Kamis, 12 Maret 2020

Bab 8 || Handphone

Malam ini selepas sholat isya, kami sudah angkrem di kamar. Hari ini adalah hari di mana aku ingin sekali bercerita perihal yang terjadi hari ini. Misal, kemampuan anak-anak yang sudah bisa bilang ‘R’ dengan lancar atau undangan dari Kak Yasmin yang mau berangkat umroh.
Suami tercintaku itu sedang duduk di kasur dengan memainkan ponsel. Anak-anak yang sudah tidur duluan adalah waktu terbaik untukku bisa berbagi cerita kepada Pega.
Walaupun orang keren sekarang bilang ini adalah pillow talk, tapi menurutku ini adalah satu-satunya cara agar suami tercintaku ini bisa dengan paham mengerti ceritaku. Karena biasanya jam segini tidak akan ada telpon dari rekan kerjanya.
“Yang...” aku ikut menelusup kedalam selimut.
“Hmm...” gumamnya masih dengan menatap layar hpnya.
“Tadi kan Kak Yasmin telpon, kita suruh kesana minggu besok. Katanya dia mau Umroh bulan depan. Seneng banget dengernya. Aku mau deh diajakin umroh. Tapi, aku lebih seneng kalau aku diajakin haji, sih. Eh, tapi kan sama-sama ke mekah sama madinah ya? Menurut kamu, kalau uang kita cukup kita mau umroh dulu apa uangnya buat daftar haji?” ucapku dengan semangat.
“Hmm...” gumam Pega yang masih terus menatap layar Hp nya.
“Yang, kamu tahu gak? Gapura yang di depan itu kan mau dibongkar. Kata Bu RT kemarin mau diubah lagi biar bagus. Heran banget di sini emangnya kas ada berapa puluh juta sih? Perasaan selama di sini sudah tiga kali ini renov, ya? Ya menurutku sih selama masih bisa kenapa gak diganti catnya saja, ya?” kataku lagi. Tapi, Pega juga tidak bergerak sama sekali.
“Yang, tahu gak? Tadi kakak sudah bisa bilang ‘R’ tahu? Kamu gak penasaran? Tadi kan aku sempet ngerekam.” Pega masih bergeming. Aku mulai sedikit kesal. Dia ini lagi apa, sih sebenarnya?
“Pega! Lo tahu gak? Masa tadi ada kecoa kakinya dua?” saking kesalnya, ini adalah caraku mencari sedikit fokusnya dari hp sialan itu.
“Bund, ngomong apaan, sih?!” sergah Pega dengan sedikit menaikkan suaranya.
“Lagian, istri ngoceh dari tadi sampai mulut berbusa gak didengerin! Coba, semenarik apa, sih hp kamu itu? Semenarik itu sampai aku harus nyolot dulu baru kamu mau dengerin?!” kesalku sambil masih tetap bersungut.
“Aku dengerin dari tadi.”
“Apa?”
“Yang anak-anak bisa bilang ‘R’, ‘kan?”
“Yang lain?”
“Memang ada yang lain?”
“Tuh, ‘kan?”
“Maaf, deh!”
“Yang, memang apa sih yang ada di handpone kamu itu? Segitu menariknya, ya?”
“Enggak, ini lagi lihat yang lagi viral.”
“Segitunya sampai gak nyaut omonganku.”
“Apaan, sih?!”
“Ya sudah, sana! Lihat hp gak usah jadi dengerin!”
Aku langsung bangkit menuju kasur anak-anak. Berbaring di sana sambil masih bersungut. Pega selalu saja seperti itu, memilih sesuatu yang memang disenangi. Dia jarang mendengarkanku bercerita. Walaupun memang ini bukanlah sesuatu yang penting-penting banget. Tapi, hal kaya begini terus saja terulang. Bukan sekali dua kali Pega mengabaikanku karena hp kesayangannya itu. Entah melihat youtube atau melihat tranding topic di laman berita online.
Coba saja aku yang seperti itu, dia yang ngobrol aku yang mainan hp. Pasti dia langsung pergi begitu saja, terus mengabaikanku sampai besok pagi. Sesuatu yang sungguh, aku gak terima.
Jadi, bagaimana? Apakah aku boleh sedikit marah?
Kembali ke topik!
Pega adalah sejenis manusia yang kalau salah dia akan merasa baik-baik saja seperti tidak ada apapun lagi. Apalagi dia sudah mengatakan kata kramat ‘maaf’ tanpa perlu repot-repot menunggu apakah yang dimintai maaf sudah menerima atau belum.
Kalau aku masih protes dengan menuntut dia untuk mengakui kesalahannya dia akan tiba-tiba amnesia dengan mengatakan “apaan, sih?” sebagai kata yang paling mujarab untuk menaikkan emosiku kembali.
Awal pernikahan kami, aku yang sering nangis sendirian karena merasa takjub dengan bagaimana sikap Pega terhadapku. Atau dengan cara dia berkomunikasi denganku tentang hal-hal yang menurutku penting tapi bagi dia biasa saja.
Tapi bagaimanapun, Pega adalah kelemahan terbesarku. Mana mungkin aku bisa ngambek lama, yang ada aku malah yang minta maaf duluan ke dia karena sudah marah. Bagaimana? How sweet I am? Melihat Pega diam saja adalah sesuatu yang menyiksaku. Diamnya Pega adalah tusukan di jantungku. Rasanya seperti kehilangan nadiku atau debar jantungku. Pega sepenting itu untukku.
“Kamu itu, ya. Kebiasaan banget kalau ada orang ngomong malah asyik sendiri,” kataku masih sambil bersungut.
“Maaf,” belanya pelan.
“Jangan minta maaf, deh! Kalau kamu masih ngulangin hal yang sama lagi.”
“Ini, aku cuma lihat Pak Janaka masuk berita terus viral.”
“Ya gak ngaruh juga kan misal dibaca nanti-nanti.”
“Iya iya... sorry.”
“Bagaimana aku mau cerita soal ibu kalau kamunya gini,” gumamku pelan.
“Ada apa, Ibu?” tanya Pega. Aku yang tersadar kalau omonganku bisa didengar Pega reflek membekap mulutku.
“Siapa yang ngomongin Ibu?”
“Kamu tadi.”
“Enggak, orang aku ngomongin buku.
“Oh.”
Tuh, ‘kan? mood ‘oh’nya kambuh lagi. Kalau lagi manis bikin mabuk kepayang. Kalau lagi begini rasanya ingin nguyel-uyel terus gigit bibirnya biar dia sadar bahwa hp nya gak se seksi istrinya yang sedang di abaikannya ini.
Walaupun dia bukan maniak game, tapi dia adalah orang yang sangat update sekali masalah berita. Dari kebakaran hutan, orang hilang, bahkan singa di kebun binatang Surabaya melahirkan pun dia bakalan tahu duluan daripada aku.
Sebenarnya tidak masalah akan hal ini. Tapi, yang aku gak suka adalah kalau dia sudah pegang hp nya dia sulit untuk mengendalikan diri untuk tidak membukanya. Tidak tahu tempat, tidak tahu sedang berbicara dengan siapa.
Ketertarikannya dengan politik yang terkadang bikin aku kesal karena dia kalau sudah kesal sampai dibawa-bawa ke meja makan. Dan bukannya dia bertanya tentang aku dan anak-anak hari ini, malah dia akan membicarakan perihal yang aku aja gak mau tahu.
Jadi, gimana? Mau lanjut?
-------------

Love, 
Rina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar