Malam ini selepas sholat isya, kami sudah angkrem di
kamar. Hari ini adalah hari di mana aku ingin sekali bercerita perihal yang
terjadi hari ini. Misal, kemampuan anak-anak yang sudah bisa bilang ‘R’ dengan
lancar atau undangan dari Kak Yasmin yang mau berangkat umroh.
Suami tercintaku itu sedang duduk di kasur dengan
memainkan ponsel. Anak-anak yang sudah tidur duluan adalah waktu terbaik
untukku bisa berbagi cerita kepada Pega.
Walaupun orang keren sekarang bilang ini adalah pillow
talk, tapi menurutku ini adalah satu-satunya cara agar suami tercintaku ini
bisa dengan paham mengerti ceritaku. Karena biasanya jam segini tidak akan ada
telpon dari rekan kerjanya.
“Yang...” aku ikut menelusup kedalam selimut.
“Hmm...” gumamnya masih dengan menatap layar hpnya.
“Tadi kan Kak Yasmin telpon, kita suruh kesana minggu
besok. Katanya dia mau Umroh bulan depan. Seneng banget dengernya. Aku mau deh
diajakin umroh. Tapi, aku lebih seneng kalau aku diajakin haji, sih. Eh, tapi
kan sama-sama ke mekah sama madinah ya? Menurut kamu, kalau uang kita cukup
kita mau umroh dulu apa uangnya buat daftar haji?” ucapku dengan semangat.
“Hmm...” gumam Pega yang masih terus menatap layar Hp
nya.
“Yang, kamu tahu gak? Gapura yang di depan itu kan mau dibongkar.
Kata Bu RT kemarin mau diubah lagi biar bagus. Heran banget di sini emangnya
kas ada berapa puluh juta sih? Perasaan selama di sini sudah tiga kali ini
renov, ya? Ya menurutku sih selama masih bisa kenapa gak diganti catnya saja,
ya?” kataku lagi. Tapi, Pega juga tidak bergerak sama sekali.
“Yang, tahu gak? Tadi kakak sudah bisa bilang ‘R’ tahu?
Kamu gak penasaran? Tadi kan aku sempet ngerekam.” Pega masih bergeming. Aku
mulai sedikit kesal. Dia ini lagi apa, sih sebenarnya?
“Pega! Lo tahu gak? Masa tadi ada kecoa kakinya dua?” saking
kesalnya, ini adalah caraku mencari sedikit fokusnya dari hp sialan itu.
“Bund, ngomong apaan, sih?!” sergah Pega dengan sedikit
menaikkan suaranya.
“Lagian, istri ngoceh dari tadi sampai mulut berbusa gak didengerin!
Coba, semenarik apa, sih hp kamu itu? Semenarik itu sampai aku harus nyolot
dulu baru kamu mau dengerin?!” kesalku sambil masih tetap bersungut.
“Aku dengerin dari tadi.”
“Apa?”
“Yang anak-anak bisa bilang ‘R’, ‘kan?”
“Yang lain?”
“Memang ada yang lain?”
“Tuh, ‘kan?”
“Maaf, deh!”
“Yang, memang apa sih yang ada di handpone kamu itu?
Segitu menariknya, ya?”
“Enggak, ini lagi lihat yang lagi viral.”
“Segitunya sampai gak nyaut omonganku.”
“Apaan, sih?!”
“Ya sudah, sana! Lihat hp gak usah jadi dengerin!”
Aku langsung bangkit menuju kasur anak-anak. Berbaring di
sana sambil masih bersungut. Pega selalu saja seperti itu, memilih sesuatu yang
memang disenangi. Dia jarang mendengarkanku bercerita. Walaupun memang ini
bukanlah sesuatu yang penting-penting banget. Tapi, hal kaya begini terus saja
terulang. Bukan sekali dua kali Pega mengabaikanku karena hp kesayangannya itu.
Entah melihat youtube atau melihat tranding topic di laman berita online.
Coba saja aku yang seperti itu, dia yang ngobrol aku yang
mainan hp. Pasti dia langsung pergi begitu saja, terus mengabaikanku sampai
besok pagi. Sesuatu yang sungguh, aku gak terima.
Jadi, bagaimana? Apakah aku boleh sedikit marah?
Kembali ke topik!
Pega adalah sejenis manusia yang kalau salah dia akan
merasa baik-baik saja seperti tidak ada apapun lagi. Apalagi dia sudah
mengatakan kata kramat ‘maaf’ tanpa perlu repot-repot menunggu apakah yang
dimintai maaf sudah menerima atau belum.
Kalau aku masih protes dengan menuntut dia untuk mengakui
kesalahannya dia akan tiba-tiba amnesia dengan mengatakan “apaan, sih?” sebagai
kata yang paling mujarab untuk menaikkan emosiku kembali.
Awal pernikahan kami, aku yang sering nangis sendirian
karena merasa takjub dengan bagaimana sikap Pega terhadapku. Atau dengan cara
dia berkomunikasi denganku tentang hal-hal yang menurutku penting tapi bagi dia
biasa saja.
Tapi bagaimanapun, Pega adalah kelemahan terbesarku. Mana
mungkin aku bisa ngambek lama, yang ada aku malah yang minta maaf duluan ke dia
karena sudah marah. Bagaimana? How sweet I am? Melihat Pega diam saja adalah
sesuatu yang menyiksaku. Diamnya Pega adalah tusukan di jantungku. Rasanya seperti
kehilangan nadiku atau debar jantungku. Pega sepenting itu untukku.
“Kamu itu, ya. Kebiasaan banget kalau ada orang ngomong
malah asyik sendiri,” kataku masih sambil bersungut.
“Maaf,” belanya pelan.
“Jangan minta maaf, deh! Kalau kamu masih ngulangin hal
yang sama lagi.”
“Ini, aku cuma lihat Pak Janaka masuk berita terus
viral.”
“Ya gak ngaruh juga kan misal dibaca nanti-nanti.”
“Iya iya... sorry.”
“Bagaimana aku mau cerita soal ibu kalau kamunya gini,”
gumamku pelan.
“Ada apa, Ibu?” tanya Pega. Aku yang tersadar kalau
omonganku bisa didengar Pega reflek membekap mulutku.
“Siapa yang ngomongin Ibu?”
“Kamu tadi.”
“Enggak, orang aku ngomongin buku.
“Oh.”
Tuh, ‘kan? mood ‘oh’nya kambuh lagi. Kalau lagi manis
bikin mabuk kepayang. Kalau lagi begini rasanya ingin nguyel-uyel terus gigit
bibirnya biar dia sadar bahwa hp nya gak se seksi istrinya yang sedang di
abaikannya ini.
Walaupun dia bukan maniak game, tapi dia adalah orang
yang sangat update sekali masalah berita. Dari kebakaran hutan, orang hilang,
bahkan singa di kebun binatang Surabaya melahirkan pun dia bakalan tahu duluan
daripada aku.
Sebenarnya tidak masalah akan hal ini. Tapi, yang aku
gak suka adalah kalau dia sudah pegang hp nya dia sulit untuk mengendalikan
diri untuk tidak membukanya. Tidak tahu tempat, tidak tahu sedang berbicara
dengan siapa.
Ketertarikannya dengan politik yang terkadang bikin
aku kesal karena dia kalau sudah kesal sampai dibawa-bawa ke meja makan. Dan
bukannya dia bertanya tentang aku dan anak-anak hari ini, malah dia akan
membicarakan perihal yang aku aja gak mau tahu.
Jadi, gimana? Mau
lanjut?-------------
Love,
Rina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar