Setelah sedikit membaik suasana hati suamiku itu, dia memutuskan untuk
pergi ke Proyek Sentosa. Aku biarkan saja, toh ini adalah risiko yang harus
kami terima jika ada hal buruk terjadi.
Sebuah penyewaan punya risiko dengan hal-hal semacam ini. walaupun harapan
kami, tidak akan merugi sebesar hitungan kami tunggu semua ini memang belum
tentu benar. Ini semua hanya dugaan paling buruk yang akan kami terima.
Saat aku sedang ada di dapur, tiba-tiba gawaiku berdering. Ternyata dari
mama, ada apa tumbenan telpon duluan?
“Halo, assalamualaikum,” sapaku setelah menggeser tombol hijau.
“Waalaikumsalam, Dek, kamu di mana?” tanya mama dengan suara tenang yang dibuat-buat.sehingga suaranya malah jadi sedikit bergetar.
“Di rumah. Ada apa, Ma?”
“Enggak, tanya saja.
“Mama di mana? Kok rame banget?”
“Ega ada di rumah?” bukannya menjawab, Mama malah menanyakan keberadaan
Pega.
“Gak ada, Ma. Mas Ega sudah berangkat kerja. Mama di rumah, ‘kan? Papa di
mana?”
“Aga, papa masuk rumah sakit. Kakakmu Wima belum Mama kabari. Sedangkan Mas
Dimas enggak tahu di mana?”
“Ma-“
“Tapi, kamu jangan khawatir. Nanti kalau Ega gak ngijinin kamu kesini, gak
papa. Kamu harus nurut sama suami kamu. Doain Papa cepat sembuh, ya, Ga.”
“Ma, Papa kenapa? Papa sakit apa?”
“Tadi, Papa tiba-tiba sesak napas. Mama gak tahu kenapa, tapi Papamu abis
dari rumah Dimas. Pulang-pulang sesak nafas. Mama takut kalau mereka berantem
lagi.”
“Mama tenang, ya. Nanti kalau Mas Ega pulang, Aga bakal ngasih tahu dia.
Papa sudah ditangani dokter, jadi mama yang tenang, ya?”
“Makasih, Ga. Ya sudah, mama matiin dulu, ya.”
“Kabarin Aga terus ya, Ma.”
Setelah menutup telpon, tiba-tiba mataku panas. Aku tidak bisa lagi
menyembunyikan tangisku. Pega lagi ada masalah di kantornya, aku tidak berani
untuk memintanya ke Bandung untuk nengokin papa. Sedangkan di sana mama
sendirian. Aku tidak mau membuat Pega semakin kalut. Lalu, apa yang harus
kulakukan? Aku duduk termenung di meja makan. Kalau aku ke Bandung sedang keadaannya
seperti ini, ibu pasti akan lebih menguliti aku daripada sebelumnya.
Kak Wima tinggal di Jogja, akan sangat jauh kalau dia harus ke Bandung.
Sedangkan anak-anaknya sudah sekolah semua. Dia pasti repot juga. Mas Dimas
tidak akan bisa diandalkan di saat seperti ini. Kakakku itu tidak tahu mengapa
sering sekali berantem denngan papa karena sikapnya yang gonta-ganti perempuan.
Sebenarnya, ini juga yang membuat ibu tidak suka denganku.
Bukan, aku tidak akan pernah menyalahkan siapapun atau apapun terlebih
keluargaku. Mereka adalah orang pertama yang ada saat aku sedang tidak
baik-baik saja. Tapi, aku juga tidak bisa tidak berpikir bahwa Mas Dimas adalah
sumber utama yang membuat papa seperti ini. Pasalnya, akhir-akhir ini papa
sering bertengkar dengan Mas Dimas.
Aku masih menangis memikirkan keadaan papa. Saat tangan Imba mengusap
pipiku lembut. “Bunda, jangan nangis!” kata Imba sambiil terus mengusap pipiku.
“Bunda gak nangis kok, sayang,”
kataku sambil memaksakan senyumku.
“Bunda kenapa?”
“Bunda hanya... sedang kangen Uti.”
“Bunda kangen Uti?”
“Iya.”
“Kata ayah, kalau kita lagi kangen, kita harus berpelukan.”
“Oh, ya?”
“Iya. Ayah pernah bilang kangen sama Imba terus minta peluk.”
“Begitu, ya?”
“Karena uti gak ada, Bunda peluk Adek dulu, ya?”
“Boleh?”
Lalu kupeluk anakku itu dengan rasa haru dan air mata yang tumpah kembali.
Bahkan aku masih bingung bagaimana aku harus bilang sama Pega tentang papa. Walaupun dia tidak keberatan kalau harus ke Bandung.
Tapi, dia sedang sangat sibuk akhir-akhir ini.
.
Sudah pukul Sembilan malam, tapi Pega juga belum kunjung datang. Dia
tadi sempat mengirim pesan kalau dia hanya akan terlambat. Dia bahkan belum
tahu bagaimana kasus Sentosa yang akan ia temui hari ini.
Jadi, sepertinya dia akan menunda mengabari Pega kalau papa masuk rumah
sakit. Dia akan sangat lelah kalau harus memikirkan papanya juga.
Bel berbunyi, tanda suaminya itu sudah datamg. Dia terlihat berantakan
malam ini.
“Mau makan?” tanyaku saat dia sedang menyenderkan punggungnya di sofa.
“Gak usah, Bnd. Tadi udah makan sama Hendro,” jawabnya sambil memejamkan
matanya.
“Capek banget, ya? Aku pijitin, ya?”
“Gak usah, aku cuma mau istirahat aja.”
Kami cukup lama terdiam, menyelami pemikiran kita masing-masing. Aku
tahu ada kabar kurang baik yang Pega terima hari ini. Mungkin tagihannya gak
keluar atau lebih parah lagi alatnya dijual.
“Kenapa, Yang?”
“Alatnya gak ada lagi, Bund.”
“Semua?”
“Yang disewa Sentosa, Pak Han nya kabur gak tau kemana. Dan kemungkinan
besar kita rugi banyak banget.”
“Sudah, gak papa.”
“Bund-“
“Udah, yuk istirahat! Besok lagi kita omongin, lagi,”
Aku berjalan terlebih dahulu, diikuti Pega di belakangku. Aku memejamkan
mataku sejenak, bagaimana bisa aku ngomong di saat seperti ini? mungkin perlu
waktu yang tepat, atau menunggu Pega lebih tenang dahulu.
Hp kuletakkan di atas nakas, Pega sedang mandi sekarang. Aku memilin jariku
tanda aku sedang gelisah. Aku masih
memikirkan keadaan papa. Bagaimana kondisinya, mama seperti apa di sana
sendirian. Juga Kak Wima kalau tahu aku belum kesana pasti akan marah besar
juga. Semua serba salah. Aku bingung harus memulai dari mana.
Saat Pega telah selesai mandi, aku berjalan masuk ke arah kamar mandi. Aku
tahu Pega akan menanyaiku kenapa, makanya aku harus cari waktu buat lebih
sedikit space waktu ngobrolku dengan Pega.
.
Sebenarnya aku curiga dengan sikap Jingga yang terkesan sedang menutupi
sesuatu. Tapi, aku masih mendiamkannya karena istriku itu akan ngomong sendiri
kalau sudah siap.
Saat aku sedang merebahkan tubuhku di atas kasur, HP Jingga berdering terus
menerus. Satu kali aku biarkan saja. dua kali tiga kali, akhirnya aku menyerah
di panggilan ke empat. Ternyata dari Kak Wima. Entah ada apa, kenapa malam
seperti ini menelepon tidak henti-henti.
“Kak Wima, ada apa?” tanya Pega kepada iparnya itu.
“Istri lo mana?” sembur Wima tanpa basa basi.
“Lagi di kamar mandi. Ada apa?”
“Ada apa lo bilang? Memang Aga belum cerita?”
“Cerita apa?”
“Papa masuk rumah sakit. Sekarang mama sendirian di rumah sakit. Gue kan di
Jogja, jauh. Lagi pula anak-anak sekolah semua. Ayahnya lagi ke Maluku. Lo tahu
sendiri Mas Dimas gak bakal ke rumah sakit karena papa abis berantem sama Mas
Dimas. Terus sesek napas, mama panik, makanya langsung di bawa ke rumah sakit.
Lo itu, ya? Jadi anak mantu yang ngerti dikit, kek! Masa harus gue yang ke
Bandung. Lo kan deket. Anak-anak lo juga belum sekolah!” Wima sudah
mencak-mencak tanpa memberi mereka kesempatan untuk menjelaskan.
“Iya, Kak. Besok saya kesana.”
“Bilangin sama istri lo kalau gue nelpon. Besok suruh telpon gue.”
“Iya, Kak.”
Setelah telpon dimatikan, aku tidak bisa tidak marah. Kali ini Jingga sudah
keterlaluan, papa sakit tapi malah diam saja tanpa memberi tahu dirinya.
Akibatnya dia malah kena sembur kakak iparnya yang super galak itu.
“Tadi kaya ada yang telpon, siapa?”
tanya Jingga tiba-tiba yang baru keluar dari kamar mandi.
“Kak Wima,” jawab Pega singkat.
“Ada apa?”
“Kenapa gak bilang, sih kalau papa
sakit?”
“Yang, bukannya aku gak mau bilang.
Aku mau bilang, cuma abingung mulai dari mana. Kamu saja lagi banyak masalah
kaya begitu. Mana tega aku buat ngasih tahu kamu sekarang.”
“Terus kamu mau ngasih tahu aku
kapan?”
“Kalau kamu sudah tenang.”
“Tunggu aku dipecat jadi suami
kamu?”
“Kok ngomongnya begitu?”
“Lain kali bilang, apapun
kondisinya. Ini papa!”
“Maaf.”
“Sudah, besok aku yang pergi ke
Bandung. Sekarang istirahat.”
“Iya,” jawab istrinya dengan suara
bergetar. Aku tahu dia pasti sedang menangis. Bahkan, saat kaya gini dia masih
memikirkan aku. bukannya menuntut untuk mengerti dia dan keluarganya. How lucky
I’m!
Sebenarnya aku bukannya marah. Tapi, aku ingin apapun
yang sedang terjadi, ia bisa lebih terbuka tanpa memikirkan apapun situasinya.---------------
Stay safe all
Semoga semua cepat berlalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar