hari ini. Mungkin tagihannya gak keluar atau lebih parah lagi alatnya dijual.
“Kenapa, Yang?”
“Alatnya gak ada lagi, Bund.”
“Semua?”
“Yang disewa Sentosa, Pak Han nya kabur gak tau kemana. Dan kemungkinan besar kita rugi banyak banget.”
“Sudah, gak papa.”
“Bund-“
“Udah, yuk istirahat! Besok lagi kita omongin, lagi,”
Aku berjalan terlebih dahulu, diikuti Pega di belakangku. Aku memejamkan mataku sejenak, bagaimana bisa aku ngomong di saat seperti ini? mungkin perlu waktu yang tepat, atau menunggu Pega lebih tenang dahulu.
Hp kuletakkan di atas nakas, Pega sedang mandi sekarang. Aku memilin jariku tanda aku sedang gelisah.  Aku masih memikirkan keadaan papa. Bagaimana kondisinya, mama seperti apa di sana sendirian. Juga Kak Wima kalau tahu aku belum kesana pasti akan marah besar juga. Semua serba salah. Aku bingung harus memulai dari mana.
Saat Pega telah selesai mandi, aku berjalan masuk ke arah kamar mandi. Aku tahu Pega akan menanyaiku kenapa, makanya aku harus cari waktu buat lebih sedikit space waktu ngobrolku dengan Pega.
.
Sebenarnya aku curiga dengan sikap Jingga yang terkesan sedang menutupi sesuatu. Tapi, aku masih mendiamkannya karena istriku itu akan ngomong sendiri kalau sudah siap.
Saat aku sedang merebahkan tubuhku di atas kasur, HP Jingga berdering terus menerus. Satu kali aku biarkan saja. dua kali tiga kali, akhirnya aku menyerah di panggilan ke empat. Ternyata dari Kak Wima. Entah ada apa, kenapa malam seperti ini menelepon tidak henti-henti.
“Kak Wima, ada apa?” tanya Pega kepada iparnya itu.
“Istri lo mana?” sembur Wima tanpa basa basi.
“Lagi di kamar mandi. Ada apa?”
“Ada apa lo bilang? Memang Aga belum cerita?”
“Cerita apa?”
“Papa masuk rumah sakit. Sekarang mama sendirian di rumah sakit. Gue kan di Jogja, jauh. Lagi pula anak-anak sekolah semua. Ayahnya lagi ke Maluku. Lo tahu sendiri Mas Dimas gak bakal ke rumah sakit karena papa abis berantem sama Mas Dimas. Terus sesek napas, mama panik, makanya langsung di bawa ke rumah sakit. Lo itu, ya? Jadi anak mantu yang ngerti dikit, kek! Masa harus gue yang ke Bandung. Lo kan deket. Anak-anak lo juga belum sekolah!” Wima sudah mencak-mencak tanpa memberi mereka kesempatan untuk menjelaskan.
“Iya, Kak. Besok saya kesana.”
“Bilangin sama istri lo kalau gue nelpon. Besok suruh telpon gue.”
“Iya, Kak.”
Setelah telpon dimatikan, aku tidak bisa tidak marah. Kali ini Jingga sudah keterlaluan, papa sakit tapi malah diam saja tanpa memberi tahu dirinya. Akibatnya dia malah kena sembur kakak iparnya yang super galak itu.
            “Tadi kaya ada yang telpon, siapa?” tanya Jingga tiba-tiba yang baru keluar dari kamar mandi.
            “Kak Wima,” jawab Pega singkat.
            “Ada apa?”
            “Kenapa gak bilang, sih kalau papa sakit?”
            “Yang, bukannya aku gak mau bilang. Aku mau bilang, cuma abingung mulai dari mana. Kamu saja lagi banyak masalah kaya begitu. Mana tega aku buat ngasih tahu kamu sekarang.”
            “Terus kamu mau ngasih tahu aku kapan?”
            “Kalau kamu sudah tenang.”
            “Tunggu aku dipecat jadi suami kamu?”
            “Kok ngomongnya begitu?”
            “Lain kali bilang, apapun kondisinya. Ini papa!”
            “Maaf.”
            “Sudah, besok aku yang pergi ke Bandung. Sekarang istirahat.”
            “Iya,” jawab istrinya dengan suara bergetar. Aku tahu dia pasti sedang menangis. Bahkan, saat kaya gini dia masih memikirkan aku. bukannya menuntut untuk mengerti dia dan keluarganya. How lucky I’m!
            Sebenarnya aku bukannya marah. Tapi, aku ingin apapun yang sedang terjadi, ia bisa lebih terbuka tanpa memikirkan apapun situasinya.

---------------

Stay safe all
Semoga semua cepat berlalu  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar